Hari Sabtu, berdua, eh sekarang sudah jadi berempat, belum mempunyai rencana mau pergi ke mana. Mau pergi ke Trans Studio Makassar, tapi kok tiketnya mahal gila. Terbersit keinginan untuk pergi ke Malino di mana terdapat beberapa air terjun eksotis yang patut dikunjungi, namun karena letaknya terlalu jauh dan belum tahu apakah ada pete-pete yang langsung bisa membawa kami ke sana atau tidak, lagi-lagi rencana itu harus gue pendam, ntah kapan bisa terwujud. Ah ya, si Ardi ngebet banget pengen pergi ke Maros, lebih tepatnya di Rammang-rammang, di mana di sana ada karst terbesar kedua di dunia. (Oke, untuk yang ini, next story aja, pokoknya wait and be patient). Mending besok aja ke Rammang-rammang.
Nah, masih
berhubungan dengan cerita di Benteng Rotterdam hari sebelumnya. Kemarin, kami
ditawari jasa penyebrangan ke beberapa pulau di sebelah barat Kota Makassar.
Namun, karena kurangnya personil, gue dan Ardi memutuskan untuk nyebrang next
time saja, sekalian mencari massa yang mau ikutan. Nah, sorenya, setelah
berdiskusi dengan dua sosok yang lain, siapa lagi kalau bukan Thony dan Dafit,
diputuskanlah bahwa esok harinya, kami akan jalan-jalan ke Pulau Samalona,
Lae-Lae, dan Khayangan. Sepertinya bakal menjadi petualangan seru. Let’s
cekibrot, guys!
Pagi, kami
berempat bertemu di Sentral. Gue aja sih yang berangkat dari kabupaten sebelah,
yang lain sih dari Makassar. Eh, ternyata nambah dua personil lagi, Eko dan
Jainal. Seperti kemarin siang, Jumat, kami berjalan kaki dari MTC - Makassar
Trade Center (termasuk wilayah Sentral sih), sampai ke Benteng Fort Rotterdam.
Masih jam 7.30 pagi jadi panas terik matahari masih sangat bersahabat.
Sesampainya
di depan benteng, kami memutuskan untuk sarapan Yellow Rice bungkus. Wis, teko PeDe wae mangane, ra ono sing
kenal. Satu lagi, di sana sudah ada tambahan seorang lagi yang bernama
Yudha. Fix, tujuh orang. Nyam nyam nyam.
Usai sarapan,
ada seseorang yang ngakunya sih bernama Enal. Dia adalah calo pencari mangsa,
para wisatawan, yang datang ke sekitaran Losari, agar mau menyebrang ke pulau. Si
Ardi, yang diajak bicara, baru melakukan penawaran sih, belum deal. Nggak tau juga
sih gue, berapa biaya sekapal yang ditawarkan oleh Enal. Gue masih menikmati
makanan gue yang harganya sangat “wow sekali”. Ya, secara lauknya macem-macem,
dan bodohnya gue yang tetap membiarkan penjualnya mengambil segala macam lauk
yang tersedia. Jadilah, gue shock sendiri ketika menanyakan harganya berapa.
Dan, semua
berjalan tanpa sepengetahuan gue. Ya, gue emang belum mau tahu juga sih, bukan
nggak mau tahu lho.
Tetiba, tanpa
diduga, mas-mas (MM), yang pada hari sebelumnya menawari kami jasa penyebrangan
seharga 200ribu sekapal tapi untuk dua orang untuk dua pulau karena melihat
kami yang hanya berdua saja, datang menghampiri kami bertujuh yang masih
melakukan penawaran dengan Enal. Si MM mengklaim bahwa gue sama Ardi, kemarin,
sudah menyetujui akan menyebrang. Yah, padahal kami sama sekali NGGAK bilang “YAA”.
Kami hanya bilang, pokoknya kami masih mencari teman lain yang mau ikutan, dan
itu pun belum tahu waktunya kapan. Lagian, waktu itu kami juga mau Sholat Jumat
dulu. Nah, mungkin memang dasarnya si MM yang biasa diberi janji palsu, jadi
begitu melihat muka kami yang datang kesana lagi, langsung deh dibilang kami
sudah “sepakat”. BIG NO…
Lain lagi
dengan si Enal. Salah seorang dari kami baru menanyakan harga, catat :
MENANYAKAN, belum meng-IYA-kan penawaran. Kami masih mencoba menego harga yang
ditawarkan, 400ribu, 7 orang, tiga pulau. Sayangnya, arti “menanyakan harga dan
sedikit nego”, diartikan sebagai “persetujuan mau menyebrang”. Jadi, dalam satu
waktu, ada dua calo (MM dan Enal) yang sama-sama mengklaim bahwa kami setuju
dengan penawaran mereka. Lhah, KAMI SAMA SEKALI BELUM BERKATA “YA, KAMI MAU”!!! *Nulisnya sambil esmosi tingkat kecamatan*.
Jadilah kami
berdiri di pinggir jalan di dekat kapal penyebrangan, sambil dilihat beberapa
orang. Sempet terpikir oleh kami, bagaimana kalau dua-duanya saja sekalian,
berarti nanti sekapal 3 dan 4 orang, ya meskipun sangat berat dikantong, tapi
itu lebih baik daripada kami semua dibadik. Kan nggak lucu kalau sampai ada
berita yang nggak-nggak. Mau kabur, jelas nggak mungkin. Ada seorang
bapak-bapak yang ikut-ikutan nimbrung, bilang “Heh, jangan kita pergi dari
sini!”. Tambah ribet aja. Muka teman-teman sudah pada tegang semua. Gue pengen
ngomong, tapi sepertinya percuma. Orang Makassar terkenal dengan Kassar-nya.
Lebih baik diam dan menunggu keajaiban datang.
Dari
arah yang tidak diduga oleh kami semua, mungkin termasuk MM dan Enal, juga
bapak-bapak yang tetiba nimbrung tadi, datanglah superhero, eh bukan,
bapak-bapak yang belum sempet gue tahu namanya, langsung mengajak kami
bertujuh. Lhoh, ada apa lagi ini? Kami semakin bingung. Ini lagi berselisih
dengan dua calo, malah ditambah satu lagi. Di tengah kegalauan, kami ikuti saja
bapak-bapak itu menuju dermaga perahu. Oh, rupanya si bapak adalah orang yang
mempunyai perahu. Sedangkan MM dan Enal hanya bertugas mencari mangsa yang
lewat. Kirain mereka juga punya kapal. Alhamdulillaah, kehadiran bapak itu
sangat membantu kami dari jeratan dua orang yang sangat menyebalkan sekali.
Akhirnya, nyebrang juga. Cihuuuiiii….narsis dulu di perahu sebelum berangkat |
Bertujuh kami
menaiki perahu yang cukup memuat sampai sekitar tiga belas orang. Asyik!
Menyebrangi laut Makassar, melihat Pantai Losari dari kejauhan, menikmati
bangunan tinggi Kota Makassar yang ternyata sangat menawan, menghirup udara
pagi yang segar, bermain air yang seakan terbelah setelah perahu lewat. Tidak
gue sangka. Ini yang namanya liburan beneran.
dekat dermaga penyebrangan |
Sekitar
sepuluh menit berlayar, di samping kanan kami, terlihat dengan jelas Pulau
Lae-Lae. Sudah ada beberapa perahu yang berjejer di slaah satu bibir pantainya.
Pulau Lae-Lae termasuk pulau yang nggak terlalu kecil. Di sana, sudah ada
puluhan rumah yang dibangun di atasnya. Mungkin ada kendaraan bermotor juga.
Kalau mobil jelas nggak ada. Ah, tapi karena banyak rumah di sana, kami
memutuskan untuk tidak mampir. Pantainya juga nggak terlalu bagus. Lanjut ke
Samalona Island aja kalau gitu…
Pulau Lae-Lae |
Kota Makasaar
semakin jauh di belakang. Gedung-gedungnya semakin kecil. Sementara di depan,
hanya air yang terlihat. Beberapa kapal besar melaju, eh, gue kira kapal-kapal
itu hanya diam di tengah laut, tapi ternyata nggak. Hehehe… Mungkin karena
saking lambatnya kali ya? Atau karena di laut jadi nggak kelihatan berjalan?
Ah, persetan dengan itu. Pokoke jogged, eh…
Setelah
berlayar selama sekitaran 20 menitan, akhirnya pulau yang kami tuju semakin
dekat. Wah, sepertinya keren. Pepohonan hijau menjulang tinggi. Airnya yang
jernih, karangnya yang cukup lah kalau dibilang bagus, meskipun belum sampai ke
level “wow”. Sudah banyak wisatawan yang berada di sana. Ada yang sudah
snorkeling, berenang, main bola, main pasir, atau sekedar menikmati apa yang
bisa dinikmati.
Pulau Samalona di depan mata |
airnya hijau |
sampai juga di pulau |
baian depannya |
sudah banyak pengunjung rupanya |
ada yang berenang-renang |
mau snorkeling |
batu karang |
Menuruni perahu kecil, kemudian menginjakkan kaki di hamparan pasir putih yang sangat menawan dan me-refresh-kan mata serta pikiran, dan tentu saja hati yang galau. Hasyahh!
No comments:
Post a Comment