Thursday, May 22, 2014

My Traveling Stories in Celebes (Pulau Samalona : Part One)




Hari Sabtu, berdua, eh sekarang sudah jadi berempat, belum mempunyai rencana mau pergi ke mana. Mau pergi ke Trans Studio Makassar, tapi kok tiketnya mahal gila. Terbersit keinginan untuk pergi ke Malino di mana terdapat beberapa air terjun eksotis yang patut dikunjungi, namun karena letaknya terlalu jauh dan belum tahu apakah ada pete-pete yang langsung bisa membawa kami ke sana atau tidak, lagi-lagi rencana itu harus gue pendam, ntah kapan bisa terwujud. Ah ya, si Ardi ngebet banget pengen pergi ke Maros, lebih tepatnya di Rammang-rammang, di mana di sana ada karst terbesar kedua di dunia. (Oke, untuk yang ini, next story aja, pokoknya wait and be patient). Mending besok aja ke Rammang-rammang.
Nah, masih berhubungan dengan cerita di Benteng Rotterdam  hari sebelumnya. Kemarin, kami ditawari jasa penyebrangan ke beberapa pulau di sebelah barat Kota Makassar. Namun, karena kurangnya personil, gue dan Ardi memutuskan untuk nyebrang next time saja, sekalian mencari massa yang mau ikutan. Nah, sorenya, setelah berdiskusi dengan dua sosok yang lain, siapa lagi kalau bukan Thony dan Dafit, diputuskanlah bahwa esok harinya, kami akan jalan-jalan ke Pulau Samalona, Lae-Lae, dan Khayangan. Sepertinya bakal menjadi petualangan seru. Let’s cekibrot, guys!
Pagi, kami berempat bertemu di Sentral. Gue aja sih yang berangkat dari kabupaten sebelah, yang lain sih dari Makassar. Eh, ternyata nambah dua personil lagi, Eko dan Jainal. Seperti kemarin siang, Jumat, kami berjalan kaki dari MTC - Makassar Trade Center (termasuk wilayah Sentral sih), sampai ke Benteng Fort Rotterdam. Masih jam 7.30 pagi jadi panas terik matahari masih sangat bersahabat.
Sesampainya di depan benteng, kami memutuskan untuk sarapan Yellow Rice bungkus. Wis, teko PeDe wae mangane, ra ono sing kenal. Satu lagi, di sana sudah ada tambahan seorang lagi yang bernama Yudha. Fix, tujuh orang. Nyam nyam nyam.
Usai sarapan, ada seseorang yang ngakunya sih bernama Enal. Dia adalah calo pencari mangsa, para wisatawan, yang datang ke sekitaran Losari, agar mau menyebrang ke pulau. Si Ardi, yang diajak bicara, baru melakukan penawaran sih, belum deal. Nggak tau juga sih gue, berapa biaya sekapal yang ditawarkan oleh Enal. Gue masih menikmati makanan gue yang harganya sangat “wow sekali”. Ya, secara lauknya macem-macem, dan bodohnya gue yang tetap membiarkan penjualnya mengambil segala macam lauk yang tersedia. Jadilah, gue shock sendiri ketika menanyakan harganya berapa.
Dan, semua berjalan tanpa sepengetahuan gue. Ya, gue emang belum mau tahu juga sih, bukan nggak mau tahu lho.
Tetiba, tanpa diduga, mas-mas (MM), yang pada hari sebelumnya menawari kami jasa penyebrangan seharga 200ribu sekapal tapi untuk dua orang untuk dua pulau karena melihat kami yang hanya berdua saja, datang menghampiri kami bertujuh yang masih melakukan penawaran dengan Enal. Si MM mengklaim bahwa gue sama Ardi, kemarin, sudah menyetujui akan menyebrang. Yah, padahal kami sama sekali NGGAK bilang “YAA”. Kami hanya bilang, pokoknya kami masih mencari teman lain yang mau ikutan, dan itu pun belum tahu waktunya kapan. Lagian, waktu itu kami juga mau Sholat Jumat dulu. Nah, mungkin memang dasarnya si MM yang biasa diberi janji palsu, jadi begitu melihat muka kami yang datang kesana lagi, langsung deh dibilang kami sudah “sepakat”. BIG NO…
Lain lagi dengan si Enal. Salah seorang dari kami baru menanyakan harga, catat : MENANYAKAN, belum meng-IYA-kan penawaran. Kami masih mencoba menego harga yang ditawarkan, 400ribu, 7 orang, tiga pulau. Sayangnya, arti “menanyakan harga dan sedikit nego”, diartikan sebagai “persetujuan mau menyebrang”. Jadi, dalam satu waktu, ada dua calo (MM dan Enal) yang sama-sama mengklaim bahwa kami setuju dengan penawaran mereka. Lhah, KAMI SAMA SEKALI BELUM BERKATA “YA, KAMI MAU”!!!  *Nulisnya sambil esmosi tingkat kecamatan*.
Jadilah kami berdiri di pinggir jalan di dekat kapal penyebrangan, sambil dilihat beberapa orang. Sempet terpikir oleh kami, bagaimana kalau dua-duanya saja sekalian, berarti nanti sekapal 3 dan 4 orang, ya meskipun sangat berat dikantong, tapi itu lebih baik daripada kami semua dibadik. Kan nggak lucu kalau sampai ada berita yang nggak-nggak. Mau kabur, jelas nggak mungkin. Ada seorang bapak-bapak yang ikut-ikutan nimbrung, bilang “Heh, jangan kita pergi dari sini!”. Tambah ribet aja. Muka teman-teman sudah pada tegang semua. Gue pengen ngomong, tapi sepertinya percuma. Orang Makassar terkenal dengan Kassar-nya. Lebih baik diam dan menunggu keajaiban datang.
Dari arah yang tidak diduga oleh kami semua, mungkin termasuk MM dan Enal, juga bapak-bapak yang tetiba nimbrung tadi, datanglah superhero, eh bukan, bapak-bapak yang belum sempet gue tahu namanya, langsung mengajak kami bertujuh. Lhoh, ada apa lagi ini? Kami semakin bingung. Ini lagi berselisih dengan dua calo, malah ditambah satu lagi. Di tengah kegalauan, kami ikuti saja bapak-bapak itu menuju dermaga perahu. Oh, rupanya si bapak adalah orang yang mempunyai perahu. Sedangkan MM dan Enal hanya bertugas mencari mangsa yang lewat. Kirain mereka juga punya kapal. Alhamdulillaah, kehadiran bapak itu sangat membantu kami dari jeratan dua orang yang sangat menyebalkan sekali. Akhirnya, nyebrang juga. Cihuuuiiii….
narsis dulu di perahu sebelum berangkat

Bertujuh kami menaiki perahu yang cukup memuat sampai sekitar tiga belas orang. Asyik! Menyebrangi laut Makassar, melihat Pantai Losari dari kejauhan, menikmati bangunan tinggi Kota Makassar yang ternyata sangat menawan, menghirup udara pagi yang segar, bermain air yang seakan terbelah setelah perahu lewat. Tidak gue sangka. Ini yang namanya liburan beneran.
dekat dermaga penyebrangan
Sekitar sepuluh menit berlayar, di samping kanan kami, terlihat dengan jelas Pulau Lae-Lae. Sudah ada beberapa perahu yang berjejer di slaah satu bibir pantainya. Pulau Lae-Lae termasuk pulau yang nggak terlalu kecil. Di sana, sudah ada puluhan rumah yang dibangun di atasnya. Mungkin ada kendaraan bermotor juga. Kalau mobil jelas nggak ada. Ah, tapi karena banyak rumah di sana, kami memutuskan untuk tidak mampir. Pantainya juga nggak terlalu bagus. Lanjut ke Samalona Island aja kalau gitu…
Pulau Lae-Lae
Kota Makasaar semakin jauh di belakang. Gedung-gedungnya semakin kecil. Sementara di depan, hanya air yang terlihat. Beberapa kapal besar melaju, eh, gue kira kapal-kapal itu hanya diam di tengah laut, tapi ternyata nggak. Hehehe… Mungkin karena saking lambatnya kali ya? Atau karena di laut jadi nggak kelihatan berjalan? Ah, persetan dengan itu. Pokoke jogged, eh…
Setelah berlayar selama sekitaran 20 menitan, akhirnya pulau yang kami tuju semakin dekat. Wah, sepertinya keren. Pepohonan hijau menjulang tinggi. Airnya yang jernih, karangnya yang cukup lah kalau dibilang bagus, meskipun belum sampai ke level “wow”. Sudah banyak wisatawan yang berada di sana. Ada yang sudah snorkeling, berenang, main bola, main pasir, atau sekedar menikmati apa yang bisa dinikmati.
Pulau Samalona di depan mata
airnya hijau


sampai juga di pulau

baian depannya

sudah banyak pengunjung rupanya
ada yang berenang-renang



mau snorkeling


batu karang



Menuruni perahu kecil, kemudian menginjakkan kaki di hamparan pasir putih yang sangat menawan dan me-refresh-kan mata serta pikiran, dan tentu saja hati yang galau. Hasyahh!


















No comments:

Post a Comment