Monday, January 27, 2014

Pergantian Tahun di Pantai Indrayanti dan Pantai Drini

Akhir tahun 2013, merupakan hari yang berbeda dengan akhir tahun di tahun-tahun sebelumnya. Kalau biasanya gue menghabiskan waktu di akhir tahun di rumah saja, kali ini gue punya pengalaman yang nggak biasa, belum luar biasa sih. Semoga di tahun-tahun berikutnya bisa menciptakan suasana yang luar biasa dan tentu dengan orang-orang yang berbeda dengan yang biasanya.

Rencana malam tahun baruan, entah siapa yang punya ide untuk menyambut tahun baru dengan sesuatu hal bisa membuat kami tambah akrab, sekaligus membuat kenangan manis, mumpung masih bersama. Kami, para calon pegawai, dipertemukan di sebuah kantor di Kota Salatiga. Sebagai calon pegawai, tentunya masih banyak waktu luang. Makanya, kami berencana pergi ke Jogjakarta. Ya, tempat mana lagi yang lebih keren dan jaraknya tak jauh dari Salatiga dibandingkan dengan Kota Pelajar tersebut?

Selepas jam kantor usai, yaitu pukul 17.00 WIB, kami bersiap-siap. Mandi dan cek perlengkapan. Pukul 17.40, kami berangkat. Naik mobil, nyewa sih, dengan driver dari kami sendiri. Doa gue “Semoga si sopir kuat nyetir sampai balik lagi ke Salatiga”. Nggak mungkin kalau naik motor. Selain karena jaraknya yang lumayan jauh, mungkin kalau naik motor membutuhkan waktu lebih dari empat jam, juga karena sekarang lagi musim hujan.

Pukul 21.30, berdelapan, kami mampir di sebuah warung ayam goreng. Karena perut sudah keroncongan, ya mau tak mau lah, makan, walaupun sebenarnya rasanya jauh dari kesan enak. Rasa ayamnya yang sangat manis, ukurannya kecil—meskipun dapat dua potong—, nasinya juga agak keras. Cuma satu yang lumayan mantep, lumayan, yaitu sambelnya, yang disajikan di atas ‘cowek’-nya langsung. Ya, daripada nggak makan?

Di sepanjang perjalanan, kami belum memutuskan mau ke mana, tepatnya pantai mana, karena saking banyaknya pantai indah di wilayah Gunung Kidul. Jujur, gue jarang banget ke pantai di Gunung Kidul, jadi ya gue sih ngikut aja. Bagi gue, semua pantai mempunyai kesan sendiri-sendiri. Dan akhirnya, kami memutuskan untuk melihat pesta kembang api di Pantai Indrayanti.

Gue kira, hmm, temen-temen gue juga, jalannya akan macet, mengingat malam itu adalah malam tahun baru. Pastinya, karena tak sedikit orang yang mau menghabiskan malam hanya dengan duduk manis di depan layar televisi atau bahkan tidur nyenyak. Sudah cemas, sih, takutnya sampai di tempat tujuan ternyata suara “dar dor dar dor”nya sudah nggak ada. Nggak lucu. Sangat nggak lucu. Alhamdulillah, ternyata jalannya lancar jaya. Kami sudah beropini jangan-jangan para pemuda-pemudinya sudah berangkat sejak siang karena semua berpikir kalau berangkat sore atau malam pasti macet, atau yang lebih nggak mengenakkan hati, pantainya tutup. Cuma ada dua spot yang macet, yaitu di Bukit Bintang dan sebuah tempat yang mau ada dangdutan. Ah, gue lupa siapa artisnya, secara gue bukan penggemar dangdut.

Sampai di Pantai Indrayanti ternyata masih pukul 23.00. Belum telat sih. Tapi tunggu dulu, di sana, di pinggir pantai, di pasir-pasirnya, sudah berkumpul ratusan orang. Ya maklum sih, di parkiran banyak kendaraan. Tapi gue nggak kepikiran kalau di pantai bakal ada orang sebanyak itu. Lha, kita mau nongkrong di mana coba, kalau pantainya penuh? Masak di tengah laut?

Oke, sambil mencari tempat yang agak kosong, lebih baik jalan-jalan dulu. Siapa tahu nemu yang bening-bening? Secara, kmai berdelapan cowok semua. Hehehe... Ah, tapi susah, lha wong gelap-gelapan gini? Akhirnya, setelah berjalan cukup jauh dan cukup susah karena di pasir-pasir, kami menemukan tempat yang agak kosong. Cukup dekat dengan bibir pantai.

Sembari menunggu tengah malam, detik-detik pergantian tahun, kami duduk-duduk di atas banner. Ah, ternyata ada juga temen gue yang cerdas. Bawa banner. Gampang membersihkannya dan kalau basah tinggal didudukin saja, pasti kering. Karena ada di antara kami yang merupakan seorang pendaki, maka tak lupa kami membawa perlengkapan masak mini. Cukup kompor kecil dan gasnya yang gedhenya sebesar kompor mainan keponakan gue dan sebesar botol obat nyamuk. Ya, tentunya bukan masak nasi lah. Cuma buat masak minuman cepat saji, lumayan, bisa menghangatkan badan yang agak dingin terkena angin pantai. Tak ketinggalan, dan ini adalah acara wajib ketika bepergian, foto-foto. Hahaha...

“Dor dor dorr”, lho, belum juga pukul 00.00 di HP gue, eh, sudah ada yang menyalakan kembang api. Semakin lama semakin banyak. Bersahut-sahutan. Mulai dari yang Cuma bunyi “pletek-pletek” sampai yang nyalanya bisa menghasilkan bentuk-bentuk yang indah. Pup peniup terompet tak mau kalah hebohnya. “Preetttt preeeeeettt”. Oiya, ada juga yang melepaskan lampion ke arah laut.  Dari ujung ke ujung. Rame sekali. Baru kali ini, gue melihat yang sekeren ini. Biasanya Cuma bisa melihat dari kejauhan. Oh, kasian sekali hidup gue.

Kami, yang ke pantai Cuma mau menikmati, bukan ikut berpartisipasi, cukup jadi penonton saja. Nggak bawa terompet, apalagi kembang api. Buang-buang duit aja. Mending buat jajan. Sesekali, ikutan heboh ketika ada kembang api yang lumayan bagus. Ada yang sibuk mengambil gambarnya, ada pula yang kepalanya mendongak terus seolah nggak mau ketinggaln satu detik pun momen pergantian tahun.
Mendekati pukul 01.00, suara kembang api sudah semakin berkurang. Beberapa pengunjung juga sudah entah kemana.

Lalu, tetiba, gerimis datang. Langit sepertinya menyuruh kami semua agar segera beristirahat. Lama-lama makin deras. Dan breeessss, hujan deras mengguyur pantai. Semua berlari ke tempat yang bisa digunakan untuk berteduh. Kebetulan, di pinggir pantai ada beberapa gazebo, semau berebut. Yes, kami dapat satu yang kosong. Namun, masalh belum selesai sampai di situ. Karena di pantai, tentu anginnya kenceng. Gazebo nggak ada pagarnya, pasti akan “ketampon”. Aha, kan ada banner. Pasang bannernya mengelilingi gazebo, cukup di sisi yang menghadap pantai. Aman. Gue Cuma membatin, kasian amat yang tetep kena air hujan dari samping.

Mau ngapain nih? Hujannya semakin deras. Masak “kekep-kekepan” kaya di gazebo sebelah? Jeruk makan jeruk dong? Hahaha... Main kartu aja lah, untung dalam perjalanan tadi tak lupa beli. Remi. Hihihi... Gue nggak bisa. Rencananya pengen merem aja sih. Tapi, main kartu sepertinya asyik. Lihat dulu deh, bagaimana cara bermainnya. Setelah temen-temen main beberapa kali, gue akhirnya bisa. Main pertama, berhasil, nggak ngocok. Baru kedua, gue kalah. Memang keberuntungan nggak datang dua kali.

Empat orang main, satu orang tidur, dua yang lain melihat permainan, satu lagi masak mie instan dan sarden. Wuihh, yummy. Dingin-dingin. Pas banget. Meskipun harus berbagi piring dan sendok, tanpa dicuci, ah, biarlah. Itulah nikmatnya kebersamaan. Toh, semua sehat wal afiat kok.

Main kartu tetpa berjalan, sampai mendekati Shubuh. Ah, waktu berjalan cepat sekali. Tapi, justru itu yang gue harapkan, malamnya cepet, paginya yang agak lama, biar bisa main-main di pantai sepuasnya. Menjelang fajar, permainan semakin seru. Ada tantangannya. Yang kalah, harus mengapit kaleng sarden di leher dengan kepalanya. Wah, gue kena sekali. Pegel juga ya? Nggak bisa mendongakkan kepala. Sial.
Oke, main kartu selesai. Sholat Shubuh. Mau tidur, tapi kursinya sudah disabotase oleh yang lain. Bertiga, kami berjalan-jalan mencari gazebo yang kosong dan kering. Ya, kan malamnya hujan, jadi beberapa ada yang basah kuyup. Karena nggak nemu-nemu, maknya kami memutuskan untuk berjalan-jalan saja, biar nggak ngantuk juga. Masih sepi, masih enak. Yaaa, ada satu yang gue nggak suka dari kebiasaan orang Indonesia : buang sampah sembarangan. Bekas-bekas kembang api tercecer di sana-sini. Besar kecil, banyak banget. Miris sekali, pantai sebagus ini harus dikotori. Kemana sih sikap menjaga kebersihan yang dimiliki orang-orang? Jangan-jangan sudah hilang?

Ada bukit karang di sebelah timur pantai. Lumayan besar sih. Bagus juga. Bagus untuk mencari sinyal maksudnya. Hehehe... Eh, tapi keren juga lho, melihat pantai dari atas karang. Melihat laut lepas yang seolah tak ada ujungnya. Rupanya banyak juga yang mendirikan tenda di atas karang. Di sisi lain, pemandangan juga tak kalah jauh menakjubkan. Foto-foto dulu lah, lay.

Setelah jalan-jalan, bertiga kami kembali ke basecamp, yang lain sudah berkemas. Woo, sebelum diteriakin yang lain, mending cepet-cepet mbantuin dah. Ternyata gazebo yang kami tempatin sudah ada yang menempati, sebuah keluarga dari Malang. Kenapa orang Malang sampai Jogja? Bukankan di sana juga deket dengan pantai yang keren juga? Entahlah.

Oke, bergegas ke mobil. Karena mau “keceh-keceh” di pantai yang lebih bersih dari Pantai Indrayanti. Nggak banget dheh kalau mau “keceh” di sana.

Tujuan berikutnya adalah Pantai Drini. Cantik juga namanya. Semoga pantainya juga indah.
Benar saja. Selain indah, juga bersih. Ada dua bagian. Satu bagian yang seperti kolam, ombaknya nggak langsung mengenai bibir pantai. Enak buat berendam, tapi dangkal. Satu bagian lagi yang langsung berhadapan langusung dengan ombak pantai selatan. Cukup besar. Dan lama-lama memang ombaknya semakin besar. Mendung. Membuat hawa semakin dingin. Main air nggak ya? Tapi masak sudah sampai pantai nggak basah-basahan? Ayo main ombak! Asyik. Sudah lebih dari setahun yang lalu nggak main ke pantai.

Berdelapan, kami menabrakkan diri ke ombak. Sesekali terjatuh karena kaki nggak kuat menopang tubuh yang terkena ombak. Seru. Aaaa, pengen ke sana lagi. Lumayan lama kami bermain.

Cuma satu yang kurang. Kamera. Temen gue yang punya kamera khawatir kameranya terkena air laut yang bersifat sangat korosif. Makanya, setelah beberapa lama main-main, temen gue itu ngajak gue ke mobil, mandi dan ngambil kamera. Yaaa, padahal gue masih asyik main. Lagian kenapa mesti gue yang diajak coba? Pasti  dia berpikir gue itu orangnya baik hati, mau disuruh nemenin dia. Hehehe... Emang gue dasarnya baik hati, saking dasarnya sampai nggak kelihatan.

Badan sudah bersih dan sudah ganti baju, saatnya foto-foto. Ah, tapi gue nggak mungkin bisa basah-basahan lagi. Males mandi lagi. Lama. Banyak pasir yang menempel. Yasutrala, kakinya saja yang basah. Tak lupa gue motret pake HP gue, eh, HP pemberian dhenk.  Buat kenang-kenangan pribadi. Daaannn, sesampainya di tempat temen-temen yang lain, belum juga gue ikutan foto, hujan turun lagi. Onde mande. Memang Allah Maha Adil ya, nggak mau membiarkan gue bersedih karena nggak bisa ikut foto-foto sambil basah-basahan. Lha wong yang lain juga nggak jadi foto. Hahaha... Bubar semua. “Balik ke mobil dan bersihkan badan lo semua dan segera pulang ke Salatiga!”

Ini dia beberapa foto yang gue ambil dan gua minta dari teman gua.






















Monday, January 20, 2014

Mie Ayam Wonogiri


Siapa yang nggak doyan mie ayam? Satu kalimat buat yang nggak doyan mie ayam : “malang nian nasib kau!”. Itu baru bahasa halusnya, kalau bahasa kasarnya : “g*bl*k kau!!!”. Hehehe... Lha lagian, makanan enak-enak masak nggak doyan? Terus doyannya apa dong? Singkong? Ubi? Ketela? Atau jangan-jangan jengkol dan pete? Oh,

Oke, lanjut ke mie ayam. Do you know that chicken noodle is my fav food? Entah sejak kapan gue suka makan mie ayam. Apalagi yang pedesnya poolll, bisa sampai keringetan kalau makan. Kenyangnya bukan karena makan, tapi karena minum yang terlalu banyak. Tapi, itulah sensasi makan mie ayam. Nggak pedes? Nggak mantap. Eh, tapi itu kalau lagi makan sendirian atau di rumah. Kalau lagi rame-rame ya jaim doongg...

Waktu SMA, entah kapan kali pertama gue mencoba mie ayam yang letaknya deket dengan sekolah. Cuma di sampingnya. Siapa yang ngajak juga gue sudah lupa. Tapi, sampai sekarang, gue masih ketagihan sama mie ayam di sana. Belum pernah ada mie ayam, pun bahkan sampai berkelana di Jakarta, gue belum menemukan yang rasanya hampir sama. Sebelas dua belas mungkin ada, sebelas dua belas ribu maksudnya.
Entah apa bumbu rahasia yang dicampurkan ke dalamnya. Mungkin biji ganja kali ya? Kata teman gue, kalau masak daging kerbau yang keras kemudian dikasih biji ganja, maka akan jadi empuk. Nggak ada hubungannya palinggg..

Hmm, mungkin perpaduan antara bawang merah, bawang putih, kemiri, tomat, jahe, kunyit, temulawak, brotowali, kencur, serai, (ngawur kabeh), pokoke perpaduan bumbu-bumbu rahasia yang pas dalam penakarannya, itulah salah satu kunci sukses pembuatan mie ayam dengan rasa yang menggugah selera.
Oiya, kembali ke mie ayam yang enak itu. Hmm, membayangkan saja sudah ngiler, apalagi kalau di hadapan gue sekarang ada tuh mie ayam. Langsung ludes semangkoknya.

Penasaran dengan mie ayam yang satu itu? Datang aja ke Muntilan, Magelang. Tepatnya di pinggir jalan. Ya pinggir jalan, karena nggak tahu namanya. Pokoknya, dari arah Jogja ke arah Magelang, setelah melewati terminal Muntilan, jangan sampai tertidur. Sudah dekat. Setelah terminal Muntilan, palingkan kepala ke arah kanan jalan. Nanti ada tempat yang namanya Bambu Runcing. Ciri-cirinya ada bangunan menyerupai bambu runcing. Nah, kalau sudah ketemu, balik lagi, Cuma deket kok. Padahal itu jalan searah. Hehehe... Nah, sebelum Bambu Runcing, kan ada tikungan ke arah kanan. Warung mie ayamnya persis di tikungan tersebut.

Oke, kalau masih bingung, karena kebablasen. Dari terminal Muntilan, nanti ada pom bensin di sebelah kiri, kemudian ada SMK Abdi Negara dan SMA N 1 Muntilan, wah, sayang sekali SMA N 1 Muntilan nggak kelihatan dari jalan raya. Cuma keliatan kubah masjidnya yang gedhe banget. SMA gue. Nah, setl=telah itu kan ada jembatan, namanya jembatan Kali Bangkong. Dari jembatan itu, kira-kira Cuma 100 meteran sudah sampai warung Mie ayam yang enak itu. Di sebelah kanan ya, deket tikungan. Jangan lihat ke kiri, nanti beda lagi warungnya.

Masih belum percaya sama gue? Oke, silakan tanya ke temen-temen SMA gue, kalau kenal sih. Bahkan sampai sekarang, masih banyak di antara mereka yang, istilahnya “nglegakke”, hanya untuk sekadar makan di sana. Ya jelas wong rasanya “mak nyuusss”, kalau kata Pak Bondan. Gue juga sering ke sana, walaupun sudah lulus dan melanjutkanp pendidikan di kota besar. Kalau pas pulang kampung, ya, sesekali makan di sana, sambil nostalgia. Pembelinya juga nggak pernah sepi. Apalagi kalau jam makan siang, sampai antri. Padahal tempatnya sudah lumayan gedhe lho. Bukanya sekitar jam 10 pagi, kalau tutup ya nggak mesti, kalau habis maghrib biasanya mie ayamnya sudah habis, tinggal bakso.

Untuk harga tak usah khawatir. Murah meriah kok. Untuk satu porsi mie ayam Cuma enam ribu perak, bakso tujuh ribu perak, ada juga mie ayam bakso yang Cuma delapan ribu rupiah. Murah, kan?

Ayo-ayo, bagi yang penasaran, bisa kunjungi Kota Muntilan. Sambil membeli oleh-oleh patung dari batu. Hehehe...

Oiya, untuk nama warungnya adalah : “Mie Ayam Wonogiri”


Kalau gue dan temen-temen, suka nyebutnya “Mie Ayam Pak Pri”, karena yang ounya adalah Pak Pri. Awalnya, Pak Pri-lah yang melayani kalau ada pembeli, karena waktu itu warungnya masih kecil. Tapi sekarang sudah ada karyawannya. Selain itu juga, kami menyebutnya “Mie Ayam Solo”, karena dulu namanya itu, ada tulisan di depan warungnya. Tapi, apapun namanya, yang jelas tetap satu kesatuan!

Aku Rindu


Kangen. Itulah perasaan yang ku alami sekarang. Kangen seseorang? Bukan seseorang, tapi beberapa orang. Bukan hanya beberapa orang, tapi juga suasananya. Bukan hanya suasananya, tapi tempatnya. Bukan hanya tempatnya, tapi juga kegiatannya.

Mentoring. Ah, itu dia yang kukangeni. Sebuah kegiatan yang kuikuti sejak kelas satu SMA. Sebuah perkumpulan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sebuah hal baik yang tak ada seorang pun yang mengajakku untuk bergabung. Kalau bukan karena unsur ketidaksengajaan mungkin sekarang aku tak merindukannya.

Awalnya, waktu itu, hari Jumat, lupa tanggal berapa, yang jelas sudah pulang sekolah. Setelah Jumatan, ada acara kajian tiap pekan di hari Jumat. Belum pernah sekali pun aku ikut, entah sudah minggu keberapa kegiatan itu dilaksanakan. Pada waktu itu, karena penasaran, bolehlah sesekali ikut.

Sembari menunggu waktu Sholat Jumat, bingung mau ngapain. Jajan tak mungkin, uang tak mencukupi kalau jajan terus. Mau berkumpul dengan teman yang lain, sudah banyak yang pulang. Masih kelas satu juga, belum banyak kenalan. Maka pada akhirnya, kuputuskan untuk masuk ke mushola sekolah yang nggak terlalu besar, kalau nggak boleh dibilang terlalu kecil. Rupanya di dalam mushola ada perkumpulan, yang beberapa minggu kemudian baru kuketahui kalau namanya liqo’ atau mentoring.

Awalnya masih bingung, nggak ada teman yang kukenal, kemudian ada seorang lagi yang paling tua, bukan seumuran anak SMA. Mereka ngapain, tau-tau sudah bahas siapa yang jadi bendahara. Ah, entahlah, aku sudah lupa apa yang dibicarakan waktu itu. Pokoknya, setelah hari itu, seminggu kemudian, kami berkumpul lagi.

Kami berkumpul dan ngobrol-ngobrol setelah pulang sekolah, sampai acara kajian mingguan selepas sholat Jumat dimulai. Biasanya, bukan biasanya, tapi selalu, sambil menunggu semua berkumpul, kita ngobrol-ngobrol tentang apa saja. Nah, ketika dirasa sudah cukup banyak yang datang, nggak sampai sepuluh orang sih, baru acara dibuka. Kemudian tilawah, terkadang dilanjut ada sedikit kultum—hihihi, bukan kultum ya, soalnya nggak pake dalil naqli—dari kita, yang masih sekolah. Baru setelah itu, materi inti dari sang mentor, yang merupakan mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Jogjakarta, dulu juga merupakan siswa di SMA-ku. Ntah lulus tahun berapa, lupa. Ah, betapa aku merindukan sosoknya, sosok yang mengantarkanku, dan teman-teman sekelompok, untuk mengenal diinul Islam secara lebih mendalam. Sejak lulus lebih dari empat tahun yang lalu, aku sudah tak berhubungan dengan beliau lagi. Bukan sosoknya saja yang kurindu, teman-temannya juga. Meskipun terkadang bertemu dan saling mengirim sms atau sekedar ngobrol di dunia maya, tapi rasanya berbeda dengan waktu itu, ketika kami berkumpul di suatu tempat untuk sama-sama belajar. Setelah materi inti, ada sesi tanya jawab. Biasanya sih jarang ada pertanyaan. Terakhir, adalah curhat. Ada kabar baik atau kabar yang kurang baik apa selama seminggu. Boleh, mau ngomong apa saja.

Mentoring SMA berlanjut sampai kelas tiga, menjelang ujian akhir nasional. Tak terasa, sudah hampir tiga tahun, aku mengenal mereka semua. Teman-teman yang sangat baik, meskipun hanya segelintir orang. Karena aku tahu, memang jalan kebenaran hanya diikuti oleh sedikit orang. Aku bersyukur dipertemukan dengan orang-orang yang luar biasa. Aku tak akan melupakan kalian.

Memasuki dunia perkuliahan, awalnya aku ragu, apakah kuliah di Jakarta ada mentoring juga? Ketika daftar ulang, aku menemukan ada semacam Rohis kalau di SMA. Waktu itu aku belum tahu namanya apakah tetap Rohis atau nggak. Namun, itu belum bisa menyimpulkan apakah ada kegiatan liqo?

Baru setelah diadakan Ospek, kalau di kampusku namanya Dinamika (Studi Perdana Memasuki Kampus), ada mas mentor yang mendampingi kelompok, sepertinya beliau alim, pikirku, mengumpulkan kami, sekelompok yang muslim. Pertemuan pertama, di masjid kampus, yang datang hampir semuanya, Cuma satu dua yang belum bisa ikut. Namun, lama kelamaan, karena proses seleksi alam, tinggal enam tujuh orang yangmasih bertahan. Padahal awalnya sekitar 15 orang. Nah, benarkan, kalau jalan kebenaran itu hanya ditempuh oleh segelintir orang?

Mentoring di kampus nggak jauh berbeda dengan di SMA. Hanya suasananya yang berbeda. Waktunya juga lebih malam karena lebih sebagian besar jauh dari orang tua, jadi harus ngekost. Materinya lebih bervariasi dan lebih berat. Ditambah lagi, ada kelompok-kelompok lain yang juga mentoring. Jadi nggak sepi-sepi amat seperti waktu SMA yang Cuma satu kelompok. Pun sang mentor, masih mahasiswa juga, namun tingkatnya sudah di atas para mentee (sebutan untuk yang dimentori). Misalnya, mentee-nya tingkat satu, maka untuk mentornya minimal harus tingkat dua. Menteenya tingkat dua, maka mentornya minimal harus tingkat tiga. Kalau mentee-nya tingkat tiga, maka mentornya harus bukan dari D3 reguler, bisa D3 khusus atau D4, yang notabene sudah lebih tua.  Ntah kalau mentee-nya sudah D4 tingkat akhir, siapa mentornya. Mungkin sudah ustadz.

Selama tiga tahun kuliah, dan tiga tahun mentoring di bangku kuliah, sudah beberapa kali berganti mentor. Satu mentor saat awal-awal perkuliahan, satu lagi mentor selama tingkat satu, satu mentor yang mendampingi pas tingkat dua dan satu lagi yang mengisi mengisi mentoring tingkat tiga. Kenapa? Karena mentornya sudah lulus. 

Seperti sudah kukatakan sebelumnya, karena proses seleksi alam, tinggallah aku sendiri yang masih bertahan sampai akhir menjelang lulus. Bukan jadi privat lho, tapi digabung dengan kelompok lain yang nasibnya sama. Ya, bukan masalah sih, bisa nambah teman. Permasalahan mengumpulkan personil yang susah, kalau di dunia perkuliahan. Jarang bertemu, meski sekampus. Kalaupun di-sms, nggak akan menjamin dia bakal datang karena kita tak tahun apa yang sebenarnya dikerjakan. Berbeda dengan di SMA yang setiap hari bertemu, jadi gampang mengajak.

Sekarang, memasuki dunia kerja, suasana itu tak kujumpai. Kami, yang dulunya sering mentoring bersama, telah terpisah satu sama lain. Masing-masing dari kami harus bertemu dengan lebih sedikit orang dengan karakter yang berbeda, umur yang berbeda dan pendidikan yang berbeda. Hanya sedikit, sangat sedikit malah,  yang dulunya pernah mentoring. Tapi karena alasan klasik tadi, mereka berhenti. Tak ada teman yang sejalan. Ya, jalan satu-satunya adalah mencari “suapan” ilmu dari tempat lain.

Masih mending, di kantorku ada kajian selepas ashar di hari Kamis. Namun, kurasa itu masih jauh dari cukup. Waktunya sangat sebentar. Juga, kurang ngena, menurutku. Jauh berbeda dengan mentoring.

Ya Rabb, betapa aku merindukan masa-masa itu. Berkumpul di rumah-Mu, membaca fimman-Mu, mempelajari ajaran Rasul-Mu, mempraktikkan perintah-Mu dan menjauhi larangan-Mu serta menyeru kebenaran-Mu.

Ya Rabb, betapa aku sangat merindu suasana itu, di mana kita saling mengingatkan akan kebaikan satu sama lain.

Ya Rabb, pertemukan aku dengan orang-orang yang sedang merasakan hal yang sama denganku sehingga kami bisa memulainya kembali. 

Saturday, January 18, 2014

Pesona Punthuk Setumbu



Pagi yang cerah. Alhamdulillah, sudah 3 hari ini, cuaca cerah, boleh dikata sangat cerah malah, mengingat sekarang adalah waktunya musim hujan. Sepertinya masih terlalu pagi. Sabtu. Hari libur. Akhir pekan. Hari yang ditunggu-tunggu oleh sebagian besar orang yang telah menghabiskan waktunya selama seminggu dengan aktivitas mereka. Bekerja ataupun kuliah.

Gue pancal selembar kain yang menyelimuti badan. Wah, masih dingiiiinnn. Sekilas gue lirik jam di HP, alarm belum berbunyi. Yes, gue menang. 

Dengan mata yang masih susah untuk dibuka—ah, tidur cuma empat jam ternyata belum memuaskan mata—menuju kamar mandi. Cuci muka, gosok gigi, wudhu. Lalu sholat shubuh.

Pagi ini, ada acara mendaki. Mendaki bukit. Bersama, berdua dengan sepupu gue. Berencana melihat sunset, *heh, masak pagi-pagi melihat sunset?* Oh, maaf, masih ngantuk. Otak belum bekerja dengan benar. *Ah, biasanya juga soak kok.* Ssstt!!! Yang bener melihat sunrise. *Wow, sepertinya very exciting*. Yes, u’r right, beibeh.

Jam 5 tepat, kita capcus. *Ah, kenapa sih nggak bisa lebih pagi? Jam 5 kan udah terang?* Bawel banget sih lu? #tampar pakai teklek#

Oke, lanjut. Berdua kita berangkat mengendarai sepeda roda dua, *lebay banget pake kata “m-e-n-g-e-n-d-a-r-a-i”?*. Sekali lagi bawel, gue cokolin nih teklek ke mulut lu! *piisss*.

Sudah lama tak naik sepeda. Terakhir tuh, sekitar #mikir-mikir#... *krik-krik*

Tak sampai seperempat jam bersepeda, pfiuuhh, capek kali gue. Dengan track yang menanjak tajam. *setajam silet*. Akhirnya sampai. Sampai tempat parkir sepeda. #menggeh-menggeh#. *Apa tu menggeh-menggeh?* Susah dijelasin dengan kata-kata. Lalu kita memutuskan untuk jalan kaki saja. Jalannya semakin menanjak. Wah, ternyata sudah banyak mobil dan motor! *Wuihh, pada berangkat jam berapa ya mereka?* Tanya aja sendiri! *sewoottt* #lempar HP#

Ayoo, cepat moving, jangan sampai matahari mendahului kita! *Ayo* Masih remang-remang, gak mungkin bisa foto-foto nih. Ah, lagian juga udah gak sempat lagi. Ntar keburu tinggi mataharinya.

“Mana tiketnya?” kata penjaga "pintu masuk". Oh my Rabb, sejak kapan perlu tiket? *mampus loo!?* “======” Dengan pede, sepupu gue menerangkan asal muasal kita dari alam mana. “Owalah, ====== to?” Jawab si pengecek tiket sambil membiarkan kami lewat.

Dengan napas yang masih agak terengah-engah *kayak habis ngapain aja* #abaikan, lagi fokus# *ceileehhh*, gue berjalan dengan sedikit lambat di belakang sepupu gue, sambil melirik-lirik pejalan yang lain. Lumayan, siapa tau ada yang kecantol. Agak lama berjalan dengan ketenangan. Eh, kenapa lu diem? *lagi fokus* #ngakak tersungging-sungging#

Melewati jalan setapak, atau mungkin dua tapak kali ya, soalnya sedikit lebih lebar jika dibandingkan dengan jalan setapak. Di sekelilingnya banyak, *bukan banyak lagi, tapi semuanya* oiyaa, bener, tumben lu pinter? *aseemmm #jitak#* ampuuunnn!! Ditumbuhi pepohonan, mulai dari rumput *itu bukan pohon kaleee* pohon kecil #tongue# *iishhh*, rumput, ketela, bambu, njur wit opo meneh kae, aku ra ngerti jenenge. *woooyy, pake Bahasa Indonesia yang baik dan bener dongg! #sewot#* suka-suka gue lahh, mulut-mulut gue, juga! #gak kalah sewot#.

Alhamdulillah, sudah dua hari gak turun hujan, jadi jalannya gak becek *gak ada ojek*. Sambil sesekali menghirup udara segaarrr perbukitan. *berarti dari tadi jarang bernapas?*. bernapas lah, tapi gak seintim ini. *maksude opoo??*.

Belum juga sampai puncak. Mana di depan ada ibu-ibu yang bawa anak kecil, jalannya sekenceng siput lari sprint? *rasainn!!* #mendorongnya ke arah ibu-ibu tersebut #kemudian nabrak dan jatuh ke pelukannya #ibu-ibunya seneng #jingkrak-jingkrak #kemudian kejengkang #lalu hening #gue pura-pura gak liat, nyelonong aja sambil nginjak-nginjak dengan penuh kekuatan #lebay banget dheh #gak mungkin lagiii.

Aahhh, setelah perjalanan sekitar sepuluh menit yang penuh intrik dan kontroversi, akhirnya sampailah kita di puncak #sambil menyanyikan lagu kemenangan : we are the champion, we are the champion, we are the champiooonnn# hwaaa, sudah banyak orang!! Gimana mau narsis kalau kek gini suasananya? Jaim dooongg.

Di sebelah timur sana, matahari masih malu-malu untuk menampakkan wajahnya. Baru sedikit sinarnya yang sudah membuat mata ini mulai takjub dengan keindahan alam-Nya.

Masih di sebelah timur juga, tapi agak selatan, berdiri gagah Pegunungan Menoreh. Pegunungan terpanjang di Pulau Jawa. Dari sini, tampak ujung bagian timur dari pegunungan tersebut. Di bagian utara timur, eh, timur laut, tampak dua buah gunung *gunung kembar* hussshh, Gunung Merapi dan Merbabu. Ah, sebenarnya gue membayangkan matahari akan muncul di antara kedua gunung tersebut. *kayak gambar lo waktu SD dongg?* Hahaha... Tapi tak apalah, memang jadwal terbitnya matahari agak di sebelah selatan. Tetap awesome kok.

Tak hanya itu. Dari atas sini, kita bisa memandang siluet Candi Terbesar di dunia. Candi Borobudur. Oww, tapi mana candinya? *noh, ketutupan kabut* Kecil. Tapi keren. Seperti di negeri dongeng, Dikelilingi oleh kabut. Jadi seperti melihat sebuah kerajaan yang ada di khayangan, di mana kabut-kabut diartikan sebagai awan-awan yang menutupi kerajaan tersbut. *lebaynya kumat*. Sayang, gak bawa kamera yang bagus, eh, tepatnya gak punya dheng. *toeng-toeng*

Di sebelah selatan, terpampang nyata *syahrini, boo* pegunungan Menoreh. Memanjang sampai bagian barat *Waktu Indonesia Bagian Barat*. Sebelah utara, tampak pepohonan tinggi nan rimbun. Di bawah sana, ah, tak ada yang lebih menarik daripada melihat bagian bawah sebelah timur. Putih-putih, beberapa siluet pepohonan menambah pemandangan jadi semakin“wow”.

Matahari semakin naik. Beberapa pengunjung semakin asyik berpose agak norak. *kayak lo gak aja?* #senyum devil#. Ikut-ikutan aahhh...

Mata gue tertuju pada sekelompok makhluk, eh, manusia yang kayak orang India, you know lah, orang India kek apa. Eh, tapi kok mereka pinter English? *ya belajar lah emang elu, bisanya Cuma yes no yes no?* #nyokolin sandal#. Sek sek sek, orang mana sebenarnya mereka? Iseng-iseng aja gue ambil gambar mereka. Lagi asyik-asyiknya motert, eh, ketahuan oleh seorang di antara mereka. 
*hahaha, kapokmu kapan?*

“Why’d you take this pict?” tanya si kepala suku.

“Oh, it’s just for fun”

“I dont like this, and pleasa delete this” katanya sambil mengangkat alis.

“Oh, ok. Sorry. I’ll delete this. This, deleted” jawab gue sambil memperlihatkan proses pen-delete-an.

“Oke, thank. Sorry”

“No problem, Sir” gue lihat mukanya sekilas, “Where do you come from, Sir?”

“Singapore”, maafin gue Sir, yang udah menduga kalo si Sir asalnya dari India. Hahaha

“Oh, Singapore. And they’re ur family?” sok akrab.

“Yes, my family. She’s my wife”. Terangnya sambil menunjuk permpuan Chinese, yang merupakan orang terputih dalam rombongan tersebut. Nah, ini dia yang membuat gue iseng ngambil foto mereka. #big smile#. “Where’re you from? Bali or Sumatra? Or from this place?”

“Oh, i’m from near this place”

“************”

“yes?”

“besides this, any other place that I can visit?”

“hmm, you can go to the Highest Spot of Suroloyo, Menoreh hill, or Ketep pass in Sawangan or may be the villages around Borobudur temple..” Gue mau njelasin panjang lebar, samarnya si bule gak ngerti tempatnya. *alaaahh, bilang aja gak bisa basa inggris*

“oke. Thank. What’s ur name?” ih, Si bule kepo dheh.

“Agung”

“oke”, kemudian dia nyelonong pergi. Ah, gak jadi foto ma bule dheh..

Ah, setengah tujuh. Udah mulai panas. Mending pulang aja lah.

Dalam perjalanan pulang, karena udah terang, bisa ngambil gambar-gambar nih. Mulai dari kayu yang telah dikumpulin oleh orang sekitar, jalan yang menanjak, tali pembantu, bambu pembatas jalan, sampai dengan lampu. Gak penting banget yak? Ah, biarin.

Tak banyak yang turun bersama kami. *Karena sebagian besar udah pada turun* good answer. Satu dua bapak tua gue temui. Bukan mau melihat sunrise. Bukan, tapi entah mau ngumpulin kayu atau merumput, atau sekedar iseng aja main ke kebun. *kayaknya yang terakhir gak mungkin dah* emang.

Sesampainya di bawah, gue ambil sepeda. Gue kayuh perlahan. Sambil sesekali selfie. *aiishh*. #melet#

Oke, let’s check the pictures below!


^salah satu penunjuk arah ke Borobudur Nirwana Sunrise -- Punthuk Setumbu^


^ada di puncaknya^


^duo Merapi-Merbabu yang masih diselimuti kabut^


^Wah, crew-nya pake seragam^


^noh, yang duduk-duduk memakai baju item dan ungu, salah satu anggota keluarga bule yang tak sengaja gue potret^


^sunrise-nya gak bagus, karena cuma motret pake HP :(^


^Si Mas yang pake baju lorek biru putih, posenya biasa aja dong Mas? :p^


^seperti bukan sunrise^


^gak perlu takut kehausan kalo udah di atas, udah ada Mas-mas yang jualan miunum^


 ^coba tebak di mana siluet Candi Borobudurnya?^


^ada tali di pinggir jalan, bagi lo-lo yang gak biasa jalan, biar tetep bisa sampai ke atas :p^


^dibatasin bambu-bamu biar gak kebablaseb kalo jalan^


^salah satu bagian dari Menoreh Hill (bukan dari ata Setumbu lhoo^
 

^pengunjunge banyak to?^


 ^para pengunjung dari seluruh penjuru dunia^


^gak dapat tempat di garis terdepan, tak apa, masih bisa nongkrong kok kalo mau ngambil gambar :p^


^narsis dikir boleh kali ya? :)^


 ^salah satu track-nya^


^pepohonan tinggi, menjadi pemandangan sepanjang perjalanan menuju puncak^


^salah satu tanaman budidaya masyarkat sekitar, ketela pohon^


^langitnya biru cerah^


^jalannya ada yang disemen, biar gak becek^


^tuh, ada penerangannya, biar gak nabrak kalo masih gelap^


^ada warung di deket parkiran^


^salah satu view duo Merapi-Merbabu dari sisi lain (belum puncak^


^ini adalah jalan dari jalan raya menuju ke parkiran^

Minat? Buruan gih, ke sana! Nggak bakan nyesel dah! *kecuali kalo ke sananya pas mendung*.
Punthuk Setumbu, Dusun Kurahan, Karangrejo, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Oiya, untuk tiket masuknya, gua gak tau pas-nya berapa. Hehehe… 

Selamat mencoba. Jangan lupa ajak gua. Ntar masuknya gratis. hahaha....

Oke, saran gua, lo jangan coba-coba ke sana dalam waktu deket-deket ini,  soalnya, you know lah, cuaca sangat tidak mendukung.

(Sorry, tulisan di atas banyak dialog tak penting antara gua dengan sisi lain gua. IYKWIM :p)