Hari itu, Jumat lagi, tepat dua minggu setelah ‘resmi berpisah’
dengan teman-teman di kantor Salatiga. Sembilan hari sudah gue meninggalkan tempat ternyaman di
dunia (rumah.red), menapaki tanah baru yang masih sangat asing dan mengenal
budaya yang juga belum pernah gue lihat dengan mata kepala sendiri.
Oke, waktunya menjelajah ke sebuah tempat yang kalau dilihat di
internet atau kata orang-orang sih sangat menarik dan indah. Penasaran juga.
Bukan sebuah sih, tapi beberapa buah, mengingat hari itu adalah salah satu dari
bagian long weekend, Jumat Sabtu Minggu liboorr. Siplah. Kebetulan ada seorang
teman yang datang dari negeri antah berantah (baca: Maje’ne, Sulawesi Barat).
Tujuan kedatangannya sih sebenarnya mau mengambil seonggok barang rongsokan
yang masih ada harganya sedikit, yang gue bawakan dari rumahnya karena dia lupa
bawa ke Sulawesi. Uuhh, menyusahkan saja. Hehehe… Piiisss!!! Sekaligus
jalan-jalan di kota yang dulunya bernama Ujung Pandang juga sih. Ya kali
jaoh-jaoh ke sana Cuma mau ngambil barang doang?
Pagi hari, sebelum Shubuh, tanggal 18 April, temen gue—sebut saja
Ardi—nyampe di Terminal Daya, Makassar. Ah, mana lagi itu? Gue aja, waktu
terbang dari Jogjes ke Makassar, langsung cus ke Bantaeng. Malem pulak. Ndak
tau arah dan tujuan, pokoknya ngikut seorang pegawai Bantaeng, yang dengan
sedikit pemaksaan dari gue, mau menjemput dari Bandara Int’l Sultan Hasanuddin
dan menemani sampai Bantaeng. Semoga kebaikan Anda dibalas dengan berlipat oleh
Yang Maha Kuasa, Mas. Aamiin…
Balik ke rencana gue sama Ardi yang mau backpackeran—yang pada
akhirnya nggak jadi karena gue kembali ke Sungguhbinasa, eh Sungguminasa di
Kabupaten Gowa, sekitar 2 KM kalau dari perbatasan Gowa-Makassar—keliling kota
tempat di mana plat nomor kendaraannya adalah DD dan kota/kabupaten sekitarnya.
Awalnya sih, ngobrol di wasap, pengen ke tempat-tempat eksotis dan erotis, eh,
salah,, mana aja ya? Sampai lupa dengan rencana karena beberapa tidak jadi
dikunjungi. Waktu yang sangat terbatas, Cuma 3 hari, euy, masak mau menghabisi
Makassar langsung?
Dengan modal nekad setelah sebelumnya bertanya ke temen sekantor
di Gowa tentang transportasi menuju Terminal Daya, gue beranikan diri naik
pete-pete (angkot.red) sendiri. Bismillah. Katanya sih, naik pete-pete depan
pasar yang berjarak sekitar 300 meter dari kantor, terus turun di Sentral.
Tempat macam apa pulak itu Sentral? Tauk ah! Ntar Tanya ke pak sopir. Nah, dari
Sentral, yang merupakan KM 0 nya Kota Makassar, dilanjutkan dengan pete-pete
berwarna biru muda yang sudah berumur tua menuju Terminal Daya. Dalam benak
gue, terminal itu berada di pinggir jalan raya dan luas banget, mengingat di
sanalah semua angkutan yang menghubungkan Makassar dengan daaerah lainnya. Eh,
nggak taunya agak masuk ke gang sempit di mana di sana nggak ada penanda bahwa
di dalamnya ada terminal. Karena gue nggak tau, gue kebablasen. Sial! Sekalinya
naek pete-pete langsung dapet pengalaman nggak mengenakkan. Untung ada
penumpang yang berbaik hati memberikan solusi pete-pete apa yang harus gue
naikin untuk sampai ke terminal. Sesampainya di Terminal Daya, gue agak syok.
‘Lhoh, ini terminal?’ batin gue. Kok kaya lapangan rumput gitu ya? Sepi juga.
Apa gue yang salah? Mberuh lah. Saatnya memberitahu temen gue bahwa gue sudah
sampai Daya.
Terminal Regional Daya Makassar |
Ya, karena masih baru—sangat baru malah—menginjakkan kaki di
Makassar, kami bingung mau kemana dulu. Nggak tahu lokasi tempat wisata yang
menjadi tujuan awal serta nggak tau harus naik apa. Tambah bingung. ‘Baiklah,
gimana kalau ke panTAI LOsari dulu?’, usul gue ke Ardi. Setuju. Pertanyaan
berikutnya, ke sana gimanaaa??? Ndak ada yang tahu ji’. Gue nyari inisatif,
nanya ke mbak-mbak petugas minimarket—kami janjian ketemu di minimarket yang
letaknya berada di Jalan Perintis Kemerdekaan, 500 meter dari terminal Daya.
Nah, si mbaknya juga bingung, soalnya nggak pernah naik kendaraan umum, baik
itu pete-pete ataupun angkutan lainnya. Dia Cuma memberitahu bahwa dari depan
minimarket, naik pete-pete ke Sentral, habis itu disuruh Tanya lagi di sana. Oh
my Robb, gue harus balik ke Sentral lagi? Gini ni kalau nanyanya kurang
lengkap. Jadinya bolak-balik. Hmmm, tapi ndak papa lah, sekalian menjelajah
tempat baru.
Kami naik pete-pete sejenis dengan yang gue tumpangi tadi,
tepatnya jurusan “Makassar Mall – Terminal Regional Daya – Sudiang”. Nah, waktu
berangkat gue nyampe di Sudiang. Sesampainya di Sentral, kami ditawari untuk
naik becak kayuh oleh seorang bapak-bapak (lebih dari) paruh baya. Penawarannya
20 ribu sampai ke Pantai Losari, melewati benteng Fort Rotterdam. Gue dengernya
malah si bapak ngomong “Bantaeng”, demikian juga si Ardi. Wuuiihhh, ‘roso tenan
bapake’ bisa ngayuh sepeda sampai ke Bantaeng. Berapa jam cobak, orang naik
mobil aja bisa nyampe 4 jam? Setelah dicerna dengan seksama, barulah gue paham
bahwa bapaknya bilang “benteng”. Ooo…
Sebelum meng-iya-kan tawaran si bapak tukang becak, kami
menanyakan jaraknya, siapa tahu Cuma deket, kan, jelas nggak mau rugi. Masak
bayar 20ribu Cuma becak 5 menit? Mending jalan. Gue baru merasakan bahwa
ternyata jauh juga kalao jalan kaki, butuh waktu setengah jaman. Ya, namanya
juga nggak tau. Tapi sebelum meluncur ke Losari, kami mampir dulu ke Benteng Fort Rotterdam, sekitar sepuluh menit jalan kaki dari Sentral. Panas banget.
(to be continued…)
No comments:
Post a Comment