Thursday, February 27, 2014

Eksotisme Borobudur Nirwana Sunrise




Punthuk Setumbu, mungkin bukanlah sebuah kata yang asing lagi bagi para jiwa petualang. Sebuah bukit yang terletak tak jauh dari Candi Borobudur, Magelang, jawa Tengah. Tepatnya di Dusun Kurahan, Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur. Jaraknya tak sampai 5 kilometer kalau ditempuh dari Candi Borobudur. Arti kata punthuk itu sendiri adalah tanah yang “mawur”, tidak padat dan tidak pula mudah terurai seperti halnya pasir, di mana di sekelilingnya gundul alias tidak ditumbuhi oleh rumput atau pohon.

 

Punthuk Setumbu terkenal sebagai Nirwana Sunrise yang ada di wilayah Borobudur. Dari sana, Anda bisa melihat sunrise yang sangat indah. Kalau beruntung, Anda bisa melihat matahari pagi yang muncul dan bersinar di antara Gunung Merapi dan Merbabu. Ya, dari atas Punthuk Setumbu Anda bisa menikmati panorama keindahan dua gunung yang mengelilingi Kabupaten Magelang, Gunung Merapi dan Merbabu. Sangat cantik. Apalagi kalau di bawah sana masih tersisa kabut yang menutupi pepohonan dan rumah-rumah penduduk. Niscaya Anda akan merasa bagaikan berada di atas kerajaan langit.




 

 


Tidak hanya menawarkan pemandangan eksotisme Gunung Merapi dan Merabu yang berada di sebelah utara, Punthuk Setumbu juga 
akan memanjakan mata karena Anda bisa menikmati rentetan Pegunungan Meroreh yang membentang di bagian selatan.
Belum genap sepuluh tahun nama Punthuk Setumu dikenal, baik oleh warga sekitar atau masyarakat luas. Ada cerita yang mengisahkan bahwa Punthuk Setumbu ditemukan oleh seorang kyai yang berasal dari Jawa Timur. Sang kyai bermimpi bahwa ada punthuk di daerah Borobudur di mana dari atasnya bisa tampak matahari terbit. Saya tidak tahu apakah itu benar-benar atau hanya berakhir sebagai sebuah cerita yang kelak akan menjadi sebuah legenda.




Nah, kalau belum pernah berkunjung, Anda patut ke sana. Dijamin tidak menyesal, kecuali Anda datang kesiangan atau cuaca berawan. Saya sarankan agar Anda travelling ke Punthuk Setumbu kalau sudah musim kemarau. Sekitar bulan April sampai bulan September. Di samping itu jalannya pun tidak lagi becek terkena air hujan. Saya, kali terakhir, melihat indahnya sunrise pada tanggal 23 Februari 2014. Bersama beberapa teman SMA, berdelapan kami sangat beruntung. Meskipun mendung dan sehari sebelumnya hujan tidak berhenti mengguyur, sunrise-nya sangat keren. Perlahan sang mentari keluar dari peraduannya. Mulai dari garis tipis, setengah lingkaran, sampai dengan bulat sempurna. Tidak hanya itu, di sisi barat, tetiba ada pelangi yang muncul. Sungguh merupakan pemandangan yang sangat menawan. Walaupun saya sudah beberapa kali datang ke sana, baru kali ini say menyaksikkan langsung sunrise yang begitu cantik, ditambah pelangi yang membentang di sisi lainnya.Hanya satu yang disayangkan, tak seorang pun dari kami yang mempunyai kamera DSLR.

 

Untuk bisa menikmati sunrise, sebaiknya Anda sudah berada di Punthuk Setumbu pada pukul 05.00 sampai dengan 05.15. Dari kawasan Borobudur, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncaknya adalah sekitar 30 menit kalau menggunakan transportasi mobil atau tidak sampai 30 menit kalau menggunakan transportasi sepeda motor.

 

 

 



 

 



Di sana juga ada crew yang siap mengantar Anda berjalan sampai puncak kalau Anda merasa butuh pendamping. Anda juga tak perlu kehausan karena di puncaknya ada penjual minuman; kopi, teh atau sekedar air mineral.

Punthuk Setumbu tidak hanya terkenal di kalangan wisatawan domestik. Banyak wisatawan luar negeri yang tertarik untuk mengagumi keindahan sunrise dari sebuah bukit yang ada di dekat Candi Borobudur. Saya pernah berkenalan dengan seorang bule dari Singapura yang berkunjung bersama keluarganya.

 



Pada awalnya, para pengunjung tidak dikenakan tiket masuk. Baru beberapa bulan terakhir ini diberlakukan tiket masuk sebesar Rp 15.000,00 untuk wisatawan domestik dan Rp 30.000,00 untuk wisatawan mancanegara.  Namun, bagi saya, tak masalah karena rumah saya dekat dengan Borobudur Nirwana Sunrise. Jadi, kalau mau main ke sana, tidak perlu merogoh kocek alias gratis. Hehe...
 
















Satu hal lagi yang tak kalah menarik untuk dilihat dari Punthuk Setumbu. Siluet Candi Borobudur yang terlihat sangat kecil. Tampak seperti segitiga bergerigi yang dikelilingi oleh kabut. Bagaikan melihat negeri di atas awan. Silakan berkenjung ke sana dan rasakan sensasi yang berbeda dari yang lainnya. Salam.








RAFTING DI KALI MANGU (ELO)



Sebagai salah satu kota yang dikelilingi oleh beberapa gunung: mulai dari Gunung Merapi dan Merbabu di sebelah utara dan timur, Sindoro dan Sumbing di bagian barat, Telomoyo dan Andong di sebelah barat dan utara serta Pegunungan Menoreh yang membentang di sepanjang arah selatan; Kabupaten Magelang dan Kota Magelang dialiri oleh ratusan sungai baik sungai besar, seperti Sungai Progo dan Sungai Elo, maupun sungai-sungai kecil lainnya. Tak heran jika banyak para traveller dalam ataupun luar negeri yang memanfaatkan waktu liburan di Magelang dengan cara arung jeram atau rafting.

Ada beberapa paket rafting yang ditawarkan. Masing-masing agen penyedia saling memberikan paket terhemat dan fasilitas yang berbeda dengan yang lain agar bisa menggaet pelanggan. Maklum, persaingan sangat ketat. Kalau harga mahal, ya siap-siap saja banyak yang kabur. Ada paket rafting di Kali Elo; dan Kali Progo yang terdiri dari Progo Bawah, Tengah dan Atas, yang masing-masing mempunyai tantangan tersendiri. Namun, semuanya memilili satu kesamaan, jeramnya alami semua, nggak ada yang buatan, begitulah kata skipper yang pernah membawa saya dan teman-teman rafting di Kali Elo. Untuk Anda yang belum pernah rafting, ataupun tidak bisa berenang tapi ingin merasakan sensasi menyusuri sungai, jangan khawatir, paket rafting di Kali Elo dan Kali Progo Atas adalah solusinya.

Sebagai orang yang belum pernah menikmati rafting—kalau hanya menyusuri aliran sungai sih sering—tentunya rasa penasaran itu ada. Melihat lalu lalang mobil angkot yang membawa kapal di atasnya membuat saya ingin merasakan bagaimana serunya rafting itu. Menaiki kapal sambil mendengarkan gemericik air dan suara sayup-sayup pepohonan yang terkena angin. Mungkin akan seperti berada di negara Venesia. Bedanya, kalau berada di Venesia pemandangan yang dilihat adalah kota yang tertata rapi, sedangkan di sini, Anda akan melihat hijaunya pepohonan yang masih asri dan natural.


Rencana rafting dimulai ketika ada teman yang update status di salah satu socmed, yang intinya mengajak berkumpul. Kemudian nyeletuk satu komen : “rafting”. Nah, beberapa pada setuju termasuk saya. Dan, berhubung orangnya masih kuran makanya beberapa dari kami mengajak teman yang lain. Entah sudah berapa yang saya ajak, kebanyakan nggak ikut karena alasan biaya. Saya tak boleh kalah akal, berbagai rayuan saya keluarkan, tenaga saya kerahkan dan pulsa saya habiskan. H-3 ternyata masih kurang beberapa orang. Minimal harus dapat 12 orang. Mbuh piye carane. Berkali-kali saya sangsi dengan rencana rafting. Hampir putus asa. Padahal teman saya sudah menawarkan harga satu kapal, yang awalnya Rp 750.000,00 menjadi Rp 600.000,00.

Petualangan rafting kali pertama saya timing-nya mungkin kurang pas. Dengan rencana yang dibahas di salah satu socmed dengan waktu yang kurang dari seminggu, ditambah lagi belum jelasnya personil-personil yang mau ikut dan hari yang cocok untuk rafting. Sempat terjadi perdebatan kecil untuk menentukan hari, antara Hari Sabtu atau Minggu. Akhirnya hari Minggu-lah (16 Februari 2014) yang ditetapkan sebagai hari bersejarah bagi saya.

Hari Jumat pagi, qodarulah, turun hujan abu karena meletusnya Gunung Kelud. Sempat terpikir untuk membatalkan acara rafting yang dalam menentukan hari dan dua belas personelnya sudah pusing tujuh keliling, harus rayu sana rayu sini dan sedikit pemaksaan agar mau ikut (sebenarnya tujuan utama dari pemaksaan tersebut adalah supaya mbayarnya pas cepek karena satu kapal dihitungnya Rp 600.000,00 untuk enam orang penumpang, jadi kalau dua kapal berarti harus 12 orang). Alhamdulillah, setelah berdiskusi yang lumayan menguras pikiran, menguras pulsa dan menguras emosi, kebanyakan tetap pada mau ikut. Kapan lagi mau ngumpul sambil mendayung di atas kapal dan menikmati coklatnya air Kali Elo? Toh, masih ada hari Sabtu. Siapa tahu Hari Sabtu cuaca lebih bersahabat.

Hari yang ditentukan pun tiba. Pukul 09.00 kurang semua harus siap. Saya yang menjadi salah satu penanggung jawab dalam acara ini seharusnya datang pukul 08.00. Tetapi, berhubung pada pagi harinya ada acara mendaki ke Punthuk Setumbu dan baru turun pada pukul 07.00 (semua gegara salah seorang teman saya—yang dari dulu ingin melihat sunrise siluet Candi Borobudur dari atas Punthuk Setumbu—yang betah banget memotret padahal sunrise-nya saja nggak kelihatan. Alhasil, saya-lah yang kena semprot teman-teman yang lain yang sudah sampai lebih dulu di Kampoeng Ulu Resto. Kampoeng Ulu Resto adalah sebuah tempat beralamat di Pabelan, Mungkid, Magelang—kalau Anda dari Borobudur dan mau ke Jogja, maka Kampoeng Ulu Resto berada di sebelah kiri, kira-kira 6 km dari Borobudur—yang merupakan awal mula sebelum para raftinger diantar ke sungai yang menjadi tujuan, bisa Kali Elo atau Kali Progo. Di sana juga sering diadakan acara perkemahan bagi anak-anak sekolah di Kabupaten Magelang.

Setelah proses administrasi selesai, mendekati pukul 09.00, berduabelas kami diantar naik angkot menuju Jalan Magelang-Jogja Km 7, atau lebih tepatnya di Dusun Pare, Desa Blondo, Kecamatan Mungkid, Magelang. Perjalanan dari Kampung Ulu Resto ke lokasi turun rafting membutuhkan waktu sekitar 20 menitan. Di sana kami di-briefing tentang apa-apa yang berhubungan dengan rafting. Mulai dari pemakaian atribut dengan lengkap dan benar, cara mendayung sampai pertolongan apabila ada teman yang nyemplung di air. Tentunya sebelum naik kapal, foto-foto tidak boleh ketinggalan. Akan tetapi, berdoa tetap nggak boleh ketinggalan. Kudu dan wajib, mengingat dari berduabelas, hanya dua orang yang sudah pernah rafting. Nekad adalah kuncinya! Bismillah.


  


    

 

 
 

  





Wah, rasanya dheg-dhegan antara penasaran, senang nggak percaya dan takut kalau tenggelam, ya meskipun sudah memakai pelampung, rasa khawatir pasti ada. Untungnya dari kami sendiri sudah ada dua kapal. Kalau cuma sekapal, nggak bisa membayangkan bagaimana “krik-krik”nya sepanjang perjalanan yang akan dilalui.

Yuhuu. Kapal berangkat. Seru, padahal belum apa-apa. Membayangkan bagaimana kalau tetiba ada buaya lapar kemudian merobek-robek kapal yang kami tumpangi. Kapalnya hancur dan dan kami terpisah satu sama lain, saling berteriak meminta tolong padahal masing-masing akan menghadapi si raja sungai. Belum-belum pikiran mengerikan sudah terlintas di kepala. *sebuah paragraf yang tak penting*
Berduabelas, delapan cewek dan empat cowok berarti pas nanti sekapal ada dua cowok dan empat cowok. Saya baru menyadari—setelah kapal berangkat—bahwa pembagian kelompok kapal adalah SALAH BESAR. Kapal pertama yang berwarna abu-abu terdiri dari saya sendiri, Ahmad Ulin Niam, Nurul Fatimah, Eka Safriliani, Yuyun Naifular dan Linda Tunggal Saputri. Sedangkan kapal kedua yang berwarna kuning-merah-hitam—seperti bendera Jerman—terdiri dari Didik Kurniawan, Ahmad Andrias Ardiyanta, Siti Mahmudah, Widya Puspita Destyara, Naely Rachmawati dan Rina Arifatul Khoridah. Semuanya adalah teman SMA saya, kecuali Ulin dan Ardiyanta yang merupakan teman sekantor magang. Kenapa saya sebut salah besar? Karena penumpang kapal pertama semuanya termasuk ke dalam kategori orang yang nggak bisa diam. Belum lagi ditambah si mas-mas pemandu—yang berinisial Rofiq—yang juga banyak ngomong, serta dengan candaannya yang menurut saya sangat jayus sekali. Baru memasuki jeram pertama yang masih agak tenang saja sudah heboh.  Berbeda dengan kapal kedua yang kalem-kalem, meskipun sebenarnya ada juga yang nggak, tapi karena yang lain pendiam, ya jadinya nggak ada suara. Sungkan kali ya, mau berkoar-koar? Si pemandunya juga pendiam. Paket lengkap-lah, kapal kedua nggak seheboh kapal pertama.




Sepanjang perjalanan rafting, banyak cerita dan ilmu yang dibagikan oleh sang pemandu. Tak lupa, kami berenam dikasih tahu nama-nama jeram yang terdapat di Kali Elo, ada Jeram Setia, Jeram Sesek, Jeram Keriting, Jeram Ciluk Baa, Jeram Kedung Celeng dan masih banyak nama yang lain. Setiap melewati jeram, berenam kami kegirangan sekaligus was-was kalau tetiba kapalnya menabrak batu besar dan terbalik. Kami berteriak mengejek kapal kedua yang nggak kedengeran suaranya. Apa saking takutnya sehingga untuk berteriak pun tak mampu? Ntahlah.

Ah, iya, satu hal yang sangat saya benci dari rafting kemarin. Karena yang cowok duduk di depan dan kapal kedua berangkat duluan sehingga posisinya berada di depan kapal pertama, dengan seenak udelnya, skipper kapal pertama menyiramkan air ke tubuh saya. Belum lagi, teman yang lain juga ikut-ikutan mengarahkan tembakan airnya ke badan saya. Belum-belum sudah basah kuyup. Nggak seru, masak basahnya bukan karena terjatuh ke air? Saya  mencoba  membalas, tapi tetap saja kalah karena posisi kapal saya di belakang sehingga untuk mengangkat air dengan dayung akan lebih terasa berat. Kalau toh bisa juga nggak mungkin sebanyak jika dilakukan dari depan. Terima kasih untuk basah yang kalian berikan sebelum waktunya. Pokoknya harus dibalas. Skipper kapal kedua yang berinisial Supri, (maaf kalau salah), Anda sudah saya kedinginan terlebih dahulu!


 

Kedua kapal saling salip penyalip, meskipun kapal yang saya tumpangi lebih sering di belakang. Sengaja kali ya, si skipper kapal pertama, membiarkan saya di-guyangi oleh penumpang kapal kedua dengan membiarkan kapal pertama jarang di depan. Dendam kesumat. Lha apa salah saya?

Berkali-kali berenam kali pindah posisi. Yang awalnya duduk di depan harus merasakan duduk di tengah dan belakang. Demikian yang lain. Saya perhatikan, kapal kedua nggak banyak mengubah posisi duduk. Yang depan tetap cowok terus.

Ada satu kejadian yang menurut saya, itu sangat memalukan. Aneh juga. Kalau rafting kan berarti harus pegang dayung ya? Lha anak yang bernama Didik malah nggak pegang dayung. Lalu apa? Megang nasi bungkus! Yang lain sibuk mendayung, eh dia malah enak-enak makan? Dasar orang aneh. Belum lagi memakai kacamata renang dan masker. Saya curiga, jangan-jangan besok kalau rafting lagi, dia membawa kasur dan bantal guling. Bisa jadi. Saya jadi malu mengajak rafting teman seperti dia. *tongue*


 
 
Belasan jeram telah dilalui. Banyak pemandangan sudah dinikmati. Mulai dari orang-orang yang sedang mancing—pasti marah kalau kami lewat di dekatnya, ada biawak juga, pohon kelapa gundul—nggak ada daunnya, sampai pemandangan yang bukan termasuk fasilitas rafting—itu kata skipper-nya—yaitu, ibu-ibu, eh mbah-mbah, yang sedang mencuci sambil kembenan. Belum lagi, kata mas pemandu, ada kamar mandi yang nggak berpintu. Satu buat cowok, satu buat cewek. Pas jam siang-siang, mendekati waktu Zhuhur, yang mandi adalah bapak-bapak dan ibu-ibu yang mau sholat. Kalau sore hari, jadwalnya para anak SMA yang membersihkan diri. Gila, sampai hapal dheh!

 


Memasuki perairan yang agak tenang dan cukup lebar, berenam kami disuruh berdiri di pinggir kapal sambil berpegangan satu sama lain. Agak susah juga. Harus dari satu per satu berdirinya. Setelah semua berdiri, si pemandu memutar kapalnya sehingga keseimbangan kami terganggu. Bagi yang nggak bisa menjaga, ya siap-siap jatuh, bisa jatuh sendiri atau malah semuanya. Harusnya kalau berdiri begitu ada kapal yang menabrak dari arah hilir. Namun karena hanya ada dua kapal, diputar-putar juga sudah cukup menggoyahkan keseimbangan.
Setengah perjalanan, kami beristirahat. Wah, baru sebentar sudah istirahat. Padahal sebenarnya sudah sejam kami naik kapal. Namun karena saking serunya, jadi nggak ingat waktu. Di rest area, kami disediakan beberapa macam snack dan air kelapa muda (degan). Ah, bukan degan, kebanyakan terlalu muda jadi belum ada kelapanya, atau istilah jawanya disebut “cengkir”. Kalau nggak terlalu muda, ya ketuaan. Kalau di Jawa disebut “kambil enom” (kelapa muda). Dalam istilah jawa sendiri, tingkatan buah kelapa adalah : bluluk (yang belum terbagi atas kulit, batok kelapa dan buahnya, masih kecil), cengkir (sudah ada batoh kelapa, namun belum ada buahnya), degan (buahnya empuk yang biasanya dibuat es klamud), kambil enom (buahnya lebih keras daripada degan, biasanya digunakan untuk bumbu urap) dan kelapa tua. Nah, yang disediakan di rest area itu bukan degan. Kalau nggak cengkir ya kambil enom. Agak sedikit kecewa sih.







 

 



Setelah minum dan makan snack, berduabelas kami main-main di air. Ada yang kencing juga. Ah,  pada mencari kesempatan itu, mentang-mentang sudah gedhe dan lama nggak ngompol di celana, berendam di sungai sambil membuang hajat menimbulkan kenikmatan terbesar dan terindah. Nggak ada yang tahu, kecuali dirinya dan Tuhan.

Tak lupa, mengabadikan kekonyolan setiap insan yang malunya sudah berkurang, menjadi keharusan yang nggak boleh terlewatkan. Ya berfoto. Padahal tiap hari sudah berfoto. Tapi entah kenapa berfoto itu—walaupun dengan baju dan tempat yang sama—menciptakan sensasi yang berbeda. Setiap gerak-gerik perlu untuk diabadikan.



 







Istirahat usai, lanjutkan perjalanan. Masih dengan penumpang yang sama. Padahal saya pengen bertukar kapal. Merasa tidak nyaman dengan si pemandu yang selalu menyudutkan saya. Diam salah, ngomong apalagi. Ah, sudahlah. Nanti kalau si pemandu becanda, tak respon dengan jawaban “krik-krik-krik” saja-lah.

Perjalanan selepas istirahat, kapal kedua baru terdengar suara jeritannya. Oh, sekarang baru tahu kalau yang menjadi masalah tidak keluar suara adalah rasa lapar. Hmmm. Berbeda dengan kami yang “mencoba” untuk lebih kalem, nggak teriak-teriak. Tapi karena memang dasarnya susah diam, ya tetap saja mulut nggak bisa diajak mingkem. Justru malah semakin keras. Ahhh...

Pelan-pelan, kami menyusuri Kali Elo, atau yang sering disebut Kali Mangu. Melihat rerimbunan pohon yang nggak hijau karena terkena abu vulkanik Gunung Kelud. Berkali-kali kami harus menutup mata dan hidung ketika angin berhembus cukup kencang sehingga abu beterbangan.

 

 





Rafting nggak akan seru kalau hanya duduk-duduk dan mendayung di atas kapal. Flip. Kapal terbalik. Itu serunya. Di tempat yang agak teduh, kami semua disuruh duduk di bagian kanan sambil terus mendayung. Semakin cepat mendayung, kapal semakin miring. Lama-kelamaan kapal terbalik. Ini yang ditunggu. Tapi tunggu dulu. Apa-apaan ini? Masak terbalik di sungai yang dangkal? Kaki saya menyentuk bebatuan di bawah sungai. Bahkan ada teman yang kakinya lecet gegara menghantam batu. Pemandunya gimana sih? Masak dibilanag kalau kemarin dalam? Mana mungkin. Minta di-kelekke tuh orang! Kami kecewa. Titik.

Baiklah, lupakan sejenak masalah itu. Sejenak karena nantinya bakal terus dibahas. Lanjutkan perjalanan. Saya menunggu Green Canyon-nya Kali Elo. Seperti apa ya? Penasaran. Apakah menakjubkan? Oke, kami sampai. Pemandangannya lumayan sih, bikin mata seger. Mau berenang-renang dulu. Ah, sayangnya nggak dipotret. Tapi mana mungkin, orang tempatnya nggak memungkinkan untuk dijangkau oleh sang fotografer? Renang—bukan renang sih, tapi terbawa arus—selama beberapa menit. Si pemandu mengingatkan agar semua merapat ke kiri karena di bagian kanan banyak bebatuan. Sekalian naik ke kapal. Yaaa, padahal masih pengen berendam.
Mendekati kapal, sebenarnya saya tinggal naik, tapi karena masih pengen di air, makanya masih lanjut. Tau-tau sudah menjauhi kapal. Si pemandu teriak-teriak supaya saya mendekat. Lha yo angel to, Mas. Melawan arus. Saya minta tolong ke teman saya, eh dia malah ikut terbawa arus. Belum lagi, satu teman lagi malah ikut-ikutan. Alhasil kami bertiga berpegangan pada carang (bambu kecil) yang menjulur ke permukaan air. Apa jadinya kalau bambunya patah dan bertiga kami harus hanyut. Bukannya takut, malah kegirangan. Sudah gitu, penumpang kapal kedua menyalip kami dan mengguyurkan air ke wajah kami. Kurang ajar!

Akhirnya naik kapal juga. Kedinginan. Perjalanan masih harus berlanjut entah sampai kapan. Panas semakin menyengat. Kulit serasa terbakar. Belum ada tanda-tanda kehidupan di depan sana. Beberapa jeram sudah bisa dilalui tanpa perlu berteriak-teriak seperti waktu pertama tadi. Si pemandu semakin nggak jelas saja bercandanya. Saya sudah nggak peduli dengan apa yang diucapkannya, kecuali instruksi tentang pe-rafting-an. Terlanjur mutung.

Satu hal lagi yang mengasyikkan saat rafting. Spinning. Kapalnya berputar-putar melewati Jeram Keriting, paling panjang di antara yang 
lain. Penumpang sebelah kanan mendayung ke depan, sedangkan yang sebelah kiri mendayung ke belakang. Berputar beberapa kali. Ada rasa khawatir kalau terpental dan menghantam batu. Kalau yang ini memang harus teriak. Nggak seru kalau diam.

Di akhir-akhir perjalanan rafting, si pemandu memberikan tips bagaimana mendayung yang benar, bagaimana mendayung agar tangan tidak sakit dan kuat mendayung bahkan sampai empat kali rute rafting. Semua memperhatikan. Ternyata susah juga memprakrikkannya.
Ketika hampir sampai finish, nggak perlu didayung. Biar lebih lama di kapal. Kemudian baru saya tahu bahwa petualangan kali ini akan segera berakhir dalam beberapa menit. Ah, rasanya pengen mendayung melawan arus dan kembali ke tempat kami turun tadi. Tapi tidak mungkin. Kapan bisa rafting lagi? Ke Kali Progo?

 

 

 



Tak terasa, perjalanan sepanjang 12,5 km melewati Kali Elo sudah berakhir. Waktu sudah menunjukkan pukul 12 lewat. Lama juga ternyata. Untuk finish-nya berada di Desa Srowol, Mendut, dekat Candi Mendut. Kembali ke Kampoeng Ulu Resto dengan menaiki angkot yang sejenis tapi tak sama.

Sesampainya di Kampoeng Ulu Resto, kami diberi hadiah yang berupa plastik kresek. Ah, kirain apa. Tapi lumayan, bisa buat bungkus pakaian yang basah. Lha, tujuannya apa lagi kalau bukan untuk itu?

Membersihkan diri. Katanya ada 60 kamar mandi. Tapi nggak sempet tak itung. Kurang kerjaan saja. Sholat Zhuhur. Kemudian makan siang. Makan siang sudah termasuk ke dalam paket rafting. Tenang saja.

Sebenarnya, sehabis makan siang, kami masih mau melanjutkan foto-foto di Kampoeng Ulu Resto. Tapi, melihat keadaan yang masih dipenuhi dengan abu, niat tersebut kami urungkan. Daripada kelilipan, mending nggak usah. Kali lain, semoga diberi kesempatan untuk bisa kembali ke sana.











Nggak ada yang menarik untuk diceritakan lagi. Mending diakhiri saja cerita petualangan rafting kali ini. See ya on Next Rafting Trip!


*24 Februari 2014, 23.40, Salatiga*