Friday, May 9, 2014

My Traveling Stories In Celebes (Losari - "Masjid Apung" - Culinary : Part 1)



Perjalanan pada hari itu, Jumat 18 April 2014 belum berakhir, justru baru akan mencapai puncaknya. Setelah menikmati minuman khas Makassar, yaitu es Pisang Ijo (nulisnya sambil ngiler membayangkan segarnya es tersebut), Ardi bertanya ke ibu-ibu penjual esnya. Ternyata, untuk menuju Pantai Losari bisa ditempuh dengan jalan kaki atau bisa naik becak tapi harus muter dulu. Nggak ada pete-pete ya? Hmmm, kami memutuskan untuk jalan kaki saja. Siapa tahu jaraknya nggak sejauh dari MTC Karebosi (Sentral) ke Benteng Fort Rotterdam. Ya, itu imajinasi gue saja, toh, di depan benteng juga sudah bibir pantai, berarti pantai yang merupakan ciri khas dari Kota Coto tidak akan jauh, paling ya 500 meter.

Kami berjalan menyusuri pinggir Jalan Penghibur. Sang surya siang ini bersinar sangat terik dan menyengat. Topi yang gue pakai seakan tak membantu sedikit pun. Ingin rasanya mengeluarkan payung dan membukanya, tapi ntar pasti dikira manja. Ah, ya sudahlah, sekalian menghitamkan kulit yang memang dari dulu berwarna sawo mateng, pake banget lagi.

salah satu sudut di Jalan Penghibur
Lima menit berjalan kaki, belum ada tanda-tanda akan kehadiran pantai yang kami tuju. Malah pantai yang sedari awal gue lihat di depan benteng nggak ada lagi. Jangan-jangan salah jalan? Sudah lima belas menit, malah semakin banyak ruko-ruko yang berdiri di sepanjang jalan. Ya, gue berharap Pantai Losari itu adalah pantai dengan pasir putih dan ombak yang sedang-sedang saja. Sekali lagi, gue terlalu high expectation.

Kapan sampainya ini???

air laut sudah mulai terlihat
Setelah perjalanan panjang yang membuat badan keringetan maksimal dan haus tak tertahankan, akhirnya kami menemukan sebuah pencerahan. Pencarian tulisan “PANTAI LOSARI” akan segera berakhir. Tulisan yang kami lihat berwarna merah, padahal kalau baca-baca di internet, warnanya putih. Atau jangan-jangan sudah berubah warna? Oke, kita lihat saja.

Berjalan mendekati tulisan yang membuat kami semakin penasaran. Belum jelas gimana bunyinya, secara kami berjalan dari samping tulisan. Beda kalau dari depan, pasti akan langsung ketahuan. Kami semakin mempercepat langkah kaki. Gue nggak nyangka, bisa secepat ini gue bias menginjakkan kaki di sini. Alhamdulillah.

langit biru cerah
Eh, tapi tunggu dulu. Ternyata tulisan merah itu bukan “PANTAI LOSARI”, melainkan “CITY OF MAKASSAR”. Hahaha… Di samping kiri kanannya ada tulisan “MANDAR” dan “TORAJA”. Salah dua dari empat suku yang ada di Pulau Sulawesi. Sampailah kami di anjungan Mandar-Toraja.
Baiklah, karena belum  menemukan spot yang menjadi tujuan, kami melanjutkan perjalanan di tengah terik sinar matahari yang semakin menjadi-jadi. Tak sampai lima menit berjalan kaki.
 
City Of Makassar


Nah, itu dia. Ada tulisan yang berwarna putih. Kalau itu pasti “PANTAI LOSARI”. Nggak salah lagi. Bener, kan? Eits, tapi, mana pantainya? Kok di’urug’? Nggak ada pasir putih, nggak ada ombak, nggak ada orang yang main. Kalau poin ketiga, maklum ya, karena cuaca yang sangat tidak baik untuk kulit dan hampir waktu Sholat Jumat. Di depan tulisan, malah mau dibangun panggung. Ntah mau ada acara apa. Area pantai juga nggak begitu terawat, nggak indah dilihat.
 
panTAI LOsari

Oke, kita tinggalkan Pantai Losari sejenak. Karena sebentar lagi sholat Jumat akan segera dimulai, kami belum berniat mengabadikan moment indah di sana. Lagian, panas juga. Baiklah, mending cari masjid terdekat saja.

Awalnya, Ardi mengajak—lewat WA—Sholat Jumat di Masjid Unhas, yang katanya gedhe banget. Pagi harinya sih, sebelum ketemu. Tapi setelah sampai di Losari, masak ya mau balik ke Unhas? Bisa-bisa sampai di sana sudah selesai. Sebelumnya sih, gue ber-sms-an dengan Ibu dari mantan murid les yang asli Makassar, menanyakan mana saja tempat menarik di sekitaran Losari. Kata beliau, ada masjid terapung dekat pantai. Wah, seru keknya. Bolehlah. Makanya, gue berinisiatif sholat Jumat di sana. Namun, sesampainya di Pantai Losari, masjid yang gue cari belum kelihatan. Ah, mungkin letaknya masih di depan sana, atau jangan-jangan di tengah laut, terbawa arus pantai karena terapung? Konyol.

Satu lagi, kami melihat tulisan berwarna merah. “CITY OF MAKASSAR”. Namun kali ini, di sampingnya teronggok tulisan “MAKASSAR” dan “BUGIS”. Lengkap sudah. Empat suku yang mendiami wilayah Celebes.


dari lantai 2 masjid apung
Dari tempat kami berdiri,  terdapat sebuah bangunan yang menjorok ke laut berwarna putih dengan kubah berwarna kilau biru. Itukah masjid terapung yang kami cari? Ah, iyaa. Gue kira, maksud terapung itu terombang ambing di lautan lepas. Ya kali.

Kami mempercepat langkah. Adzan sudah berkumandang. Katanya sih, Masjid Amirul Mukminin ramai banget. Pasti masjidnya sudah penuh. Benar saja, memasuki masjid, sudah banyak jamaah yang berdiri di belakang, bahkan ada yang sudah menggelar sajadah di tangga yang dibuat pas menghadap kiblat. Masjidnya nggak terlalu besar juga dan terdiri dari 3 lantai. Lantai dua khusus untuk jamaah akhwat. Begitulah yang tertera di tulisan yang terpampang di tembok. Namun, ketika sholat Ashar, jamaah wanita malah di lantai satu, sedangkan saat sholat Maghrib, jamaah wanita di lantai 3. Mana yang benar sih?

Masjid "Apung" Amirul Mukminin



bangunan di depan masjid

salah satu tangga menuju ke lantai 2 dan 3

interior masjid di lantai 1

Selepas menunaikan salah satu kewajiban sebagai seorang muslim, kami berniat mengisi perut yang sudah keroncongan. Paginya gue nggak sempet sarapan, eh bukan nggak sempet dheng, tapi emang gue jaraang sekali sarapan kalau nggak di rumah. Mendingan brunch; Breakfast + Lunch. Ngirit. Hahaha… Tenang saja, nggak perlu takut kalau gue sakit perut. Gue seudah melakukannya semenjak kuliah semester 1. Pas berjalan dari benteng ke Losari tadi kami sempet melihat ada “Kawasan Kuliner Makassar”. Itulah tempat tujuan kami mencari sepiring nasi atau apalah, pokoknya yang bisa membuat perut kenyang.


memasuki Kawasan Kuliner Makassar
 Karena belum pernah, Ardi mempunyai ide gimana kalau makan siang ini mencoba makan coto. Gue sih udah dua kali makan. Baiklah, gue setuju. Tau nggak seporsi berapa? 13 rebu, nasi sepiring goceng, ditambah teh botol goceng. Jadi, kalau dua orang berarti totalnya gocap kembali 4 rebu. Haaa…!!! Mahal. Rasanya? Lebih enak Coto Paraikatte yang di deket kantor gue, juga lebih murah. Nggak mau coba-coba lagi dengan coto di dekat Losari pokoknya.  

Bersambung...

No comments:

Post a Comment