Perjalanan pada hari itu, Jumat 18 April 2014 belum berakhir,
justru baru akan mencapai puncaknya. Setelah menikmati minuman khas Makassar,
yaitu es Pisang Ijo (nulisnya sambil ngiler membayangkan segarnya es tersebut),
Ardi bertanya ke ibu-ibu penjual esnya. Ternyata, untuk menuju Pantai Losari bisa
ditempuh dengan jalan kaki atau bisa naik becak tapi harus muter dulu. Nggak
ada pete-pete ya? Hmmm, kami memutuskan untuk jalan kaki saja. Siapa tahu
jaraknya nggak sejauh dari MTC Karebosi (Sentral) ke Benteng Fort
Rotterdam. Ya, itu imajinasi gue saja, toh, di depan benteng juga sudah bibir
pantai, berarti pantai yang merupakan ciri khas dari Kota Coto tidak akan jauh,
paling ya 500 meter.
Kami berjalan menyusuri pinggir Jalan Penghibur. Sang surya siang
ini bersinar sangat terik dan menyengat. Topi yang gue pakai seakan tak
membantu sedikit pun. Ingin rasanya mengeluarkan payung dan membukanya, tapi
ntar pasti dikira manja. Ah, ya sudahlah, sekalian menghitamkan kulit yang
memang dari dulu berwarna sawo mateng, pake banget lagi.
Lima menit berjalan kaki, belum ada tanda-tanda akan kehadiran
pantai yang kami tuju. Malah pantai yang sedari awal gue lihat di depan benteng
nggak ada lagi. Jangan-jangan salah jalan? Sudah lima belas menit, malah
semakin banyak ruko-ruko yang berdiri di sepanjang jalan. Ya, gue berharap
Pantai Losari itu adalah pantai dengan pasir putih dan ombak yang sedang-sedang
saja. Sekali lagi, gue terlalu high expectation.
Setelah perjalanan panjang yang membuat badan keringetan maksimal
dan haus tak tertahankan, akhirnya kami menemukan sebuah pencerahan. Pencarian
tulisan “PANTAI LOSARI” akan segera berakhir. Tulisan yang kami lihat berwarna
merah, padahal kalau baca-baca di internet, warnanya putih. Atau jangan-jangan
sudah berubah warna? Oke, kita lihat saja.
Berjalan mendekati tulisan yang membuat kami semakin penasaran.
Belum jelas gimana bunyinya, secara kami berjalan dari samping tulisan. Beda
kalau dari depan, pasti akan langsung ketahuan. Kami semakin mempercepat langkah
kaki. Gue nggak nyangka, bisa secepat ini gue bias menginjakkan kaki di sini.
Alhamdulillah.
langit biru cerah |
Baiklah, karena belum
menemukan spot yang menjadi tujuan, kami melanjutkan perjalanan di
tengah terik sinar matahari yang semakin menjadi-jadi. Tak sampai lima menit
berjalan kaki.
Nah, itu dia. Ada tulisan yang berwarna putih. Kalau itu pasti “PANTAI LOSARI”. Nggak salah lagi. Bener, kan? Eits, tapi, mana pantainya? Kok di’urug’? Nggak ada pasir putih, nggak ada ombak, nggak ada orang yang main. Kalau poin ketiga, maklum ya, karena cuaca yang sangat tidak baik untuk kulit dan hampir waktu Sholat Jumat. Di depan tulisan, malah mau dibangun panggung. Ntah mau ada acara apa. Area pantai juga nggak begitu terawat, nggak indah dilihat.
panTAI LOsari |
Oke, kita tinggalkan Pantai Losari sejenak. Karena sebentar lagi sholat Jumat akan segera dimulai, kami belum berniat mengabadikan moment indah di sana. Lagian, panas juga. Baiklah, mending cari masjid terdekat saja.
Awalnya, Ardi mengajak—lewat WA—Sholat Jumat di Masjid Unhas, yang
katanya gedhe banget. Pagi harinya sih, sebelum ketemu. Tapi setelah sampai di
Losari, masak ya mau balik ke Unhas? Bisa-bisa sampai di sana sudah selesai.
Sebelumnya sih, gue ber-sms-an dengan Ibu dari mantan murid les yang asli
Makassar, menanyakan mana saja tempat menarik di sekitaran Losari. Kata beliau,
ada masjid terapung dekat pantai. Wah, seru keknya. Bolehlah. Makanya, gue
berinisiatif sholat Jumat di sana. Namun, sesampainya di Pantai Losari, masjid
yang gue cari belum kelihatan. Ah, mungkin letaknya masih di depan sana, atau
jangan-jangan di tengah laut, terbawa arus pantai karena terapung? Konyol.
Satu lagi, kami melihat tulisan berwarna merah. “CITY OF
MAKASSAR”. Namun kali ini, di sampingnya teronggok tulisan “MAKASSAR” dan
“BUGIS”. Lengkap sudah. Empat suku yang mendiami wilayah Celebes.
Dari tempat kami berdiri,
terdapat sebuah bangunan yang menjorok ke laut berwarna putih dengan
kubah berwarna kilau biru. Itukah masjid terapung yang kami cari? Ah, iyaa. Gue
kira, maksud terapung itu terombang ambing di lautan lepas. Ya kali.
Kami mempercepat langkah. Adzan sudah berkumandang. Katanya sih, Masjid Amirul Mukminin ramai banget. Pasti masjidnya sudah penuh. Benar saja, memasuki
masjid, sudah banyak jamaah yang berdiri di belakang, bahkan ada yang sudah
menggelar sajadah di tangga yang dibuat pas menghadap kiblat. Masjidnya nggak
terlalu besar juga dan terdiri dari 3 lantai. Lantai dua khusus untuk jamaah
akhwat. Begitulah yang tertera di tulisan yang terpampang di tembok. Namun,
ketika sholat Ashar, jamaah wanita malah di lantai satu, sedangkan saat sholat
Maghrib, jamaah wanita di lantai 3. Mana yang benar sih?
bangunan di depan masjid |
salah satu tangga menuju ke lantai 2 dan 3 |
interior masjid di lantai 1 |
Selepas menunaikan salah satu kewajiban sebagai seorang muslim, kami berniat mengisi perut yang sudah keroncongan. Paginya gue nggak sempet sarapan, eh bukan nggak sempet dheng, tapi emang gue jaraang sekali sarapan kalau nggak di rumah. Mendingan brunch; Breakfast + Lunch. Ngirit. Hahaha… Tenang saja, nggak perlu takut kalau gue sakit perut. Gue seudah melakukannya semenjak kuliah semester 1. Pas berjalan dari benteng ke Losari tadi kami sempet melihat ada “Kawasan Kuliner Makassar”. Itulah tempat tujuan kami mencari sepiring nasi atau apalah, pokoknya yang bisa membuat perut kenyang.
memasuki Kawasan Kuliner Makassar |
Bersambung...
No comments:
Post a Comment