My Traveling Stories In Celebes (Losari - "Masjid Apung" - Culinary : Part 2)
Makan sudah. Main di Pantai Losari ntar sore aja deh, sekalian
enjoying sunset. Terus, enaknya kemana? Panas-panas gini, ngadhem adalah
pilihan yang tepat. Di kejauhan sana, sebelah barat, terlihat tulisan XXI, yang
belakangan baru gue ketahui bahwa itu adalah bangunan Trans Studio Mall (TSM).
Ah, kapan-kapan main ke sana. Rencananya sih pengen jalan kaki ke TSM. Namun,
baru sampai pojokan Anjungan Losari, Ardi memutuskan untuk istirahat, berteduh
di bawah pohon yang jauh dari kata rindang, ternyata masih jaooh juga, coy.
Kami putuskan untuk meng-cancel saja.
suasana di Jalan Penghibur
panas sekaleee
Anjungan Losari
keren
dari dalam masjid
masuk dermaga bebek
mau naik bebek-bebekan?
Ketika enak-enak duduk, eh nggak enak dheng,
tetiba disamperin ibu-ibu setengah baya yang merupakan penjaga parker di
Anjungan Losari. FYI, Rp 1.000,00 untuk parkir motor dan Rp 2.000,00 untuk
mobil. Murah sekali bukan. Ibu-ibu itu, tanpa ada perkenalan dan pembukaan,
langsung aja nyerocos curhat masalah keluarganya, pokoknya curhat yang
jelek-jelek. Lhah, apa urusan saya, Bu? Jelas saja kami speechless. Sesekali
aja gue tersenyum, bilang “iye-iye” sambil beberapa kali memotretnya secara
diam-diam. Maafkan saya di’…
sedang ngoceh, gue potret saja
sedang meminta uang parkir
Tanpa disangka dan tanpa diduga, muncullah sesosok temannya Ardi
yang bernama Jainal. Kaget sih. Gimana bisa tahu coba? Katanya sih dia sedang
jalan-jalan, tiba-tiba melihat kami makanya dia nyamperin.
Baiklah, daripada duduk lama-lama di sini, takutnya nanti si
ibu-ibu yang tadi malah menjodohkan salah seorang dari kami dengan anaknya,
lebih baik beranjak saja. Jalan-jalan di Anjungan Losari lagi, sambil memotret
patung-patung para pahlawan. Tadi gue sempet liat patung Sultan Hasanuddin,
namun begitu gue cari lagi, kok nggak ketemu ya? Ahh…
Kami kembali lagi ke Masjid Terapung “Amirul Mukminin”. Dari jauh
sih bagus banget. Namun begitu didekati, di bawahnya, wuellehh, sampahnya
banyak banget. Airnya jadi bau dan jauh dari terkesan bersih. Sangat
disayangkan sekali. Jadi nggak nyaman lama-lama memandangnya.
Begitu hari mendekati petang, sekitar pukul 5 kurang sedikit,
kami, sekarang jadi berempat, memutuskan untuk meninggalkan masjid dan
menikmati Pantai Losari. Dua temannya Ardi yang kantornya di Makassar, datang.
Namanya Thoni dan Dafit. Oiya, si Jainal tadi pulang duluan sebelum Ashar.
Sudah nggak begitu panas, meskipun mentari masih bersinar cukup terang.
orang-orang sudah berkumpul untuk menikmati sunset
Pantai Losariadalah sebuahpantaiyang terletak di sebelah barat kotaMakassar. Pantai ini menjadi tempat bagi warga Makassar untuk menghabiskan
waktu pada pagi, sore dan malam hari menikmati pemandangan matahari tenggelam
yang sangat indah.
berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pengunjung
ssstttt, jangan keras-keras bacanya :D
Dahulu, pantai yang menjadi ikon Kota Pisang Ijo dikenal dengan
pusatmakanan lautdan ikan bakar di malam hari (karena
para penjual dan pedagang hanya beroperasi pada malam hari), serta
disebut-sebut sebagaiwarungterpanjang di dunia (karena
warung-warung tenda berjejer di sepanjang pantai yang panjangnya kurang lebih
satu kilometer). Saat ini warung-warung tenda yang menjajakan makanan laut
tersebut telah dipindahkan pada sebuah tempat di depan rumah jabatan Walikota
Makassar yang juga masih berada di sekitar Pantai Losari.Pada sore hari, semua orang bisa menikmati proses atau
detik-detik tenggelamnya matahari.
narsis dulu di panTAI LOsari
Sesampainya di ‘tulisan’ PANTAI LOSARI, ternyata sudah buuaanyaakk
sekali orang. Mau jalan pun harus berhati-hati agar nggak ketabrak anak kecil
yang naik mobil-mobilan. Wah, nyesel gue tadi siang nggak narsis duluan. Nah,
kalau penuh gini, nggak khusyu’ banget mau poto-poto. Ya sudah, sedapatnya
saja. Besok diulangi lagi, deket juga dari Sungguminasa.
kalau banyak pengunjung jadi nggak khusyuk mau foto-foto
Sejam lamanya berempat kami membaur dengan ratusan orang yang
mempunyai satu tujuan yang sama: menikmati sunset.
Detik-detik sunset akan segera datang. Berharap akan bisa
menikmati sampai sang surya kembali ke peraduannya.Tapi, kok malah tertutup
awan? Yaaa…. Agak kecewa. Sudahlah. Masih ada next time.
matahari siap kembali ke peraduannya
perpaduan antara langit yang berawan dengan laut yang tenang
awan mulai menutupi sang surya
menjelang maghrib
suasana petang hari
Sholat Maghrib, kami kembali ke Masjid Amirul Mukminin. Habis itu,
kami memutuskan untuk mencicipi makanan khas Makassar yang lainnya: Pisang Epe.
Pisang Epe adalah pisang mentah yang dibakar, kemudian dibuat pipih, dan
dicampur dengan air gula merah. Bahan dasarnya adalah pisang kepok. Paling enak
dimakan saat masih hangat. Gue kira, coklat-coklat yang ada di atasnya adalah
kecap. Pasti akan aneh banget kalau tebakan gue benar. Namun, yang paling enak
adalah Pisang epe yang atasnya ditaburi coklat dan keju. Mantap! Harganya
berapa? Ceban. Dapat 3 buah pisang epe kecil. Kata teman gue yang sudah lama
tinggal di Makassar—kalau aslinya sih dari Kabupaten Sinjai—pisang epe itu
pisanganya besar-besar, jadi kalau makan sebiji langsung kenyang. Hmmm, cukup lah
ya, mencicipi sekali saja. Hehehe…
menu
proses pemanggangan pisang
proses penggeprekan pisang
pisang epe durian
Sepertinya, jalan-jalan yang bener-bener jalan untuk hari ini
cukup sampai di sini. Mariki’ pulan dulu ke balla, besok dilanjut lagi.
Samalona Island (tunggu episode jalan-jalan selanjutnya…)
No comments:
Post a Comment