Sunday, May 11, 2014

My Traveling Stories In Celebes (Losari - "Masjid Apung" - Culinary : Part 2)




Makan sudah. Main di Pantai Losari ntar sore aja deh, sekalian enjoying sunset. Terus, enaknya kemana? Panas-panas gini, ngadhem adalah pilihan yang tepat. Di kejauhan sana, sebelah barat, terlihat tulisan XXI, yang belakangan baru gue ketahui bahwa itu adalah bangunan Trans Studio Mall (TSM). Ah, kapan-kapan main ke sana. Rencananya sih pengen jalan kaki ke TSM. Namun, baru sampai pojokan Anjungan Losari, Ardi memutuskan untuk istirahat, berteduh di bawah pohon yang jauh dari kata rindang, ternyata masih jaooh juga, coy. Kami putuskan untuk meng-cancel saja.
suasana di Jalan Penghibur
panas sekaleee
Anjungan Losari
keren
dari dalam masjid
masuk dermaga bebek
mau naik bebek-bebekan?

Ketika enak-enak duduk, eh nggak enak dheng, tetiba disamperin ibu-ibu setengah baya yang merupakan penjaga parker di Anjungan Losari. FYI, Rp 1.000,00 untuk parkir motor dan Rp 2.000,00 untuk mobil. Murah sekali bukan. Ibu-ibu itu, tanpa ada perkenalan dan pembukaan, langsung aja nyerocos curhat masalah keluarganya, pokoknya curhat yang jelek-jelek. Lhah, apa urusan saya, Bu? Jelas saja kami speechless. Sesekali aja gue tersenyum, bilang “iye-iye” sambil beberapa kali memotretnya secara diam-diam.  Maafkan saya di’…

sedang ngoceh, gue potret saja
sedang meminta uang parkir

Tanpa disangka dan tanpa diduga, muncullah sesosok temannya Ardi yang bernama Jainal. Kaget sih. Gimana bisa tahu coba? Katanya sih dia sedang jalan-jalan, tiba-tiba melihat kami makanya dia nyamperin.
Baiklah, daripada duduk lama-lama di sini, takutnya nanti si ibu-ibu yang tadi malah menjodohkan salah seorang dari kami dengan anaknya, lebih baik beranjak saja. Jalan-jalan di Anjungan Losari lagi, sambil memotret patung-patung para pahlawan. Tadi gue sempet liat patung Sultan Hasanuddin, namun begitu gue cari lagi, kok nggak ketemu ya? Ahh…

Kami kembali lagi ke Masjid Terapung “Amirul Mukminin”. Dari jauh sih bagus banget. Namun begitu didekati, di bawahnya, wuellehh, sampahnya banyak banget. Airnya jadi bau dan jauh dari terkesan bersih. Sangat disayangkan sekali. Jadi nggak nyaman lama-lama memandangnya.

Begitu hari mendekati petang, sekitar pukul 5 kurang sedikit, kami, sekarang jadi berempat, memutuskan untuk meninggalkan masjid dan menikmati Pantai Losari. Dua temannya Ardi yang kantornya di Makassar, datang. Namanya Thoni dan Dafit. Oiya, si Jainal tadi pulang duluan sebelum Ashar. Sudah nggak begitu panas, meskipun mentari masih bersinar cukup terang.
orang-orang sudah berkumpul untuk menikmati sunset
Pantai Losari adalah sebuah pantai yang terletak di sebelah barat kota Makassar. Pantai ini menjadi tempat bagi warga Makassar untuk menghabiskan waktu pada pagi, sore dan malam hari menikmati pemandangan matahari tenggelam yang sangat indah.
berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pengunjung
ssstttt, jangan keras-keras bacanya :D
Dahulu, pantai yang menjadi ikon Kota Pisang Ijo dikenal dengan pusat makanan laut dan ikan bakar di malam hari (karena para penjual dan pedagang hanya beroperasi pada malam hari), serta disebut-sebut sebagai warung terpanjang di dunia (karena warung-warung tenda berjejer di sepanjang pantai yang panjangnya kurang lebih satu kilometer). Saat ini warung-warung tenda yang menjajakan makanan laut tersebut telah dipindahkan pada sebuah tempat di depan rumah jabatan Walikota Makassar yang juga masih berada di sekitar Pantai Losari.Pada sore hari, semua orang bisa menikmati proses atau detik-detik tenggelamnya matahari.
narsis dulu di panTAI LOsari
Sesampainya di ‘tulisan’ PANTAI LOSARI, ternyata sudah buuaanyaakk sekali orang. Mau jalan pun harus berhati-hati agar nggak ketabrak anak kecil yang naik mobil-mobilan. Wah, nyesel gue tadi siang nggak narsis duluan. Nah, kalau penuh gini, nggak khusyu’ banget mau poto-poto. Ya sudah, sedapatnya saja. Besok diulangi lagi, deket juga dari Sungguminasa.
kalau banyak pengunjung jadi nggak khusyuk mau foto-foto
Sejam lamanya berempat kami membaur dengan ratusan orang yang mempunyai satu tujuan yang sama: menikmati sunset.

Detik-detik sunset akan segera datang. Berharap akan bisa menikmati sampai sang surya kembali ke peraduannya.Tapi, kok malah tertutup awan? Yaaa…. Agak kecewa. Sudahlah. Masih ada next time.
matahari siap kembali ke peraduannya
perpaduan antara langit yang berawan dengan laut yang tenang

awan mulai menutupi sang surya



menjelang maghrib

suasana petang hari
Sholat Maghrib, kami kembali ke Masjid Amirul Mukminin. Habis itu, kami memutuskan untuk mencicipi makanan khas Makassar yang lainnya: Pisang Epe. Pisang Epe adalah pisang mentah yang dibakar, kemudian dibuat pipih, dan dicampur dengan air gula merah. Bahan dasarnya adalah pisang kepok. Paling enak dimakan saat masih hangat. Gue kira, coklat-coklat yang ada di atasnya adalah kecap. Pasti akan aneh banget kalau tebakan gue benar. Namun, yang paling enak adalah Pisang epe yang atasnya ditaburi coklat dan keju. Mantap! Harganya berapa? Ceban. Dapat 3 buah pisang epe kecil. Kata teman gue yang sudah lama tinggal di Makassar—kalau aslinya sih dari Kabupaten Sinjai—pisang epe itu pisanganya besar-besar, jadi kalau makan sebiji langsung kenyang. Hmmm, cukup lah ya, mencicipi sekali saja. Hehehe…

menu
proses pemanggangan pisang
proses penggeprekan pisang
pisang epe durian

Sepertinya, jalan-jalan yang bener-bener jalan untuk hari ini cukup sampai di sini. Mariki’ pulan dulu ke balla, besok dilanjut lagi.
Samalona Island (tunggu episode jalan-jalan selanjutnya…)



No comments:

Post a Comment