Wednesday, August 27, 2014

My Traveling Stories In Celebes (Misteri Telapak Tangan di Goa Dusun Berua)





Adalah Goa Telapak Tangan yang akan kami kunjungi. Melewati ‘galengan’ di antara petak-petak sawah yang sepertinya baru dipanen. Terlihat dari beberapa warga yang sedang menggiling padi. Sumpah, gue nggak berhenti takjub menikmati hamparan tanah hijau nan menyegarkan, ditambah lagi dengan gugusan karst yang mengelilingi Kampung Berua.

Karena belum ada yang pernah mengunjungi tempat yang—menurut Dg Beta—masuk ke dalam wilayah Kabupaten Pangkep, apalagi Goa Telapak Tangan, salah seorang dari 4 teman perjalanan kami bertiga, bertanya ke ibu-ibu yang sedang ‘bergumul’ dengan padi-padinya di manakah letak goa yang kami cari. Rupanya sudah di depan sana. Nggak jauh. Okelah, segera meluncur.




Begitu mendekati salah satu gugusan karst yang di sana terdapat goa, suasana semakin horror. Suara ‘gareng’ yang hanya gue dengar di kampung Borobudur tetiba terdengar di sini. Hawanya semakin dingin saja. Seperti mau memasuki tempat angker. Untungnya kami bertujuh.

Sesampainya di batas nggak ada jalan lagi, gue agak heran. Lho, mana goanya? Gue selalu berpikiran bahwa yang namanya goa itu pasti ada lobang yang bisa dimasuki. Tapi, Goa Telapak Tangan berbeda. Di sana nggak ada lubang. Yang ada hanya dinding alami yang terbentuk dari kapur dan berumur jutaan tahun. Menurut informasi, ‘telapak tangan’ yang terdapat di goa tersebut berwarna merah. Kami berlomba-lomba mencari telapak tangan yang jumlahnya ada tiga, katanya sih. Dan gue masih saja penasaran mencari kalau-kalau ada lubang yang bisa dijelajahi. Nihil.





Ada sekitar seperempat jam kami mencari, sekalian foto-foto. Hampir putus asa kami mencarinya ketika tetiba ada yang menemukan salah satu. Whooo, gue kira besar. Secara tangan manusia purba. Kok sama ukurannya dengan tangan gue? Atau mungkin itu telapak tangan balita manusia purba? Entahlah. Dan, ketiganya berhasil kami temukan semuanya.




Ketika kami hendak kembali ke kediaman Dg Beta, ada sekelompok wisatawan bercaping yang datang. Mereka sepertinya juga mencari lubang. Atau langsung mencari ‘telapak tangan yang hilang’? Ndak ku tahu ji..



Setelah berpamitan dengan Dg Beta dan istrinya, kami memutuskan kembali ke tempat di mana kami turun tadi. Baru pukul 2, padahal kami meminta dijemput pukul 03.00 WITA. Ya sudah, semakin cepat semakin baik. 

Check these photos, guys...



















Tuesday, August 26, 2014

My Traveling Stories In Celebes (Kampung Berua, Terisolir Namun Tersimpan Keindahan Luar Biasa)



Langit berwarna biru cerah, awan seakan nggak berani sedikit untuk menampakkan diri di atas sana, menjadikan siang itu terasa panas menyengat. Ingin rasanya menjeburkan diri ke sungai atau masuk ke dalam kulkas atau setidaknya minum es. Pasti seger.

Tujuan kami pergi ke Maros tentu bukan hanya melihat bebatuan di tengah sawah, masih ada beberapa tempat lagi. Panas matahari tidak menyurutkan langkah kaki kami untuk mengunjungi tempat-tempat yang lebih eksotis di pelosok nusantara. Salah satunya adalah Dusun Berua.

Berjalan menyusuri jalan beton sampai di dekat jembatan di mana di sanalah satu-satunya akses menuju Berua. Sebelumnya, kami bertanya kepada ibu-ibu di manakah letak Dusun Berua. Beliau kelihatan bingung lantas hanya menjawab ngasal bahwa dusun yang kami maksud berada masih lurus di depan (kami bertanya beberapa meter setelah Tugu Desa Salenrang, sebelum kami bermain-main di bebatuan Rammang-rammang). Kemudian, sewaktu ‘blusukan’ di bebatuan, kami sempat bertanya kepada bapak-bapak yang kebetulan kami temui. Rupanya, untuk bisa sampai ke Berua, kami seharusnya berjalan lurus, tidak memasuki pertigaan yang ada tugu ”selamat datang di Desa Salenrang”, sampai di dekat jembatan.

Kampung Berua berada di tengah-tengah karst, dan untuk mencapai tempat tersebut, kami harus menyewa perahu kecil menyusuri Sungai Pute. Lebar perahu tersebut tidak lebih dari semeter, sedangkan panjangnya bermacam-macam. Ada perahu yang bisa mengangkut 8 orang. Pokoknya sangat mengasyikkan. Satu hal yang harus diperhatikan ketika menaiki perahu tersebut, jangan banyak bergerak atau perahuakan terbalik. Gue udah nyoba, dan hasilnya, perahu goyang. Jadinya gue diteriakin dheh. Hahaha… Perahu di sana sudah menggunakan mesin penggerak, nggak didayung lagi. Cuma, gue pernah baca kalau di daerah sana masih ada yang harus didayung, mungkin itu bukan untuk wisatawan.
Nama tempatnya “Dermaga Rammang-Rammang”. Hmmm,sepertinya nggak begitu asing karena gue pernah melihatnya di “Profile Picture” salah satu socmed milik saudara gue. Pemandangannya keren, guys. Warna-warna hijau pepohonan ditambah dengan jernihnya air (jernih di sini bukan berarti seperti warna air mineral, agak berwana hijau tapi nggak keruh, ya seperti warna air di danau atau rawa). Selain itu, banyak batuan yang seperti dibiarkan tergeletak begitu saja di sepanjang aliran sungai. Bebatuan tersebut tentu berbeda dengan bebatuan yang ada di sungai-sungai lainnya. Di samping kanan kiri sungai, tanaman-tanaman hijau—yang nggak gue ngerti apa namanya—seakan tidak ada habisnya. Di belakang tanaman-tanaman tersebut, berdiri kokoh, gugusan karst yang tinggi menjulang. Sumpah, keren banget. Gue seakan berada di negeri dongeng. Nggak nyangka gue bisa berada di tempat sekeren ini.




Oke, saatnya menaiki perahu. Eh, tunggu dulu. Harganya berapa, cuy? Langsung main naik aja. Bertiga kami  turun ke dermaga. Di bawah sudah ada beberapa perahu yang stand by. Ada juga bapak-bapak yang sedang asyik duduk di atas perahunya. Langsung aja kami samperin bapak itu, menanyakan berapa harga ‘pelayaran’ menuju Dusun Berua. Permintaan bapaknya sih 200ribu. Terjadilah tawar menawar, dan didapatlah harga pas 150ribu karena kami bertiga, biar pas gocap-gocap. Mahal? Jangan langsung menyimpulkan seperti itu. Dengan medan yang berliku sampai seakan perahu mau terbalik—kalau naik mobil, ya nggak beda jauh sama nge-drift lah—dan pemandangan alam yang nggak akan bisa lo biarkan melintas begitu saja, pasti harga itu nggak sebanding. Yuhuuu,,, naik perahu. Gue mau di depan ah!




Lagi-lagi gue speechless karena nggak bisa mengungkapkan keindahan pemandangan di hadapan gue dengan kata-kata. Cuma ketawa-tawa dan masih ada rasa unbelieve dengan apa yang gue lihat. Sesekali gue membasuh kaki dan sandal dengan air sungai yang terbebas dari sampah apapun. Bermain air nenjadi kegiatan yang mengasyikkan karena tinggi perahu hanya sekitar 30 centimeter. Nggak ketinggalan, selfie adalah andalan gue ketika nggak ada orang yang bisa mengabadikan kelakuan gue yang sedikit konyol dan—ehm—memalukan. Sepanjang perjalanan, hanya air, tanaman hijau dan deretan karst yang menjadi pemandangan. Tapi itu sangat keren.




Setelah perjalanan selama 30 menit, sampailah kami di Kampung Berua. Sebuah kampung yang terisolir, namun ada sinyal HP untuk operator tertentu. Jangan harap kamu akan menemukan suara kendaraan bermotor di sana, kecuali mesin penggiling padi dan deru mesin perahu yang sesekali lewat dengan membawa serta para wisatawan. Begitu turun dari perahu, bapak-bapak pemilik perahu menawarkan rumahnya yang juga berada di kampong Berua, mungkin kami bisa mengunjunginya kalau mau minum dan istirahat.



Tak henti-hentinya gue mengagumi kebesaran Ilahi yang telah menciptakan sebuah tempat yang indah nan damai. Andaikan gue punya rumah di sana. Sejuk. Semilir angin.  Hanya warna hijau pepohonan dan karst berwarna abu-abu-coklat-hitam yang ada serta warna biru langit. Beberapa ekor sapi tampak sedang menikmati makan siangnya. Ya, kami tiba di sana tepat pukul 12 lebih sedikit. Sudah ada beberapa wisatawan yang sudah sampai. Semuanya sama, hanya tercermin rasa decak kagum yang nggak ada habisnya. Apakah gue bermimpi? Tidak. Ini nyata. Indonesia! Sulawesi!



Karena cuaca yang sedang panas-panasnya, kami memutuskan untuk pergi ke area di bawah pohon. Rencananya sih pengen tiduran di balai-balai yang tersedia di samping pohon besar. Namun, begitu melihat papan tulisan yang terpampang di salah satu sisinya, langsung kami urungkan niat tersebut. Ya, tulisannya gini “Balai ini tidak gratis”. Kami nggak mau mengeluarkan uang lagi hanya untuk duduk-duduk. Mending duduk di rerumputan. Gratis.






Muncullah bapak-bapak—kali ini lain lagi—dari arah yang berlawanan dengan arah kami datang sebelumnya. Beliau bersama seorang wisatawan. Kemudian, ketika si wisatawan tersebut pulang, beliau beralih melakukan pembicaraan kami. Ah, sebenarnya gue nggak ikut pembicaraan itu. Pun demikian dengan Thony. Lah orang nggak ngerti si bapak ngomong apa. Cuma Ardi yang melayani obrolan si bapak. Tapi ya sama aja,  diahanya ngangguk-ngangguk nggak ngerti dengan apa yang dibicarakannya. Lucu sekali. Barulah setelah bapaknya pergi, Ardi misuh-misuh karena dia merasa seperti yang dikorbankan kaya Hari Sabtu kemarin, waktu mau nyebrang ke Samalona. Nggak mau disalahkan lagi. Gue sama Thony cuma bisa ngakak. Sabar, broo…

Sepertinya waktu istirahat sudah cukup. Keringat juga sudah nggak mengalir lagi. Kami memutuskan untuk berkeliling kampung yang hanya didiami oleh 15 Kepala Keluarga. Bisa dibayangkan betapa “krik-krik”nya suasana di malam hari yang mungkin tanpa ada listrik. Kalau nggak ada listrik, kenapa penduduknya ada yang punya HP? Mungkin pake genset. Atau menggunakan tenaga surya? Nggak mungkin kali. Sayangnya gue nggak sempat bertanya tentang itu. Alasan utama karena kendala bahasa. Percuma kalau dijelasin panjang lebar tapi nggak ngerti juga.

Adalah Daeng Beta, orang yang paling dihormati di Kampung Berua. Ya, katakanlah sebagai Ketua RT, RW, Dusun sekaligus Ketua Suku. Kami, sebenarnya mau ke sebuah goa yang terdapat di sana. Namun, saat melewati depan rumah Dg Beta, kami dipanggil. Katanya kalau mau ke goa harus diantar sama guide. Ah, ntahlah, guide beneran atau gue yang salah denger. Sangsi. Jujur, kami nggak mau merogoh kantong lebih dalam lagi kalau harus membayar seorang guide. Lebih baik mencari sendiri goanya. Agak lama kami berdiri mematung, belum memutuskan. Ya, kami membuang-buang waktu dengan berfoto-foto siapa tahu Dg Beta dan istrinya menyadari bahwa kami nggak memerlukan seorang guide. Ada mungkin lima menitan sebelum akhirnya kami menentukan pilihan. Kami memutuskan untuk ‘bertamu’ ke balla Dg Beta yang merupakan rumah panggung. Tujuan kami simple, daripada nanti ada apa-apa kalau nekat ke goa cuma bertiga.


Di lantai atas, ternyata sudah ada 4 orang, 2 cowok dan 2 cewek yang berasal dari sebuah politeknik di Makassar. Rupanya mereka juga baru pertama kali pergi ke Kampung Berua. Dan, setelah ngobrol dengan Dg Beta dan istrinya, tepatnya 4 orang yang ngobrol, sedangkan kami hanya memperhatikan apa yang diomongkan mereka. Nggak tahu mau merespon apa. Mereka ketawa, kami ikutan ketawa. Bukan karena mudeng dengan apa yang dibicarakan, tapi menertawakan apa yang mereka tertawakan. Ironis sekali.

Sekitar setengah jam ngobrol, kami bertiga—gue, Ardi sama Thony—ikut rombongan yang sama sekali nggak kami kenal, meminta izin kepada sang empu rumah kalau kami hendak pergi ke goa. Dan, ternyata, nggak ada guide di sana. Yaiyalah. Yang ada, kami disuruh mengisi buku tamu. Maafkan kami yang sudah su’uzhon, Daeng. Gue lihat daftar nama yang telah mengunjungi tempat itu. Wuihh, ternyata nggak hanya wisatawan domestik saja yang pernah datang, ada orang Portugal, Finland, Germany, Italy, dan beberapa Negara lainnya. Keren.















































*to be continued...