Kelabu. Semua sama. Dari ujung barat sampai ke ujung timur,
dari ujung utara ke ujung selatan. Warna langit sore ini, ah sebenarnya bukan
warna langit yang kelabu itu, melainkan awan-awan itulah yang menutupi.
Sepertinya, mereka tak akan pernah lelah untuk menurunkan jutaan rintik air
bumi. Terkadang, cahaya putih yang berkekuatan jutaan volt tampak ingin
membelah langit yang luasnya tak terkira itu menjadi ribuan puzzle alam yang
siap membuktikan kekuasaan Sang Khalik kepada manusia, ciptaan-Nya. Sementara
di bawah atap semesta, air terus mengalir mencari celah-celah kosong, mengisi
lubang-lubang dan mengalir ke tempat yang lebih rendah. Namun, karena tak
banyak ruang kosong, mereka membanjiri setiap tempat yang tersisa. Menggenang.
Menciptakan sebuah aliran yang hanya akan terbentuk seperti saat ini.
Aku paling suka dengan air hujan, jika sedang tak terjebak
hujan maksudnya. Pikiranku kembali ke masa ketika aku kecil dulu. Meskipun tak
sering hujan-hujanan, aku sering memperhatikan air-air itu. Gemericiknya.
Suaranya. Ketika menyentuh genting rumah kemudian mengalir cepat dalam sekian
detik sebelum akhirnya tiba di ujung genting, lalu terjun akibat gaya
gravitasi. Membuat barisan yang indah ketika mereka beramai-ramai terjun dari
ketinggian yang sama dan berlomba-lomba mencapai tanah. Tanganku sesekali
berusaha menggenggam erat sebagian dari mereka meskipun usahaku sia-sia, sangat
sia-sia. Mereka terlalu lihai untuk ditaklukkan. Terlalu cerdik.
Dan, ketika langit, mengucurkan air dengan derasnya, mau tak
mau, ember-ember atau pun panci harus dipersiapkan untuk menadah air. Bukan
digunakan untuk mandi atau memasak, tapi menampung air-air yang masuk ke rumah
melalui celah-celah akibat genting yang pecah atau berlubang. Tok. Tok. Tok.
Itu dulu, ketika di bawah genting belum diberi plastik bening yang luasnya
mencakup seluruh penjuru rumah. Sekarang sudah tak ada suara itu.
Ah, ya, aku juga suka ketika hujan sudah reda atau hanya
tinggal rintik-rintik. Menyisakan genangan air yang terjebak di kubangan yang
memang terjadi akibat tindakan mereka sendiri. Apalagi kalau bukan genangan di
bawah ujung genting, tepat di mana air itu meluncur dari atas genting.
Menghentak-hentakkan kaki agar air terciprat ke mana-mana, termasuk ke badan
teman atau malah badan sendiri. Asyik.
Di depanku berdiri, puluhan mobil mewah berbaris. Sepertinya
ada kemacetan. Mungkin gara-gara ada banjir yang membuat sang pengemudi harus
memperlambat laju kendaraannya agar mesin mobil mereka tak kena air sehingga
menimbulkan kerugian tersendiri baginya. Bukan urusanku. Toh, aku juga tak perlu
mobil saat itu.
Aku masih duduk terdiam di depan sebuah kios
yang—entahlah—aku tak tahu kios atau toko apa, memperhatikan rintik hujan yang
terlihat semakin melemah. Tak seperti beberapa menit yang lalu. Deras sekali.
Sesekali ada angin yang bertiup sehingga seakan-akan terdapat asap di tengah
hujan.
Melayang. Ingatan masa lalu kembali menari-nari di
pikiranku. Ah, masa-masa yang penuh kenangan.
Hujan. Sebuah berkah. Banyak orang yang berharap banyak
padanya. Tapi tak sedikit yang mencela kedatangannya. Aku. Ah, aku jadi malu sendiri.
Terkadang aku masih membencinya ketika ia datang pada saat aku tak
membutuhkannya.
Aku teringat seseorang yang berada sejauh ratusan kilometer
di sana. Seseorang yang mencoba bersahabat dengan hujan. Semakin lebat hujan
yang turun, semakin senang hatimu. Meskipun terkadang tak peduli dengan akibat
yang akan engkau dapatkan setelahnya. Ya, apalagi kalau bukan basah dan kedinginan
sehingga tak jarang engkau sakit. Tapi itu tak menjadi penghalang bagimu untuk
membuat kami bahagia seperti orang lain. Bagaimana mungkin engkau akan menyerah
hanya karena hujan? Tak tega rasanya jika harus melihatmu menanggung semua itu
sendiri.
Hujan selalu memberikan kesejukan tersendiri. Setiap tetes
airnya tak akan pernah sia-sia. Hanya karena ulah manusia sendirilah yang
membuat seakan-akan air hujan adalah musibah. Lihatlah. Rasakanlah dengan
telapak tangan. Pasti nikmat bukan main.