Monday, December 10, 2012

Kau, Hujan


Kelabu. Semua sama. Dari ujung barat sampai ke ujung timur, dari ujung utara ke ujung selatan. Warna langit sore ini, ah sebenarnya bukan warna langit yang kelabu itu, melainkan awan-awan itulah yang menutupi. Sepertinya, mereka tak akan pernah lelah untuk menurunkan jutaan rintik air bumi. Terkadang, cahaya putih yang berkekuatan jutaan volt tampak ingin membelah langit yang luasnya tak terkira itu menjadi ribuan puzzle alam yang siap membuktikan kekuasaan Sang Khalik kepada manusia, ciptaan-Nya. Sementara di bawah atap semesta, air terus mengalir mencari celah-celah kosong, mengisi lubang-lubang dan mengalir ke tempat yang lebih rendah. Namun, karena tak banyak ruang kosong, mereka membanjiri setiap tempat yang tersisa. Menggenang. Menciptakan sebuah aliran yang hanya akan terbentuk seperti saat ini.


Aku paling suka dengan air hujan, jika sedang tak terjebak hujan maksudnya. Pikiranku kembali ke masa ketika aku kecil dulu. Meskipun tak sering hujan-hujanan, aku sering memperhatikan air-air itu. Gemericiknya. Suaranya. Ketika menyentuh genting rumah kemudian mengalir cepat dalam sekian detik sebelum akhirnya tiba di ujung genting, lalu terjun akibat gaya gravitasi. Membuat barisan yang indah ketika mereka beramai-ramai terjun dari ketinggian yang sama dan berlomba-lomba mencapai tanah. Tanganku sesekali berusaha menggenggam erat sebagian dari mereka meskipun usahaku sia-sia, sangat sia-sia. Mereka terlalu lihai untuk ditaklukkan. Terlalu  cerdik.

Dan, ketika langit, mengucurkan air dengan derasnya, mau tak mau, ember-ember atau pun panci harus dipersiapkan untuk menadah air. Bukan digunakan untuk mandi atau memasak, tapi menampung air-air yang masuk ke rumah melalui celah-celah akibat genting yang pecah atau berlubang. Tok. Tok. Tok. Itu dulu, ketika di bawah genting belum diberi plastik bening yang luasnya mencakup seluruh penjuru rumah. Sekarang sudah tak ada suara itu.

Ah, ya, aku juga suka ketika hujan sudah reda atau hanya tinggal rintik-rintik. Menyisakan genangan air yang terjebak di kubangan yang memang terjadi akibat tindakan mereka sendiri. Apalagi kalau bukan genangan di bawah ujung genting, tepat di mana air itu meluncur dari atas genting. Menghentak-hentakkan kaki agar air terciprat ke mana-mana, termasuk ke badan teman atau malah badan sendiri. Asyik.

Di depanku berdiri, puluhan mobil mewah berbaris. Sepertinya ada kemacetan. Mungkin gara-gara ada banjir yang membuat sang pengemudi harus memperlambat laju kendaraannya agar mesin mobil mereka tak kena air sehingga menimbulkan kerugian tersendiri baginya. Bukan urusanku. Toh, aku juga tak perlu mobil saat itu.

Aku masih duduk terdiam di depan sebuah kios yang—entahlah—aku tak tahu kios atau toko apa, memperhatikan rintik hujan yang terlihat semakin melemah. Tak seperti beberapa menit yang lalu. Deras sekali. Sesekali ada angin yang bertiup sehingga seakan-akan terdapat asap di tengah hujan.
Melayang. Ingatan masa lalu kembali menari-nari di pikiranku. Ah, masa-masa yang penuh kenangan.


Hujan. Sebuah berkah. Banyak orang yang berharap banyak padanya. Tapi tak sedikit yang mencela kedatangannya. Aku. Ah, aku jadi malu sendiri. Terkadang aku masih membencinya ketika ia datang pada saat aku tak membutuhkannya.

Aku teringat seseorang yang berada sejauh ratusan kilometer di sana. Seseorang yang mencoba bersahabat dengan hujan. Semakin lebat hujan yang turun, semakin senang hatimu. Meskipun terkadang tak peduli dengan akibat yang akan engkau dapatkan setelahnya. Ya, apalagi kalau bukan basah dan kedinginan sehingga tak jarang engkau sakit. Tapi itu tak menjadi penghalang bagimu untuk membuat kami bahagia seperti orang lain. Bagaimana mungkin engkau akan menyerah hanya karena hujan? Tak tega rasanya jika harus melihatmu menanggung semua itu sendiri.


Hujan selalu memberikan kesejukan tersendiri. Setiap tetes airnya tak akan pernah sia-sia. Hanya karena ulah manusia sendirilah yang membuat seakan-akan air hujan adalah musibah. Lihatlah. Rasakanlah dengan telapak tangan. Pasti nikmat bukan main.