Ketep Pass merupakan salah satu tempat wisata
alam yang berada di Desa Ketep, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang. Sebuah
tempat di ketinggian 1.200 mdpl, berbatasan dengan Kabupaten Boyolali. Dari sana, kita bisa
menikmati pemandangan indah nan menyejukkan mata. Bentangan Gunung Merapi yang
berdiri kokoh di sebelah timur, di sampingnya juga tak kalah gagahnya, Gunung
Merbabu. Dua gunung yang kelihatan bersebelahan, namun pada kenyataannya
terpisah jarak berkilo-kilo meter. Di kejauhan sana, arah barat daya, jika
beruntung karena biasanya kabut dan awan akan menutupi, kamu bisa menikmati
Gunung Sumbing, yang di belakangnya akan nampak sang tetangganya, Gunung
Sindoro, hanya kelihatan sebagian karena tertutup badan Gunung Sumbing. Namun,
itulah pesona menariknya. Seperti kelihatan mengintip.
Untuk menuju ke Ketep Pass, bisa dicapai dari
berbagai arah. Dari Kopeng, Kabupaten Semarang bisa, dari Tegalrejo, Magelang
juga bisa, atau dari Blabak, Magelang juga tak salah. Jaraknya sekitar 17
kilometer dari arah Blabak. Aku belum pernah melewati rute lainnya, jadi belum
tahu bagaimana rute dan kondisi jalannya.
Perjalananku ke Ketep Pass kali ini mungkin
terdengar “impossible”. Tidak ada persiapan matang, tidak ada teman dan seperti
tidak ada kerjaan lain saja—demikian kata seorang teman. Ya, hari Jumat
sore, lebih tepatnya petang, karena
weekend belum ada planning mau pergi kemana, ya sudah, pergi ke Ketep mungkin
salah satu alternatifnya. Memang sih sudah ada niat mau ke sana beberapa waktu
lalu bersama teman-teman, tetapi karena yang lain susah diajak, solo travelling
menjadi pilihan terakhir dan pilihan yang pas: pas ngiritnya.
Mana impossible-nya? Wait tooo!!!
Baiklah, tanya dulu sama teman yang rumahnya
masih satu kecamatan, Sawangan. Bagaimana kondisi jalan dan kira-kira berapa
jam waktu yang dibutuhkan. Katanya sih, jalannya jelek banget, baru seminggu
ditambal sudah banyak yang “nglothok-nglothok” atau mengelupas. Hmmm... Setelah
kuutarakan niatku untuk ke Ketep sambil “gowes”, ya, gowes, alias naik sepeda—mungkin
terdengar gila dan nggak masuk akal—temanku terlihat nggak percaya dengan
omongank. Dengan entengnya, dia menjawab, “kalau kamu turun sebelum sampai
Ketep, aku siap-siap tepuk jidat dari sekarang”. Sebenarnya aku nggak yakin
juga sih, dengan niatku ini. Konyol. Dan, tidak hanya satu yang meragukan
kemampuanku. Okelah, semakin membulatkan niatku untuk mematahkan pemikiran
mereka tentangku. Akan kubuktikan bahwa aku bisa. Aku Pasti BISA! Bismillaah.
Hamasah, Dacko!
Hari Sabtu pagi, bangun dan sholat Shubuh.
Melihat langit apakah cerah atau mendung. Yess, bulannya kelihatan. Ceraaahhh.
Kemudian “meminjam” sepeda ke tetangga depan. Memang aku nggak modal banget. Setengah
enam thet, sepeda sudah dipompa, minum sedikit, makan tahu satu potong, kencing,
siapin kamera, HP sudah di-charge, botol air mineral, pakai baju lengan panjang
dan celana training biar nggak tambah item, sepatu dan topi sudah melekat di
tubuh. Dan, akhirnya berangkat pukul 05.50. Sudah terang. Kebetulan pada minggu
sebelumnya sudah pemanasan gowes, jadi nggak ada kekhawatiran kalau akan
langsung kecapekan.
Mendaki gunung, lewati lembah, sungai mengalir
indah ke samudra, sendirian berpetualang.
Hamparan sawah yang sudah mulai menguning,
rumah-rumah sederhana penduduk dengan penghuni yang sibuk dengan aktivitas pagi
mereka, hewan-hewan mulai menampakkan diri setelah semalaman bermalas-malasan
di kandangnya, kendaraan mulai memadati jalan yang kulalui, kantor-kantor mulai
dibuka, pasar sudah dibanjiri pedagang dan pembeli, anak-anak sekolah pada
berangkat ke sekolah masing-masing. Sepanjang perjalanan, itulah pemandangan
yang ku nikmati.
Rutenya sudah ku tetapkan sebelumnya. Melewati
rute terpendek, tidak peduli dengan medan yang naik turun, yang penting cepat
sampai. Rumahku, yang berada di wilayah
Kecamaan Borobudur, lebih dari 25 KM kalau dari Ketep, saya baru tahu kalau
jaraknya sejauh itu setelah iseng-iseng mencari info di internet.
Selama perjalanan, saya mengamati 3 gunung
yang menjadi incaran saya, semoga pada saat mencapai Ketep, ketiga gunung itu
tetap terlihat: Sumbing, Merapi dan Merbabu. Secara, hanya 3 gunung itu yang
bisa kulihat dari dekat rumahku. Di arah barat, ada Sumbing yang terlihat
jelas. Di arah timur, tempat tujuanku, Merapi dan Merbabu juga tak kalah menawannya.
Dimulai dari Desa Wringin Putih, Borobudur,
belok kiri di perempatan Koramil Borobudur (dekat Polsek Borobudur), kemudian
belok kanan ke arah Ngroto, Kota Mungkid, nanti tiba di Kawasan Pemerintahan
Kabupaten Magelang (Jl. Soekarno-Hatta, Sawitan). Melewati jalan tembus baru di dekat Polres
Kab Magelang menuju ke Desa Rambeanak, Mungkid, jalan lurus terus nanti akan
sampai di Jalan Raya Blabak (Jalan Raya Magelang-Jogjakarta). Jalannya—dari
Rambeanak sampai dengan Blabak—nggak rata, bukan karena rusak, namun karna
kualitas aspalnya yang nggak bagus, jadinya “nggrenjol-nggrenjol”. Di depan
Pasar Blabak, ada belokan ke kiri (kalau dari arah Magelang), nah itulah jalan
menuju ke Ketep yang saya pilih. Selain yang paling dekat, juga karena hanya
jalan itu yang saya tahu. Mau mencari alternatif lain, sepertinya bukan
saatnya, mengingat keadaanku yang hanya dengan seonggok sepeda pinjaman.
Perjalanan dari rumah sampai dengan Blabak, membutuhkan waktu 45 menit. Awal
yang baik.
Perjalanan baru akan dimulai. Jalan menanjak
terus. Kondisi aspalnya yang rusak di sana-sini. Kebanyakan sawah dan kebun
yang akan menjadi pemandangan. Harus bisa ngirit bekal selama belum menemukan
warung yang buka. Itulah yang harus kulalui sampai tujuan.
Pada awalnya, jalan menanjak masih mudah
dilewati. Dengan kemiringan jalan yang masih berkisar 5 sampai 20 derajat,
memang terbilang mudah. Badan masih sehat dan bugar—belum pegel-pegel. Dan,
benar saja apa yang dikatakan temanku, jalannya rusak parah. Banyak aspal di
sana sani yang sudah mengelupas, banyak
jalan berlubang. Pokoknya harus pinter-pinter memlilih jalan yang rata.
Meskipun jalan yang rata berada di kanan jalan, aku harus punya inisiatif untuk
melewatinya. Begitu dari depan kosong, nggak ada kendaraan yang lewat, langsung
sikat. Tak jarang juga aku harus
memperlambat laju sepeda karena harus melalui lubang-lubang ketika nggak ada
jalan yang rata. Sesekali aku meneguk air yang sudah kupersiapkan, 500 ml,
semoga cukup sebagai bekal sampai pulang nanti. Tapi itu tidak mungkin.
Bersepeda ke arah timur, mendekati kaki dua
gunung, Merapi dan Merbabu. Sinar mentari pagi mulai menyilaukan mata. Untung
saja aku memakai topi, jadi kontak antara mata dengan matahari bisa dikurangi,
ya meskipun harus bersepeda sambil menunduk.
Berdusun-dusun telah kulewati, berdesa-desa
tlah kulalui, saatnya memasuki Kecamatan Sawangan. Kecamatan yang menjadi
tujuan perjalananku pagi ini. Tepatnya di Desa Ketep, desa tertinggi yang
berada di Sawangan. Kondisi jalan yang tak lebih baik, membuatku harus terus
ekstra berhati-hati agar tak tergelincir jatuh. Memang ada sebagian jalan yang
sudah dibeton, tetapi itu tidak banyak berpengaruh karena hanya beberapa puluh
meter saja.
Kok nggak sampai-sampai ya?
Mengamati toko-toko di pinggir jalan yang di
depannya dipasangi tulisan alamat, membuatku semakin capek saja. Dari Jalan
Blabak-Boyolali KM 8 menuju ke KM 9 itu membutuhkan waktu lebih dari seperempat
jam. Padahal, kalau jarak antara Blabak dan Ketep adalah 17 KM, berarti
perjalananku baru setengahnya. Sudah mulai pegel kakiku.
Sesampainya di Pasar Tlatar, Desa Krogowanan,
Sawangan, pukul delapan lebih, aku iseng tanya ke seorang bapak setengah baya
yang sedang menjemur pakaian di depan rumahnya. Masih berapa jauh lagi sih,
Ketep itu? Kata beliau masih 5 KM. Bingung, mau seneng atau mau gimana.
Ternyata hanya tinggal jarak segitu doang, itu senengnya. Aku pasti bisa—kalau
jalannya masih seperti sebelumnya. Sudut elevasinya pokoknya harus lebih dari
70 derajat.
Dan, apa yang bisa kita lihat hanya terbatas
pada apa yang terlihat oleh mata. Melihat jalan di depan jangkauan mataku,
menyiutkan nyaliku. Bukan takut karena ada hantu atau penjahat. Siang-siang
gini mah aman. Tapi, jalannya yang menanjak semakin curam. Kemiringan yang
sepertinya melebihi 50 derajat. Allahu Akbar. Apakah aku kuat? Ah, apa salahnya
mencoba. tanggung, sudah sampai sini tinggak dikit lagi. Mungkin itu tanjakan
tercuram yang sepanjang perjalanan. Di depan kan siapa tahu jalannya nggak
securam itu. Demikian pikirku, sebagai pecutan semangat dari dalam diri
sendiri. Lha, siapa lagi yang mau memberi semangat kecuali aku sendiri?
Naik, genjot, kayuh, semakin berat, semakin ke
atas, daaannn, akhirnya aku kalah. Kaki sudah pegel maksimal, perut sudah mulai
lapar, dan kondisi jalan yang sadis banget nanjaknya. Mendorong sepeda menjadi
pilihan satu-satunya. Ah, semoga di depan sana ada jalan yang sedikit menurun.
Semogaaa...
Memang agak turun, eh, datar dhenk. Tapi,
setelah itu, tanjakan menunggu untuk segera ditaklukkan. Oke, akan ku coba.
Lagi-lagi, aku tak sanggup melewati jalanan
curam berikutnya. Sudah terlalu capek. Istirahat dulu saja. Siapa tahu kakinya
sudah nggak begitu pegel sehingga kuat mengayuh tanjakan-tanjakan selanjutnya.
Sambil mengamati jalanan yang mulai ramai, truk-truk pengangkut pasir dan
barang lainnya, sepeda motor yang silih berganti melewati depanku duduk,
mobil-mobil berplat luar daerah melaju ke atas, sepertinya mereka mau ke Ketep
juga, ada juga bus pariwisata yang sudah dapat dipastikan akan ke sana juga.
Istirahat sudah cukup. Saatnya melanjutkan
perjalanan. Kaki sudah mulai hilang pegelnya. Namun, belum ada 200 meter
mengayuh sepeda, kaki pegel lagi. Ah! Mana jalannya menanjak lagi. Terpaksa
harus mendorong lagi. Dorong terus. Ini sepertinya lebih curam dari sebelumnya,
memasuki Desa Kapuhan. Curam banget, mungkin mencapai 70 derajat kemiringannya.
Lha masak iya, aku harus mendorong sepeda sejauh 5 KM kalau mau sampai ke
Ketep?
Ada niatan untuk mengakhiri ini semua. Turun
dan pulang terus tidur. Namun, itu tak boleh terjadi. Aku harus kuat. Tinggal
sebentar lagi. 3 KM bukanlah jarak yang susah untuk ditaklukkan—kalau jalannya
turun. Pokoknya, sampai di Ketep jam berapapun, akan tetap ku lalui semua
rintangan yang ada, meskipun harus mendorong sepeda terus. Aku harus bisa membuktikan
kepada teman-teman yang sudah mengangsikan kemampuanku bahwa aku bisa sampai ke
Ketep tanpa harus mengendarai motor, apalagi mobil. Aku bisa mengayuh sepeda
sampai ke sana meski dengan susah payah.
Ketika capek sudah melanda dengan maksimal,
mau tak mau aku harus terkapar di pinggir jalan. Hanya bisa memandang dengan
kelu setiap kendaraan yang “wara-wiri”. Niat semakin kuat untuk segera meluncur
ke bawah. Tapi, lagi-lagi, masih ada secuil harapan bahwa aku pasti bisa sampai
ke atas. Oke, bangkit dan kayuh sepeda lagi. Tidak boleh berbalik arah sebelum
sampai ke tujuan. Itulah tekadku!
Tinggal lama lagi aku akan sampai ke Ketep.
Nah, gapura yang ada tulisan “Desa Ketep” sudah terlihat. Yes. Aku semakin
semangat mendorong sepeda. Ya, sepanjang 5 KM jarak yang tersisa, aku lebih
sering mendorong sepeda daripada mengayuh. Kakiku serasa mau patah. Ingin
rasanya berpegangan pada mobil yang lewat agar aku tak merasakan “penderitaan”
ini. Tapi malu. Kembali lagi, mengingat siapa yang awalnya mau gowes sampai
Ketep? Ya, aku sendiri.
Ada kejadian seru ketika aku melewati SMP N 2
Sawangan di mana para siswanya—entah kenapa pada di luar semua, belum waktunya
pulang padahal—sudah menenteng tas di luar kelas—mungkin karena jarang ada yang
melewati depan SMP N 2 Sawangan sambil mengayuh sepeda—ketika aku melintas,
mereka memandang dengan takjub sambil menyoraki dan memberi semangat. Ya, aku
tebar senyum ke mereka dong. Senyum kecut karena harus tetap mengayuh dengan
sisa-sisa tenaga. Tetap saja nggak kuat. Mungkin para siswa SMP tadi kecewa.
Maafkan aku, Adik-adik., Kakak sudah capek.
Jarak tinggal satu kilometer. Demikian kata
ibu-ibu tempat aku membeli air mineral. Apa? Jadi selama lebih dari sejam, baru
4 KM yang kulewati? Kok bisa? Kebanyakan berhenti dan terkapar di pinggir
jalan, sih. Hmmm...
Wah, tulisan merah “Ketep Pass” sudah terlihat
di pinggir jalan. Tidak percaya kalau aku bisa sampai ke sini. Pengen teriak
sekenceng-kencengnya, membuktikan kepada dunia bahwa aku BISA. Mendorong sepeda
tak apalah, toh tinggal beberapa langkah lagi aku akan merasakan nikmatnya
perjalanan yang telah kulalui selama hampir 4 jam.
Akhirnya, aku bisa merasakan angin kenceng
sembari menikmati keindahan dan kegagahan Merapi dan Merbabu. Masya Allah,
sungguh indah ciptaan-Mu. Kaki yang tadinya pegel, pegelnya tetep saja masih
terasa, meski agak berkurang. Namun, ada satu yang agak disayangkan, Gunung
Sumbing yang sedari aku berangkat terlihat jelas, ketika sampai di Ketep Pass,
ternyata tertutup kabut dan awan. Sudah terlalu siang mungkin. Ya sudah, kali
lain main lagi, tapi nggak mau kalau harus gowes lagi. Kibar bendera putih ke
kamera.
Oke, saatnya ber-selfie dulu. Hehehe...
Setengah jam mengitari area Ketep Pass,
suasana juga sudah mulai ramai karena ada rombongan dari sekolah mana, aku
nggak tahu, mending pulang saja. Sudah pukul 10.30. Aku nggak mau sampai di
rumah sore. Nggak mungkin juga sholat Zhuhur tanpa mandi dulu.
Perjalanan pulang sih enak. Jalannya menurun
teruss...... Aaaaaaaaa......... *sambil teriak-teriak*
Alhamdulillaah....
SKT SKT rampungke dhisit...
ReplyDeletewes goodbye ro SKT SKT di 505, harus mupon
DeleteItu lewat depan rumahku kalau leewat rambeanak,, kok aku ga liat kamu?!? (aku dah bangun belum ya)
ReplyDeletemesti kw rung tangi wong aku lwt rambeanak jam stg 7 kurang wkwkw,, blogmu ki disii woyy
ReplyDeleteHalo haloo,, I am back,, hihi,, aku ngasi lali carane mlebu blogku,, password e lupa,, haha
ReplyDelete