Friday, March 14, 2014

Weekend Ceria



Lagi-lagi rencana mendadak. Sabtu malam—aku nggak suka dengan kata “malam minggu”—mau ada acara—yang nggak penting-penting amat bagi hidupku, tapi kok ya aku mau-mau aja—ngumpul dan main-main lagi setelah seminggu sebelumnya juga ada acara “ngumpul” : rafting. Jumat sore baru diputuskan akan diadakan tracking ke Punthuk Setumbu—ah, Punthuk Setumbu terus, padahal terakhir kali ke sana adalah minggu kemarin—yang pada Sabtu malamnya dimulai dengan camping. Aku sih nggak yakin. Pertama, sekarang masih musim hujan. Kedua, dengan persiapan yang kurang dari 24 jam, akan sangat susah mencari perlengkapan bermalam di alam terbuka. Ketiga, mengurus izin camping di Punthuk Setumbu juga nggak bisa langsung sehari kelar. Keempat, banyak yang nggak berpengalaman tidur di luar, ngtar malah sakit, kan jadi repot. Makanya, ketika semua orang meributkan camping, aku pura-pura ikut ambil bagian dalam pembicaraan tersebut, ikut pusing ngurusi semuanya, dan ikut memanas-manasi biar lebih greget.

Oke, saatnya cari mangsa yang mau diajak. Ah, kenapa aku sih yang harus melakukan itu? Paling males kalau harus menjawab pertanyaan : “Siapa aja yang ikut?”. Retoris banget. Yang lain juga baru diajak dan belum memberikan jawaban. Bagi kalian yang membaca ini, besok lagi jangan menanyakan hal itu. Ikut atau tidak. Titik. Kalau masih nekad bertanya juga? Jangan marah kalau aku jawab : “Aku, Bapakku, Ibuku, Kakakku dan Ponakanku”. Biar sekalian piknik keluarga.

Kirim SMS menjadi andalan setiap kali dapat bagian mengajak yang lain. Dan karena pada hari Jumat sore aku masih dalam perjalanan dari kota sebelah, maka aku meng-sms-nya agak malem. Seperti biasa, banyak yang nggak mau, dengan berbagai macam alasan yang sangat klasik sekali. Intinya ya tidak mau. Mereka bilang nggak bisa karena ada acara bla-bla-bla, STOP, pada intinya kan tetap nggak mau. Kalau mau, ya pasti akan berusaha untuk meluangkan, bukan? Pada akhirnya, hanya terkumpul tujuh orang, dua cowok dan lima cewek. Itupun, satu orang  dari bertujuh tersebut, kedatangannya di luar dugaanku. Lha datengnya habis isya. Bagus-lah, kalau kebanyakan nanti aku yang nggak enak sama petugas di Punthuk Setumbu karena nggak bayar tiket masuk. Oke, bagi yang belum pernah ke sana dan pengen ke sana, jangan harap akan dapat gratisan lagi. Silakan cari warga sekitar Punthuk Setumbu yang mau berbaik hati mengajak kalian secara Cuma-Cuma.

Rencana awal adalah camping—meskipun aku sangsi—kalau nggak hujan. Misalkan hujan turun, campingnya di depan dalam rumahku. Toh, Punthuk Setumbu juga tak jauh-jauh amat dari rumahku.

Pencarian perlengkapan camping masih dalam tahap rencana. Menyuruh seorang teman agar bisa meminjam tenda dan perlengkapan masak pada akhirnya gagal karena barang-barangnya masih berada di Jogja. Dan akhirnya, teman yang ku suruh tersebut tidak jadi ikut karena rencana camping gagal total. Satu-satunya jalan, ya harus menyewa. Tapi di mana? Aku nggak pengalaman meminjam seperti itu. Masak harus pinjem di SD—yang biasanya dipakai untuk kemah? Nggak lucu. Terlalu besar dan masangnya susah.

Ketika sudah menemukan tempat penyewaan peralatan camping, aku bimbang lagi. Masak mau dipakai mendadak begini? Apa bisa? Lagian sepertinya males mau pergi keluar. Ya sudah, mending nginep di rumahku saja, baru acara mendakinya dilakukan selepas sholat Shubuh. Nggak repot.

Nah, permasalahan selanjutnya adalah : rangkaian acara apa yang akan dilalui sepanjang malam? Ngowoh sampai pagi? NO. Nggak seru. Ntar ujung-ujungnya ngomongin orang. Nggak baik. Main kartu saja po? Tapi aku nggak punya. Aku kan anak baik yang nggak punya kartu (Remi, UNO, Domino)—tapi kalau disuruh main ya bisa. Ternyata ada yang punya kartu remi. Baiklah, nanti kartu UNO-nya beli saja. Kalau nggak ada yang jual ya nggak masalah. Main kartu saja juga nggak asyik. Harus ada yang dimakan. Kebetulan sekarang lagi musim duren, kami sepakat untuk membeli duren—lebih tepatnya beberapa dari kami. Selain itu, bakar-bakaran juga menjadi hal yang kudu dilakukan. Ayam dan jagung adalah menu utamanya. Ntah siapa yang mau beli. Yang penting beli dulu, masalah bayarannya entar lah.

Hari Sabtu, cuaca di pagi hari lumayan cerah  walaupun ada awan mendung yang terlihat. Siang hari, awannya semakin banyak. Lama kelamaan mendung semua. Rintik-rintik hujan mulai membasahi tanah. Semakin deras saja. Berharap, biasanya kalau hujan deras begitu tidak akan berlangsung lama. Berdoa saja keadaan akan lebih baik.

Masih ada waktu beberapa jam sebelum sore datang dan masih tetap berharap agar hujan berhenti. Sempat terpikir untuk membatalkan acara ngumpul-ngumpul tersebut. Tapi nanti pasti pada kecewa. Ah tak apalah. Toh, mereka juga yang akan merasakan dinginnya hujan. Aku cukup stand-by di rumah menunggu kedatangan mereka.

Harapan tinggal harapan. Hujan yang diharapkan agar reda tidak juga menampakkan tanda-tanda itu, justru malah semakin deras, sampai sore. Baru setelah mendekati waktu maghrib, rintik-rintik hujan sudah menghilang. Namun, aku yakin kalau nantinya pasti bakal turun hujan lagi.

Mendekati maghrib, satu per satu mulai bermunculan. Cuma empat yang datang sebelum maghrib. Nggosip dulu saja kalau begitu.
Dua orang lagi datang selepas maghrib. Berdua, mereka dikhawatirkan nggak berani naik motor mengingat jalanan menuju rumahku yang gelap—di sampingnya hanya sawah-sawah dan kebun-kebun—juga sepi. Bagiku sih biasa, lha bagi mereka? Cewek-cewek lagi. Ada niatan mau menjemput, tapi tak ada kabar yang mengharuskan salah satu dari kami untuk menjemput. Wuih, akhirnya batang hidung mereka terlihat juga.

Selepas maghrib, karena belum ada bahan yang mau dibakar dan sepertinya duren yang dibawa  seorang teman masih kurang banyak, maka diputusknalah untuk membeli ayam potong dan beberapa buah duren. Masih bingung, mau beli ayam di mana. Sudah malem, jauh dari supermarket yang jual ayam potong. Setelah tanya babeku, ada sedikit pencerahan. Ada salah seorang yang  rumahnya di kampung sebelah yang biasanya menjual ayam potong. Siapa tahu, rejeki masih ada di tangan kami.

Sesampainya di rumah penjagalan, ayam potongnya sudah habis. Mau nggak mau harus menunggu disembelihkan dan itupun berarti harus membeli satu ekor ayam. Rencana mau beli potongan 2 kg nggak jadi, nggak boleh  sama yang jual. Berapa harganya ya, kalau seekor ayam? Ada yang nyeletuk, kalau seekor ayam pedaging beratnya bisa 4-5 kg. Woootttsss??? Itu ayam apa anak kambing? Berat banget.

Daripada menunggu proses penjagalan ayam, mending cari duren di Borobudur dulu. Sorenya sih masih ada yang jual di sekitar Taman Wisata Candi Borobudur, ntahlah kalau malam hari. Tuh, kan hujan lagi? Alhasil, kami mencari duren sambil hujan-hujanan. Mana milihnya lama banget lagi. Akhirnya, setelah tawar-menawar yang membuat kedua kubu harus mempertahankan pendapanya masing-masing, diperolehlah dua buah duren seharga gocap—yang pada keesokan harinya, diketahui bahwa satu dari duren yang dibeli, bosok. Sh*t! Siapa sih yang milih? Bukan aku lho ya. Aku Cuma mbayar saja. Jagungnya nggak dapet karena pasarnya sudah tutup. Males 
kalau harus pergi ke Magelang hanya untuk membeli jagung yang paling-paling juga Cuma beli sepuluh biji.

Sampai lupa mau ngambil ayam pesenan. Ada niatan iseng, ayamnya nggak usah diambil saja karena kami hanya mau beli ayam potong. Woh, tapi nanti akan mempermalukan dunia persilatan keluargaku dong. Ya sudah, diambil saja. Tapi aku nggak mau bayar. Uangnya sudah habis buat beli duren “bosok”.

Acara berikutnya adalah masak-masak. Masak ayam yang barusan dibeli. Tapi tunggu. Astaga. Di dapur kok malah pada minta difoto? Kapan masaknya coba? Meskipun pada akhirnya jadi juga sih. Kebanyakan airnya. Mau masak sop, Buk? Orang mau dibakar juga.
Setelah dimasak, baru kemudian ayamnya dibakar. Karena nggak punya pembakar sate, “angklo” pun jadi. Setelah persiapannya kelar, jadi deh bakar-bakarnya.

Eh, siapa yang minta supaya membakarnya di teras rumah? Asapnya masuk rumah semua, woy! Sangit ngerti raa???
Ah, aku nggak ikut acara bakar-bakaran karena sibuk di dapur memasak mie instan, buat anget-angetan. Tau-tau sudah selesai saja si ayam dibakarnya.  Per kepala dapet satu potong saja ya? Gimana rasanya? Enak sih kalau pas lapar-lapar gini. Emang kalau pas kelaparan, ketela rebus pun menjadi makanan terenak.

Mari makan...

Sudah malam ternyata, sudah pukul 10 lebih. Mau ngapain lagi? Main kartu menjadi acara selanjutnya. Berlima saja karena yang lain pada molor. Tapi kebanyakan hanya bisa main “minuman” dan “41”. Nggak seru. Baiklah, aku ajari main poker dan remi. Pertama remi. Karena setelah dilakukan beberapa kali simulasi masih pada bingung, ganti permainan saja. Kedua “minuman”. Yang kalah dapat tantangan : jongkok. Hmmm, tapi kalau hanya “minuman” jelas nggak seru. Terakhir, main poker. Ternyata hanya dua yang bisa. Simulasi lagi. Sepertinya poker lebih mudah dimainkan daripada remi. Terbukti hanya dengan sekali simulasi, tantangan jongkok langsung dipraktikkan. Yang kalah bergantian, sampai ngakak ketika ada seorang teman yang kalah tiga kali berturut-turut. Selamat ya? Dapat piring cantik. *ndang pindah, wis munthuk-munthuk kui lhoo*

Tak terasa permainan poker sampai hampir pukul 2 dini hari dan hujan di luar masih terdengar rintiknya. Nggak deras sih, tapi cukup membuat badan perlu dibalut selimut ketika tidur. Harus segera tidur karena  pagi-pagi sekali harus berangkat ke Punthuk Setumbu agar nggak ketinggalan sama mataharinya.

Paginya, pukul 5 kami berangkat naik motor. Tak butuh waktu lama untuk sampai ke parkiran Punthuk Setumbu. Cukup lima menit. Baru dilanjutkan dengan mendaki. Ah, terlalu mudah untuk disebut  mendaki. Lha, wong nggak sampai 15 menit kok. Kalau aku sendiri paling sepuluh menit tak sampai. Tapi karena yang lain nggak biasa jalan kaki, perjalanan jadi agak lama. Sampai di atas, kebanyakan pada krenggosan. Manja banget sih.

Saatnya menikmati sunrise di Punthuk Setumbu.

Berawan. Tapi semoga sunrise-nya terlihat. Wah, langitnya merah merona. Keren sangat. Setiap kali berkunjung ke Punthuk Setumbu, pasti ada saja yang membuat mata takjub. Entah warna langit timurnya, gunungnya, kabutnya, siluet candi Borobudurnya, atau bahkan sunrise-nya, seperti pagi itu.  Perlahan, lingkaran raksasa itu tampak di ufuk timur. Semakin lama semakin besar. Mempesona.  Dan, tanpa disangka, di bagian barat muncullah pelangi yang melengkung di langit sedikit biru. Menambah indahnya langit pagi di atas Punthuk Setumbu.

Foto-foto menjadi hal yang kudu dilakukan. Mulai dari bergaya primitif, klasik, kontemporer sampai dengan berpose zaman modern, meskipun semuanya tetap norak. *mbuh kepiye kuwi pose-pose sing dimaksud*

Sesampai di rumah, langsung main poker lagi. Baiklah. Sepertinya sudah pada ketagihan main poker. Sarapan. Makan duren lagi.
Terima kasih teman-teman, kalau kalian nggak mengajakku ke sana pagi itu, entah kapan aku akan bisa melihat sunrise di satu sisi bersamaan pelangi yang tampak di sisi lain. Ternyata itulah akibat dari hujan dari siang sampai pagi hari. Salam. 





















No comments:

Post a Comment