Lagi-lagi rencana mendadak. Sabtu malam—aku
nggak suka dengan kata “malam minggu”—mau ada acara—yang nggak penting-penting
amat bagi hidupku, tapi kok ya aku mau-mau aja—ngumpul dan main-main lagi
setelah seminggu sebelumnya juga ada acara “ngumpul” : rafting. Jumat sore baru
diputuskan akan diadakan tracking ke Punthuk Setumbu—ah, Punthuk Setumbu terus,
padahal terakhir kali ke sana adalah minggu kemarin—yang pada Sabtu malamnya
dimulai dengan camping. Aku sih nggak yakin. Pertama, sekarang masih musim
hujan. Kedua, dengan persiapan yang kurang dari 24 jam, akan sangat susah
mencari perlengkapan bermalam di alam terbuka. Ketiga, mengurus izin camping di
Punthuk Setumbu juga nggak bisa langsung sehari kelar. Keempat, banyak yang nggak
berpengalaman tidur di luar, ngtar malah sakit, kan jadi repot. Makanya, ketika
semua orang meributkan camping, aku pura-pura ikut ambil bagian dalam
pembicaraan tersebut, ikut pusing ngurusi semuanya, dan ikut memanas-manasi
biar lebih greget.
Oke, saatnya cari mangsa yang mau diajak. Ah,
kenapa aku sih yang harus melakukan itu? Paling males kalau harus menjawab
pertanyaan : “Siapa aja yang ikut?”. Retoris banget. Yang lain juga baru diajak
dan belum memberikan jawaban. Bagi kalian yang membaca ini, besok lagi jangan
menanyakan hal itu. Ikut atau tidak. Titik. Kalau masih nekad bertanya juga?
Jangan marah kalau aku jawab : “Aku, Bapakku, Ibuku, Kakakku dan Ponakanku”.
Biar sekalian piknik keluarga.
Kirim SMS menjadi andalan setiap kali dapat
bagian mengajak yang lain. Dan karena pada hari Jumat sore aku masih dalam
perjalanan dari kota sebelah, maka aku meng-sms-nya agak malem. Seperti biasa,
banyak yang nggak mau, dengan berbagai macam alasan yang sangat klasik sekali.
Intinya ya tidak mau. Mereka bilang nggak bisa karena ada acara bla-bla-bla,
STOP, pada intinya kan tetap nggak mau. Kalau mau, ya pasti akan berusaha untuk
meluangkan, bukan? Pada akhirnya, hanya terkumpul tujuh orang, dua cowok dan
lima cewek. Itupun, satu orang dari
bertujuh tersebut, kedatangannya di luar dugaanku. Lha datengnya habis isya. Bagus-lah,
kalau kebanyakan nanti aku yang nggak enak sama petugas di Punthuk Setumbu
karena nggak bayar tiket masuk. Oke, bagi yang belum pernah ke sana dan pengen
ke sana, jangan harap akan dapat gratisan lagi. Silakan cari warga sekitar
Punthuk Setumbu yang mau berbaik hati mengajak kalian secara Cuma-Cuma.
Rencana awal adalah camping—meskipun aku
sangsi—kalau nggak hujan. Misalkan hujan turun, campingnya di depan dalam
rumahku. Toh, Punthuk Setumbu juga tak jauh-jauh amat dari rumahku.
Pencarian perlengkapan camping masih dalam
tahap rencana. Menyuruh seorang teman agar bisa meminjam tenda dan perlengkapan
masak pada akhirnya gagal karena barang-barangnya masih berada di Jogja. Dan
akhirnya, teman yang ku suruh tersebut tidak jadi ikut karena rencana camping
gagal total. Satu-satunya jalan, ya harus menyewa. Tapi di mana? Aku nggak
pengalaman meminjam seperti itu. Masak harus pinjem di SD—yang biasanya dipakai
untuk kemah? Nggak lucu. Terlalu besar dan masangnya susah.
Ketika sudah menemukan tempat penyewaan
peralatan camping, aku bimbang lagi. Masak mau dipakai mendadak begini? Apa
bisa? Lagian sepertinya males mau pergi keluar. Ya sudah, mending nginep di
rumahku saja, baru acara mendakinya dilakukan selepas sholat Shubuh. Nggak
repot.
Nah, permasalahan selanjutnya adalah :
rangkaian acara apa yang akan dilalui sepanjang malam? Ngowoh sampai pagi? NO.
Nggak seru. Ntar ujung-ujungnya ngomongin orang. Nggak baik. Main kartu saja
po? Tapi aku nggak punya. Aku kan anak baik yang nggak punya kartu (Remi, UNO,
Domino)—tapi kalau disuruh main ya bisa. Ternyata ada yang punya kartu remi.
Baiklah, nanti kartu UNO-nya beli saja. Kalau nggak ada yang jual ya nggak
masalah. Main kartu saja juga nggak asyik. Harus ada yang dimakan. Kebetulan
sekarang lagi musim duren, kami sepakat untuk membeli duren—lebih tepatnya
beberapa dari kami. Selain itu, bakar-bakaran juga menjadi hal yang kudu
dilakukan. Ayam dan jagung adalah menu utamanya. Ntah siapa yang mau beli. Yang
penting beli dulu, masalah bayarannya entar lah.
Hari Sabtu, cuaca di pagi hari lumayan
cerah walaupun ada awan mendung yang
terlihat. Siang hari, awannya semakin banyak. Lama kelamaan mendung semua.
Rintik-rintik hujan mulai membasahi tanah. Semakin deras saja. Berharap,
biasanya kalau hujan deras begitu tidak akan berlangsung lama. Berdoa saja
keadaan akan lebih baik.
Masih ada waktu beberapa jam sebelum sore
datang dan masih tetap berharap agar hujan berhenti. Sempat terpikir untuk
membatalkan acara ngumpul-ngumpul tersebut. Tapi nanti pasti pada kecewa. Ah
tak apalah. Toh, mereka juga yang akan merasakan dinginnya hujan. Aku cukup
stand-by di rumah menunggu kedatangan mereka.
Harapan tinggal harapan. Hujan yang diharapkan
agar reda tidak juga menampakkan tanda-tanda itu, justru malah semakin deras,
sampai sore. Baru setelah mendekati waktu maghrib, rintik-rintik hujan sudah
menghilang. Namun, aku yakin kalau nantinya pasti bakal turun hujan lagi.
Mendekati maghrib, satu per satu mulai
bermunculan. Cuma empat yang datang sebelum maghrib. Nggosip dulu saja kalau
begitu.
Dua orang lagi datang selepas maghrib. Berdua,
mereka dikhawatirkan nggak berani naik motor mengingat jalanan menuju rumahku
yang gelap—di sampingnya hanya sawah-sawah dan kebun-kebun—juga sepi. Bagiku
sih biasa, lha bagi mereka? Cewek-cewek lagi. Ada niatan mau menjemput, tapi
tak ada kabar yang mengharuskan salah satu dari kami untuk menjemput. Wuih,
akhirnya batang hidung mereka terlihat juga.
Selepas maghrib, karena belum ada bahan yang
mau dibakar dan sepertinya duren yang dibawa seorang teman masih kurang banyak, maka
diputusknalah untuk membeli ayam potong dan beberapa buah duren. Masih bingung,
mau beli ayam di mana. Sudah malem, jauh dari supermarket yang jual ayam
potong. Setelah tanya babeku, ada sedikit pencerahan. Ada salah seorang
yang rumahnya di kampung sebelah yang
biasanya menjual ayam potong. Siapa tahu, rejeki masih ada di tangan kami.
Sesampainya di rumah penjagalan, ayam
potongnya sudah habis. Mau nggak mau harus menunggu disembelihkan dan itupun
berarti harus membeli satu ekor ayam. Rencana mau beli potongan 2 kg nggak
jadi, nggak boleh sama yang jual. Berapa
harganya ya, kalau seekor ayam? Ada yang nyeletuk, kalau seekor ayam pedaging
beratnya bisa 4-5 kg. Woootttsss??? Itu ayam apa anak kambing? Berat banget.
Daripada menunggu proses penjagalan ayam,
mending cari duren di Borobudur dulu. Sorenya sih masih ada yang jual di
sekitar Taman Wisata Candi Borobudur, ntahlah kalau malam hari. Tuh, kan hujan
lagi? Alhasil, kami mencari duren sambil hujan-hujanan. Mana milihnya lama
banget lagi. Akhirnya, setelah tawar-menawar yang membuat kedua kubu harus
mempertahankan pendapanya masing-masing, diperolehlah dua buah duren seharga
gocap—yang pada keesokan harinya, diketahui bahwa satu dari duren yang dibeli,
bosok. Sh*t! Siapa sih yang milih? Bukan aku lho ya. Aku Cuma mbayar saja.
Jagungnya nggak dapet karena pasarnya sudah tutup. Males
kalau harus pergi ke
Magelang hanya untuk membeli jagung yang paling-paling juga Cuma beli sepuluh
biji.
Sampai lupa mau ngambil ayam pesenan. Ada
niatan iseng, ayamnya nggak usah diambil saja karena kami hanya mau beli ayam
potong. Woh, tapi nanti akan mempermalukan dunia persilatan keluargaku dong. Ya
sudah, diambil saja. Tapi aku nggak mau bayar. Uangnya sudah habis buat beli
duren “bosok”.
Acara berikutnya adalah masak-masak. Masak
ayam yang barusan dibeli. Tapi tunggu. Astaga. Di dapur kok malah pada minta
difoto? Kapan masaknya coba? Meskipun pada akhirnya jadi juga sih. Kebanyakan
airnya. Mau masak sop, Buk? Orang mau dibakar juga.
Setelah dimasak, baru kemudian ayamnya
dibakar. Karena nggak punya pembakar sate, “angklo” pun jadi. Setelah
persiapannya kelar, jadi deh bakar-bakarnya.
Eh, siapa yang minta supaya membakarnya di
teras rumah? Asapnya masuk rumah semua, woy! Sangit ngerti raa???
Ah, aku nggak ikut acara bakar-bakaran karena
sibuk di dapur memasak mie instan, buat anget-angetan. Tau-tau sudah selesai
saja si ayam dibakarnya. Per kepala
dapet satu potong saja ya? Gimana rasanya? Enak sih kalau pas lapar-lapar gini.
Emang kalau pas kelaparan, ketela rebus pun menjadi makanan terenak.
Mari makan...
Sudah malam ternyata, sudah pukul 10 lebih.
Mau ngapain lagi? Main kartu menjadi acara selanjutnya. Berlima saja karena
yang lain pada molor. Tapi kebanyakan hanya bisa main “minuman” dan “41”. Nggak
seru. Baiklah, aku ajari main poker dan remi. Pertama remi. Karena setelah dilakukan
beberapa kali simulasi masih pada bingung, ganti permainan saja. Kedua
“minuman”. Yang kalah dapat tantangan : jongkok. Hmmm, tapi kalau hanya
“minuman” jelas nggak seru. Terakhir, main poker. Ternyata hanya dua yang bisa.
Simulasi lagi. Sepertinya poker lebih mudah dimainkan daripada remi. Terbukti
hanya dengan sekali simulasi, tantangan jongkok langsung dipraktikkan. Yang kalah
bergantian, sampai ngakak ketika ada seorang teman yang kalah tiga kali
berturut-turut. Selamat ya? Dapat piring cantik. *ndang pindah, wis
munthuk-munthuk kui lhoo*
Tak terasa permainan poker sampai hampir pukul
2 dini hari dan hujan di luar masih terdengar rintiknya. Nggak deras sih, tapi
cukup membuat badan perlu dibalut selimut ketika tidur. Harus segera tidur
karena pagi-pagi sekali harus berangkat
ke Punthuk Setumbu agar nggak ketinggalan sama mataharinya.
Paginya, pukul 5 kami berangkat naik motor.
Tak butuh waktu lama untuk sampai ke parkiran Punthuk Setumbu. Cukup lima
menit. Baru dilanjutkan dengan mendaki. Ah, terlalu mudah untuk disebut mendaki. Lha, wong nggak sampai 15 menit kok.
Kalau aku sendiri paling sepuluh menit tak sampai. Tapi karena yang lain nggak
biasa jalan kaki, perjalanan jadi agak lama. Sampai di atas, kebanyakan pada
krenggosan. Manja banget sih.
Saatnya menikmati sunrise di Punthuk Setumbu.
Berawan. Tapi semoga sunrise-nya terlihat.
Wah, langitnya merah merona. Keren sangat. Setiap kali berkunjung ke Punthuk
Setumbu, pasti ada saja yang membuat mata takjub. Entah warna langit timurnya,
gunungnya, kabutnya, siluet candi Borobudurnya, atau bahkan sunrise-nya,
seperti pagi itu. Perlahan, lingkaran
raksasa itu tampak di ufuk timur. Semakin lama semakin besar. Mempesona. Dan, tanpa disangka, di bagian barat
muncullah pelangi yang melengkung di langit sedikit biru. Menambah indahnya
langit pagi di atas Punthuk Setumbu.
Foto-foto menjadi hal yang kudu dilakukan.
Mulai dari bergaya primitif, klasik, kontemporer sampai dengan berpose zaman
modern, meskipun semuanya tetap norak. *mbuh kepiye kuwi pose-pose sing
dimaksud*
Sesampai di rumah, langsung main poker lagi.
Baiklah. Sepertinya sudah pada ketagihan main poker. Sarapan. Makan duren lagi.
Terima kasih teman-teman, kalau kalian nggak
mengajakku ke sana pagi itu, entah kapan aku akan bisa melihat sunrise di satu
sisi bersamaan pelangi yang tampak di sisi lain. Ternyata itulah akibat dari
hujan dari siang sampai pagi hari. Salam.
No comments:
Post a Comment