Thursday, March 20, 2014

Festival Durian 2 Maret 2014



 Bagi pecinta durian, Festival Durian sangat dinantikan. Pada tahun ini, festival yang diadakan di lapangan Desa Banjaroya, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta pada tanggal 2 Maret 2014 kemarin. Acara ini digelar mulai pukul 09.00 sampai dengan pukul 13.00 WIB. Meskipun pada kenyataanya sebelum pukul 09.00 sudah banyak pengunjung yang memenuhi tempat di mana festival akan dilangsungkan. Pun, selepas pukul 14.00 masih ada beberapa penjual dan pengunjung yang masih melakukan transaksi tawar-menawar durian.

Saya, awalnya tidak tahu kalau ada festival durian di sana. Semua berawal ketika saya mengajak jalan seorang teman SMA, bukan mengajak sih, lebih tepatnya menagih janji karena sudah beberapa kali gagal pergi karena satu dan lain hal. Kalau tidak salah, pada hari Kamis malam, saya mengirimkan pesan singkat kepada teman saya tersebut. Dibalasnya bahwa hari Minggu ada festival durian meskipun bukan tujuan kami selama ini. Tapi tak apalah, pergi sesuai rencana bisa kali lain. Kebetulan pas moment-nya ada festival durian yang hanya diadakan setahun sekali di sana. Kapan lagi kalau tidak sekarang? Saya juga belum pernah. Kebetulan tempat festivalnya berdekatan dengan tempat KKN teman saya tersebut, yang juga berada di Desa Banjaroya, namun berbeda dusun.
 Sebenarnya saya punya rencana bareng dua teman, namun satu teman sedang sakit, maka mau tak mau Cuma tinggal berdua, saya dan satu teman saya. Baiklah, bisa mengajak teman yang lain. Tapi, ya seperti biasa, banyak yang nggak mau. Awalnya dapat dua orang yang mau, tapi pada akhirnya semua membatalkan. Ntahlah, mengajak orang itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dan, mulai sekarang, saya nggak sudah bosan mengajak-ngajak. Lebih memilih bepergian sendirian atau kalau toh harus dengan teman, nggak mau mengajak banyak orang. Selain ngirit, juga tidak perlu rembugan yang menguras tenaga. Ah, teman saya ternyata sudah membawa “pasukan” yang merupakan teman KKN-nya dulu. Baguslah, nggak Cuma berdua.

Karena saya nggak tahu tempatnya, maka kami janjian dulu di dekat SMA. Janjian jam 08.00, eh datangnya jam 08.30. Aish, kebiasaan orang Indonesia: ngaret. Hampir kering saya menunggu. Sabar sabaaarrr.

Tempat pelaksanaan festival, ya kalau ditempuh menggunakan sepeda motor tidak memakan lebih dari setengah jam dengan kecepatan normal. Mendekati lapangan Banjaroya, banyak warung tidak permanen—mungkin hanya digunakan untuk berjualan kalau musim durian—sudah berderet. Di samping kiri kanan jalan, beberapa penjual mulai merapikan dagangannya. Malah sudah ada yang dikunjungi pembeli atau bahkan pelanggan tetapnya.

Dalam radius ratusan meter, jalan raya di depan lapangan Banjaroya sudah dipadati kendaraan, baik yang mau berkunjung ke festival ataupun hanya sekedar lewat. Tapi satu yang pasti, macet. Jam setengah sepuluh masih kurang. Mayoritas mobil diparkir di pinggir jalan karena tidak adanya tempat luas yang digunakan sebagai tempat parkir. Kendaraan didominasi oleh plat AB. Yaiyalah, secara festivalnya berada di Propinsi Yogyakarta, hanya beberapa yang berasal dari luar kota.

Sebelum ke festival durian, kami mengunjungi tempat KKN teman saya. Silaturahim ke keluarga yang “menampung” anak-anak selama KKN, sering dipanggil Pak Dukuh dan Bu Dukuh, yang merupakan kepala perdukuhan—saya nggak tahu nama dukuhnya apa. Dukuh merupakan dusun kalau di tempat saya. Rumahnya terletak di paling ujung perdukuhan. Di sekitarnya hanya ada kebun-kebun: kebun rambutan, kebun durian, kebun palawija, dan bahkan ada sawah juga. Benar-benar sepi. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana keadaannya kalau malam hari. Krik-krik banget pasti. Nggak ada tetangga yang rumahnya berdekatan dengan rumah Pak Dukuh.
Setelah bertemu dengan Pak Dukuh dan istrinya, kami memutuskan untuk segera menuju ke festival durian. Harus cepat-cepat ke sana sebelum 2.500 buah durian—katanya—yang telah disiapkan pada festival tahun ini, ludes diborong oleh pecinta durian. Kan nggak lucu, sudah jauh-jauh ke Banjaroya tetapi nggak dapet sebiji pun durian.

Jarak dari rumah Pak Dukuh dengan tempat festival durian tidak terlalu jauh, tidak sampai sepuluh menit sebenarnya kalau tidak macet. Wuihh, sudah banyak orang. Awalnya saya mengira kalau festival durian itu berada di tempat yang luas, di mana setia pedagang yang ditunjuk untuk mengisi stand-stand yang ada, berjejer rapi di lapangan yang telah disiapkan. Bukan berjejer rapi di pinggir jalan di sekitar lapangan Banjaroya sembari menunggu pembeli datang yang belum jelas mau membeli atau hanya sekedar mencium baunya. Memang ada yang berjualan di lapangannya, akan tetapi karena lapangannya kecil, jadi hanya muat beberapa pedagang. Itu pun tempatnya tidak memadai sehingga pembeli yang menyerbu durian yang ditawarkan bagaikan ‘thowaf di Masjidil Haram’. Penuh dan sesak. Mau maju susah, mundur apalagi. Saya yang rencananya mau membeli durian, jadi agak males. Melihat satu pedagang dengan puluhan durian yang digelar di lapak dan diserbu oleh puluhan pembeli yang saling ribut dalam menawar dan mencicipi, membuat saya ingin segera beranjak dari tempat itu. Pengap. Panas. Percuma juga datang tapi kalau mau lihat durian yang dijual saja harus ‘nylempit-nylempit’ di ketiak orang.

Hmmm... Saya masih berpikir, ini festival durian atau bukan sih? Kok malah ada yang berjualan rambutan, petai, keripik, dan ada yang jual obat-obatan herbal—katanya.

Di lapangan Banjaroya, terdapat Induk Pohon Durian Menoreh. Ada SK Mentan-nya juga lho. Pengen mencoba mencicipi durian menoreh yang katanya mahal dan enak. Hmmm... Memang pohonnya gedhe banget. Banyak durian yang bergelantungan di pohonnya, belum mateng. Masih diikat biar kalau tetiba jatuh nggak korban. Jadi inget, cerita Pak Dukuh tentang dua tetangganya yang tertimpa durian pas di bagian kepala. Satu orang meninggal karena tertimpa pas di bagian tengkuknya. Ya Allaah. Ngeri banget.

Acara festival durian diramaikan dengan performa band lokal yang—menurut saya—sangat aneh sekali. Maksa banget liriknya. Selain itu, ada juga kontes durian, di mana durian yang dianggap enak dan layak untuk dijual mahal akan dicicipi oleh juri yang berasal dari Dinas PU, seorang warga Korea dan satu lagi saya lupa dari mana. Ya, kalau dipikir-pikir, jurinya nggak berpengalaman di bidang per-durian-an. Seharusnyanya ya dari warga yang setiap harinya bergumul dengan durian dong. Penilaian didasarkan pada rasa pahit-pahitnya, tebalnya buah dan terakhir adalah apakah buahnya bertumpuk atau tidak. Itu merupakan analisis Pak Dukuh di obrolan setlah makan siang di rumahnya. Saya baru tahu. Setelah ditentukan hasilnya, maka durian yang sejenis akan dilelang. Rekornya, satu buah durian terjual seharga Rp 225.000,00 padahal kalau diikir-pikir, harga normalnya mungkin tidak bakal lebih dari Rp 80.000,00. Namanya juga lelang. Malah ada yang bilang, ada yang harganya lebih dari Rp 300.000,00. Woowww...!!!

Okelah, daripada nggak betah berdesak-desakan dengan para pembeli yang lain, mending segera keluar dari area. Menuju ke tempat parkir di mana Pak Dukuh sudah stand by di sana, di dekat salah satu penjual durian yang juga dirubung oleh beberapa pembeli meskipun tidak sebanyak di lapangan. Durian yang dijual lumayan besar. Well, ada baiknya memilah dan memilih durian. Tapi gimana caranya? Wong nggak pernah beli durian. Nggak ngerti mana yang sudah matang atau belum. Matangnya di pohon atau ditebas dulu kemudian baru matang beberapa hari kemudian. Ada yang busuk atau tidak. Aarghh!!! Nggak ngerti gimana baunya yang pas matengnya. Mending menyuruh Bu Dukuh untuk memilihkan saja. Ide bagus. Tinggal pilih beberapa yang kelihatan menarik agar dibaui, dan tunggu hasilnya apakah layak beli atau tidak. Selesai.

Setelah ikut-ikutan membaui durian, pengennya sih bisa tau bedanya. Namun apa daya, hidungnya masih belum terbiasa dan belum terlalu peka dengan bau durian yang hanya bisa dinikmati setahun sekali pada musimnya itu. Pada akhirnya, empat buah durian kami dapatkan dengan usaha membaui yang sangat abstrak. Dan, sampai sekarang saya masih belum bisa membedakan bau durian yang sudah benar-benar masak itu seperti apa. Empat buah durian seharga Rp 160.000,00. Hey, Kenapa yang bayar malah jadi Bu Dukuhnya sih? Hihihi...

Saatnya kembali ke kediaman Pak Dukuh dan keluarga. Wah, perjalanan yang membutuhkan waktu sangat lama. MACET. Jalan sempit tapi yang melewati sangat banyak. Mobilnya sih, yang bikin susah jalan. Seharusnya mobil tidak diperbolehkan memasuki gang itu. Biarkan parkir di pinggir jalan saja. Kan, jadi susah keluarnya... Belum lagi di jalan raya depan lapangan Banjaroya yang nggak kalah macetnya. Perjalanan yang awalnya tidak membutuhkan waktu sepuluh menit, harus ditempuh dengan waktu empat kali lipatnya. Hadhuhh!!!

Selepas makan siang, saanta membuka durian. Ah, kenapa makannya setelah makan? Kan kalau sudah kenyang nanti nggak bisa makan durian banyak-banyak? Dan, akhirnya dua buah durian besar—yang merupakan simpanan Bu Dukuh—dihabiskan oleh beberapa orang, berapa ya? Kok lupa? Saya yang menghabiskan paling banyak. Kecil-kecil tapi makannya banyak. Itulah saya. Hehehe...
Rencananya, sebelum berpamitan, kami mau memberikan uang ganti atas pembelian durian. Namun, karena Bu Dukuhnya menolak untuk menerima—sebelumnya didahului dengan adegan melarikan diri setelah memberikan uangnya, namun gagal karena kami membawa motor—maka kami tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Hmmm... Kalau Bu Dukuh nggak mau menerima uangnya, kami bermaksud tidak membawa pulang durian yang dibeli sebelumnya. Lagi-lagi Bu Dukuh tetap memaksa agar kami membawa pulang duriannya. Kata beliau, buat apa durian banyak-banyak, lagian tiap hari juga sudah makan durian. Jadilah kami membawa pulang durian yang kami beli—eh yang dibeli Bu Dukuh. Alhamdulillaah. Terima kasih Pak Dukuh dan Bu Dukuh. Semoga kebaikan Anda dibalas dengan yang lebih baik. Aamiin...




























No comments:

Post a Comment