Bagi
pecinta durian, Festival Durian sangat dinantikan. Pada tahun ini, festival
yang diadakan di lapangan Desa Banjaroya, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon
Progo, Yogyakarta pada tanggal 2 Maret 2014 kemarin. Acara ini digelar mulai
pukul 09.00 sampai dengan pukul 13.00 WIB. Meskipun pada kenyataanya sebelum
pukul 09.00 sudah banyak pengunjung yang memenuhi tempat di mana festival akan
dilangsungkan. Pun, selepas pukul 14.00 masih ada beberapa penjual dan
pengunjung yang masih melakukan transaksi tawar-menawar durian.
Saya, awalnya tidak tahu kalau ada festival
durian di sana. Semua berawal ketika saya mengajak jalan seorang teman SMA,
bukan mengajak sih, lebih tepatnya menagih janji karena sudah beberapa kali gagal
pergi karena satu dan lain hal. Kalau tidak salah, pada hari Kamis malam, saya
mengirimkan pesan singkat kepada teman saya tersebut. Dibalasnya bahwa hari
Minggu ada festival durian meskipun bukan tujuan kami selama ini. Tapi tak
apalah, pergi sesuai rencana bisa kali lain. Kebetulan pas moment-nya ada
festival durian yang hanya diadakan setahun sekali di sana. Kapan lagi kalau
tidak sekarang? Saya juga belum pernah. Kebetulan tempat festivalnya berdekatan
dengan tempat KKN teman saya tersebut, yang juga berada di Desa Banjaroya,
namun berbeda dusun.
Sebenarnya saya punya rencana bareng dua
teman, namun satu teman sedang sakit, maka mau tak mau Cuma tinggal berdua,
saya dan satu teman saya. Baiklah, bisa mengajak teman yang lain. Tapi, ya
seperti biasa, banyak yang nggak mau. Awalnya dapat dua orang yang mau, tapi
pada akhirnya semua membatalkan. Ntahlah, mengajak orang itu tidak semudah
membalikkan telapak tangan. Dan, mulai sekarang, saya nggak sudah bosan
mengajak-ngajak. Lebih memilih bepergian sendirian atau kalau toh harus dengan
teman, nggak mau mengajak banyak orang. Selain ngirit, juga tidak perlu
rembugan yang menguras tenaga. Ah, teman saya ternyata sudah membawa “pasukan”
yang merupakan teman KKN-nya dulu. Baguslah, nggak Cuma berdua.
Karena saya nggak tahu tempatnya, maka kami
janjian dulu di dekat SMA. Janjian jam 08.00, eh datangnya jam 08.30. Aish,
kebiasaan orang Indonesia: ngaret. Hampir kering saya menunggu. Sabar
sabaaarrr.
Tempat pelaksanaan festival, ya kalau ditempuh
menggunakan sepeda motor tidak memakan lebih dari setengah jam dengan kecepatan
normal. Mendekati lapangan Banjaroya, banyak warung tidak permanen—mungkin
hanya digunakan untuk berjualan kalau musim durian—sudah berderet. Di samping
kiri kanan jalan, beberapa penjual mulai merapikan dagangannya. Malah sudah ada
yang dikunjungi pembeli atau bahkan pelanggan tetapnya.
Dalam radius ratusan meter, jalan raya di
depan lapangan Banjaroya sudah dipadati kendaraan, baik yang mau berkunjung ke
festival ataupun hanya sekedar lewat. Tapi satu yang pasti, macet. Jam setengah
sepuluh masih kurang. Mayoritas mobil diparkir di pinggir jalan karena tidak
adanya tempat luas yang digunakan sebagai tempat parkir. Kendaraan didominasi
oleh plat AB. Yaiyalah, secara festivalnya berada di Propinsi Yogyakarta, hanya
beberapa yang berasal dari luar kota.
Sebelum ke festival durian, kami mengunjungi
tempat KKN teman saya. Silaturahim ke keluarga yang “menampung” anak-anak
selama KKN, sering dipanggil Pak Dukuh dan Bu Dukuh, yang merupakan kepala
perdukuhan—saya nggak tahu nama dukuhnya apa. Dukuh merupakan dusun kalau di
tempat saya. Rumahnya terletak di paling ujung perdukuhan. Di sekitarnya hanya
ada kebun-kebun: kebun rambutan, kebun durian, kebun palawija, dan bahkan ada
sawah juga. Benar-benar sepi. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana keadaannya
kalau malam hari. Krik-krik banget pasti. Nggak ada tetangga yang rumahnya
berdekatan dengan rumah Pak Dukuh.
Setelah bertemu dengan Pak Dukuh dan istrinya,
kami memutuskan untuk segera menuju ke festival durian. Harus cepat-cepat ke
sana sebelum 2.500 buah durian—katanya—yang telah disiapkan pada festival tahun
ini, ludes diborong oleh pecinta durian. Kan nggak lucu, sudah jauh-jauh ke
Banjaroya tetapi nggak dapet sebiji pun durian.
Jarak dari rumah Pak Dukuh dengan tempat
festival durian tidak terlalu jauh, tidak sampai sepuluh menit sebenarnya kalau
tidak macet. Wuihh, sudah banyak orang. Awalnya saya mengira kalau festival
durian itu berada di tempat yang luas, di mana setia pedagang yang ditunjuk
untuk mengisi stand-stand yang ada, berjejer rapi di lapangan yang telah
disiapkan. Bukan berjejer rapi di pinggir jalan di sekitar lapangan Banjaroya
sembari menunggu pembeli datang yang belum jelas mau membeli atau hanya sekedar
mencium baunya. Memang ada yang berjualan di lapangannya, akan tetapi karena
lapangannya kecil, jadi hanya muat beberapa pedagang. Itu pun tempatnya tidak
memadai sehingga pembeli yang menyerbu durian yang ditawarkan bagaikan ‘thowaf
di Masjidil Haram’. Penuh dan sesak. Mau maju susah, mundur apalagi. Saya yang
rencananya mau membeli durian, jadi agak males. Melihat satu pedagang dengan
puluhan durian yang digelar di lapak dan diserbu oleh puluhan pembeli yang
saling ribut dalam menawar dan mencicipi, membuat saya ingin segera beranjak
dari tempat itu. Pengap. Panas. Percuma juga datang tapi kalau mau lihat durian
yang dijual saja harus ‘nylempit-nylempit’ di ketiak orang.
Hmmm... Saya masih berpikir, ini festival
durian atau bukan sih? Kok malah ada yang berjualan rambutan, petai, keripik, dan
ada yang jual obat-obatan herbal—katanya.
Di lapangan Banjaroya, terdapat Induk Pohon
Durian Menoreh. Ada SK Mentan-nya juga lho. Pengen mencoba mencicipi durian
menoreh yang katanya mahal dan enak. Hmmm... Memang pohonnya gedhe banget.
Banyak durian yang bergelantungan di pohonnya, belum mateng. Masih diikat biar
kalau tetiba jatuh nggak korban. Jadi inget, cerita Pak Dukuh tentang dua
tetangganya yang tertimpa durian pas di bagian kepala. Satu orang meninggal
karena tertimpa pas di bagian tengkuknya. Ya Allaah. Ngeri banget.
Acara festival durian diramaikan dengan
performa band lokal yang—menurut saya—sangat aneh sekali. Maksa banget
liriknya. Selain itu, ada juga kontes durian, di mana durian yang dianggap enak
dan layak untuk dijual mahal akan dicicipi oleh juri yang berasal dari Dinas
PU, seorang warga Korea dan satu lagi saya lupa dari mana. Ya, kalau
dipikir-pikir, jurinya nggak berpengalaman di bidang per-durian-an.
Seharusnyanya ya dari warga yang setiap harinya bergumul dengan durian dong. Penilaian
didasarkan pada rasa pahit-pahitnya, tebalnya buah dan terakhir adalah apakah
buahnya bertumpuk atau tidak. Itu merupakan analisis Pak Dukuh di obrolan
setlah makan siang di rumahnya. Saya baru tahu. Setelah ditentukan hasilnya,
maka durian yang sejenis akan dilelang. Rekornya, satu buah durian terjual
seharga Rp 225.000,00 padahal kalau diikir-pikir, harga normalnya mungkin tidak
bakal lebih dari Rp 80.000,00. Namanya juga lelang. Malah ada yang bilang, ada
yang harganya lebih dari Rp 300.000,00. Woowww...!!!
Okelah, daripada nggak betah berdesak-desakan
dengan para pembeli yang lain, mending segera keluar dari area. Menuju ke
tempat parkir di mana Pak Dukuh sudah stand by di sana, di dekat salah satu
penjual durian yang juga dirubung oleh beberapa pembeli meskipun tidak sebanyak
di lapangan. Durian yang dijual lumayan besar. Well, ada baiknya memilah dan
memilih durian. Tapi gimana caranya? Wong nggak pernah beli durian. Nggak
ngerti mana yang sudah matang atau belum. Matangnya di pohon atau ditebas dulu
kemudian baru matang beberapa hari kemudian. Ada yang busuk atau tidak.
Aarghh!!! Nggak ngerti gimana baunya yang pas matengnya. Mending menyuruh Bu
Dukuh untuk memilihkan saja. Ide bagus. Tinggal pilih beberapa yang kelihatan
menarik agar dibaui, dan tunggu hasilnya apakah layak beli atau tidak. Selesai.
Setelah ikut-ikutan membaui durian, pengennya
sih bisa tau bedanya. Namun apa daya, hidungnya masih belum terbiasa dan belum terlalu
peka dengan bau durian yang hanya bisa dinikmati setahun sekali pada musimnya
itu. Pada akhirnya, empat buah durian kami dapatkan dengan usaha membaui yang
sangat abstrak. Dan, sampai sekarang saya masih belum bisa membedakan bau
durian yang sudah benar-benar masak itu seperti apa. Empat buah durian seharga
Rp 160.000,00. Hey, Kenapa yang bayar malah jadi Bu Dukuhnya sih? Hihihi...
Saatnya kembali ke kediaman Pak Dukuh dan
keluarga. Wah, perjalanan yang membutuhkan waktu sangat lama. MACET. Jalan
sempit tapi yang melewati sangat banyak. Mobilnya sih, yang bikin susah jalan.
Seharusnya mobil tidak diperbolehkan memasuki gang itu. Biarkan parkir di
pinggir jalan saja. Kan, jadi susah keluarnya... Belum lagi di jalan raya depan
lapangan Banjaroya yang nggak kalah macetnya. Perjalanan yang awalnya tidak
membutuhkan waktu sepuluh menit, harus ditempuh dengan waktu empat kali
lipatnya. Hadhuhh!!!
Selepas makan siang, saanta membuka durian.
Ah, kenapa makannya setelah makan? Kan kalau sudah kenyang nanti nggak bisa
makan durian banyak-banyak? Dan, akhirnya dua buah durian besar—yang merupakan
simpanan Bu Dukuh—dihabiskan oleh beberapa orang, berapa ya? Kok lupa? Saya
yang menghabiskan paling banyak. Kecil-kecil tapi makannya banyak. Itulah saya.
Hehehe...
Rencananya, sebelum berpamitan, kami mau
memberikan uang ganti atas pembelian durian. Namun, karena Bu Dukuhnya menolak
untuk menerima—sebelumnya didahului dengan adegan melarikan diri setelah
memberikan uangnya, namun gagal karena kami membawa motor—maka kami tidak perlu
mengeluarkan uang sepeser pun. Hmmm... Kalau Bu Dukuh nggak mau menerima
uangnya, kami bermaksud tidak membawa pulang durian yang dibeli sebelumnya.
Lagi-lagi Bu Dukuh tetap memaksa agar kami membawa pulang duriannya. Kata
beliau, buat apa durian banyak-banyak, lagian tiap hari juga sudah makan
durian. Jadilah kami membawa pulang durian yang kami beli—eh yang dibeli Bu
Dukuh. Alhamdulillaah. Terima kasih Pak Dukuh dan Bu Dukuh. Semoga kebaikan
Anda dibalas dengan yang lebih baik. Aamiin...
No comments:
Post a Comment