Dulu, aku pernah merasa bahwa hidup itu tidak
adil. Terlahir dari sebuah keluarga yang serba sederhana, hmm, lebih tepatnya
berhemat. Ah, sepertinya berhemat juga kurang pas. Apa adanya mungkin lebih
menggambarkan keadaan keluargaku. Babe harus membanting tulang dengan cara
menyewakan payung di taman wisata. Itu pun tak setiap hari. Hanya akhir pekan,
tanggal merah dan liburan sekolah.
Selain itu, untuk mengisi waktu yang masih luang, babe mengurus sawah. Ya,
walaupun tidak terlalu luas, tapi milik sendiri. Bukan itu saja, menjadi buruh
bangunan tetangga juga tak luput dari kegiatan yang digelutinya, meski
terkadang, keringat yang dikeluarkan tak sebanding dengan uang yang didapat.
Dulu, aku pernah merasa bahwa hidup itu tidak
adil. Aku tak pernah berani bermimpi menjadi orang besar. Boro-boro menjadi
orang besar, bahkan untuk sekadar sekolah sampai kuliah pun tak sempat
terpikir. Terlalu takut untuk berangan-angan tinggi. Tak mau mempermalukan diri
sendiri dengan bermimpi yang “aneh-aneh”. Ada sedikit rasa iri kenapa saudara
sepupu bisa sekolah tinggi dan mempunyai penghidupan yang bisa dibilang
“mentereng”. Sedangkan aku, mungkin esok hanya akan menjadi penerus babe di
sawah.
Dulu, aku pernah merasa bahwa hidup itu tidak
adil. Ketika teman-teman sekolah bisa jajan seenaknya di kantin saat istirahat
pagi dan siang, aku Cuma bisa jajan di salah satunya saja, kalau jajan di pagi
hari, maka siang hari harus “puasa”, pun sebaliknya. Itu pun hanya jajan snack.
Bukan makanan berat, apalagi yang mahal-mahal. Ketika teman-teman mengendarai
sepeda motor atau diantar jemput, aku Cuma bisa naik sepeda onthel kemudian
naik kendaraan umum.
Dulu, aku pernah merasa bahwa hidup itu tidak
adil. Kenapa aku harus menjalani hidup seperti ini? kenapa aku harus
susah-susah sedangkan yang lain justru sebaliknya? Kenapa Dia tidak memberikan
sedikit waktu untukku agar bisa bersenang-senang? Kenapa?
Itu dulu, ketika aku “merasa” bahwa hidup
memang tak adil.
Semakin usia bertambah, aku mulai berpikir
tentang hidup ini. apa iya tidak adil? Di mana ketidakadilan itu?
Dulu, aku hanya melihat ke atas. Melihat orang
kaya, orang yang berpendidikan tinggi serta orang yang mempunyai pekerjaan yang
“wah”. Aku lupa untuk melihat ke bawah. Betapa banyak orang yang lebih susah,
lebih miskin dan lebih memprihatinkan jika dibandingkan dengan keadaanku. Aku
bahkan jauh lebih beruntung. Bisa makan setiap hari meski dengan menu yang
sederhana, bisa tidur dengan nyenyak meski tak di atas busa, dan bisa tinggal
di rumah yang belum bertembok dan berubin seluruhnya.
Aku sadar, Dia menciptakanku beserta keadaanku
yang seperti ini sesuai dengan kemampuanku. Tidak mungkin Dia memberikanku
kekayaan sehingga aku menjadi pribadi yang sombong. Juga membiarkanku dalam
kefakiran sehingga hanya bisa mengeluh dan mengeluh. Dia memberikan semua yang
kubutuhkan, bukan yang kuinginkan. Memberikan segalanya sesuai kehendak-Nya,
bukan kemauanku.
Aku sangat bersyukur dengan keadaanku ini.
Meski terbilang sederhana, tapi tak kekurangan. Meski terlihat sederhana, tapi
tetap enak dipandang. Meski terdengar sederhana, tapi aku menikmatinya. Dan
meski terasa sederhana, tapi aku sangat mensyukurinya.
No comments:
Post a Comment