Tuesday, December 24, 2013

Hidup Itu Adil Kok, Friends...





Dulu, aku pernah merasa bahwa hidup itu tidak adil. Terlahir dari sebuah keluarga yang serba sederhana, hmm, lebih tepatnya berhemat. Ah, sepertinya berhemat juga kurang pas. Apa adanya mungkin lebih menggambarkan keadaan keluargaku. Babe harus membanting tulang dengan cara menyewakan payung di taman wisata. Itu pun tak setiap hari. Hanya akhir pekan, tanggal merah  dan liburan sekolah. Selain itu, untuk mengisi waktu yang masih luang, babe mengurus sawah. Ya, walaupun tidak terlalu luas, tapi milik sendiri. Bukan itu saja, menjadi buruh bangunan tetangga juga tak luput dari kegiatan yang digelutinya, meski terkadang, keringat yang dikeluarkan tak sebanding dengan uang yang didapat.

Dulu, aku pernah merasa bahwa hidup itu tidak adil. Aku tak pernah berani bermimpi menjadi orang besar. Boro-boro menjadi orang besar, bahkan untuk sekadar sekolah sampai kuliah pun tak sempat terpikir. Terlalu takut untuk berangan-angan tinggi. Tak mau mempermalukan diri sendiri dengan bermimpi yang “aneh-aneh”. Ada sedikit rasa iri kenapa saudara sepupu bisa sekolah tinggi dan mempunyai penghidupan yang bisa dibilang “mentereng”. Sedangkan aku, mungkin esok hanya akan menjadi penerus babe di sawah.

Dulu, aku pernah merasa bahwa hidup itu tidak adil. Ketika teman-teman sekolah bisa jajan seenaknya di kantin saat istirahat pagi dan siang, aku Cuma bisa jajan di salah satunya saja, kalau jajan di pagi hari, maka siang hari harus “puasa”, pun sebaliknya. Itu pun hanya jajan snack. Bukan makanan berat, apalagi yang mahal-mahal. Ketika teman-teman mengendarai sepeda motor atau diantar jemput, aku Cuma bisa naik sepeda onthel kemudian naik kendaraan umum.

Dulu, aku pernah merasa bahwa hidup itu tidak adil. Kenapa aku harus menjalani hidup seperti ini? kenapa aku harus susah-susah sedangkan yang lain justru sebaliknya? Kenapa Dia tidak memberikan sedikit waktu untukku agar bisa bersenang-senang? Kenapa?

Itu dulu, ketika aku “merasa” bahwa hidup memang tak adil.

Semakin usia bertambah, aku mulai berpikir tentang hidup ini. apa iya tidak adil? Di mana ketidakadilan itu?

Dulu, aku hanya melihat ke atas. Melihat orang kaya, orang yang berpendidikan tinggi serta orang yang mempunyai pekerjaan yang “wah”. Aku lupa untuk melihat ke bawah. Betapa banyak orang yang lebih susah, lebih miskin dan lebih memprihatinkan jika dibandingkan dengan keadaanku. Aku bahkan jauh lebih beruntung. Bisa makan setiap hari meski dengan menu yang sederhana, bisa tidur dengan nyenyak meski tak di atas busa, dan bisa tinggal di rumah yang belum bertembok dan berubin seluruhnya.

Aku sadar, Dia menciptakanku beserta keadaanku yang seperti ini sesuai dengan kemampuanku. Tidak mungkin Dia memberikanku kekayaan sehingga aku menjadi pribadi yang sombong. Juga membiarkanku dalam kefakiran sehingga hanya bisa mengeluh dan mengeluh. Dia memberikan semua yang kubutuhkan, bukan yang kuinginkan. Memberikan segalanya sesuai kehendak-Nya, bukan kemauanku.

Aku sangat bersyukur dengan keadaanku ini. Meski terbilang sederhana, tapi tak kekurangan. Meski terlihat sederhana, tapi tetap enak dipandang. Meski terdengar sederhana, tapi aku menikmatinya. Dan meski terasa sederhana, tapi aku sangat mensyukurinya.

No comments:

Post a Comment