Monday, January 20, 2014

Mie Ayam Wonogiri


Siapa yang nggak doyan mie ayam? Satu kalimat buat yang nggak doyan mie ayam : “malang nian nasib kau!”. Itu baru bahasa halusnya, kalau bahasa kasarnya : “g*bl*k kau!!!”. Hehehe... Lha lagian, makanan enak-enak masak nggak doyan? Terus doyannya apa dong? Singkong? Ubi? Ketela? Atau jangan-jangan jengkol dan pete? Oh,

Oke, lanjut ke mie ayam. Do you know that chicken noodle is my fav food? Entah sejak kapan gue suka makan mie ayam. Apalagi yang pedesnya poolll, bisa sampai keringetan kalau makan. Kenyangnya bukan karena makan, tapi karena minum yang terlalu banyak. Tapi, itulah sensasi makan mie ayam. Nggak pedes? Nggak mantap. Eh, tapi itu kalau lagi makan sendirian atau di rumah. Kalau lagi rame-rame ya jaim doongg...

Waktu SMA, entah kapan kali pertama gue mencoba mie ayam yang letaknya deket dengan sekolah. Cuma di sampingnya. Siapa yang ngajak juga gue sudah lupa. Tapi, sampai sekarang, gue masih ketagihan sama mie ayam di sana. Belum pernah ada mie ayam, pun bahkan sampai berkelana di Jakarta, gue belum menemukan yang rasanya hampir sama. Sebelas dua belas mungkin ada, sebelas dua belas ribu maksudnya.
Entah apa bumbu rahasia yang dicampurkan ke dalamnya. Mungkin biji ganja kali ya? Kata teman gue, kalau masak daging kerbau yang keras kemudian dikasih biji ganja, maka akan jadi empuk. Nggak ada hubungannya palinggg..

Hmm, mungkin perpaduan antara bawang merah, bawang putih, kemiri, tomat, jahe, kunyit, temulawak, brotowali, kencur, serai, (ngawur kabeh), pokoke perpaduan bumbu-bumbu rahasia yang pas dalam penakarannya, itulah salah satu kunci sukses pembuatan mie ayam dengan rasa yang menggugah selera.
Oiya, kembali ke mie ayam yang enak itu. Hmm, membayangkan saja sudah ngiler, apalagi kalau di hadapan gue sekarang ada tuh mie ayam. Langsung ludes semangkoknya.

Penasaran dengan mie ayam yang satu itu? Datang aja ke Muntilan, Magelang. Tepatnya di pinggir jalan. Ya pinggir jalan, karena nggak tahu namanya. Pokoknya, dari arah Jogja ke arah Magelang, setelah melewati terminal Muntilan, jangan sampai tertidur. Sudah dekat. Setelah terminal Muntilan, palingkan kepala ke arah kanan jalan. Nanti ada tempat yang namanya Bambu Runcing. Ciri-cirinya ada bangunan menyerupai bambu runcing. Nah, kalau sudah ketemu, balik lagi, Cuma deket kok. Padahal itu jalan searah. Hehehe... Nah, sebelum Bambu Runcing, kan ada tikungan ke arah kanan. Warung mie ayamnya persis di tikungan tersebut.

Oke, kalau masih bingung, karena kebablasen. Dari terminal Muntilan, nanti ada pom bensin di sebelah kiri, kemudian ada SMK Abdi Negara dan SMA N 1 Muntilan, wah, sayang sekali SMA N 1 Muntilan nggak kelihatan dari jalan raya. Cuma keliatan kubah masjidnya yang gedhe banget. SMA gue. Nah, setl=telah itu kan ada jembatan, namanya jembatan Kali Bangkong. Dari jembatan itu, kira-kira Cuma 100 meteran sudah sampai warung Mie ayam yang enak itu. Di sebelah kanan ya, deket tikungan. Jangan lihat ke kiri, nanti beda lagi warungnya.

Masih belum percaya sama gue? Oke, silakan tanya ke temen-temen SMA gue, kalau kenal sih. Bahkan sampai sekarang, masih banyak di antara mereka yang, istilahnya “nglegakke”, hanya untuk sekadar makan di sana. Ya jelas wong rasanya “mak nyuusss”, kalau kata Pak Bondan. Gue juga sering ke sana, walaupun sudah lulus dan melanjutkanp pendidikan di kota besar. Kalau pas pulang kampung, ya, sesekali makan di sana, sambil nostalgia. Pembelinya juga nggak pernah sepi. Apalagi kalau jam makan siang, sampai antri. Padahal tempatnya sudah lumayan gedhe lho. Bukanya sekitar jam 10 pagi, kalau tutup ya nggak mesti, kalau habis maghrib biasanya mie ayamnya sudah habis, tinggal bakso.

Untuk harga tak usah khawatir. Murah meriah kok. Untuk satu porsi mie ayam Cuma enam ribu perak, bakso tujuh ribu perak, ada juga mie ayam bakso yang Cuma delapan ribu rupiah. Murah, kan?

Ayo-ayo, bagi yang penasaran, bisa kunjungi Kota Muntilan. Sambil membeli oleh-oleh patung dari batu. Hehehe...

Oiya, untuk nama warungnya adalah : “Mie Ayam Wonogiri”


Kalau gue dan temen-temen, suka nyebutnya “Mie Ayam Pak Pri”, karena yang ounya adalah Pak Pri. Awalnya, Pak Pri-lah yang melayani kalau ada pembeli, karena waktu itu warungnya masih kecil. Tapi sekarang sudah ada karyawannya. Selain itu juga, kami menyebutnya “Mie Ayam Solo”, karena dulu namanya itu, ada tulisan di depan warungnya. Tapi, apapun namanya, yang jelas tetap satu kesatuan!

No comments:

Post a Comment