Monday, January 20, 2014

Aku Rindu


Kangen. Itulah perasaan yang ku alami sekarang. Kangen seseorang? Bukan seseorang, tapi beberapa orang. Bukan hanya beberapa orang, tapi juga suasananya. Bukan hanya suasananya, tapi tempatnya. Bukan hanya tempatnya, tapi juga kegiatannya.

Mentoring. Ah, itu dia yang kukangeni. Sebuah kegiatan yang kuikuti sejak kelas satu SMA. Sebuah perkumpulan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sebuah hal baik yang tak ada seorang pun yang mengajakku untuk bergabung. Kalau bukan karena unsur ketidaksengajaan mungkin sekarang aku tak merindukannya.

Awalnya, waktu itu, hari Jumat, lupa tanggal berapa, yang jelas sudah pulang sekolah. Setelah Jumatan, ada acara kajian tiap pekan di hari Jumat. Belum pernah sekali pun aku ikut, entah sudah minggu keberapa kegiatan itu dilaksanakan. Pada waktu itu, karena penasaran, bolehlah sesekali ikut.

Sembari menunggu waktu Sholat Jumat, bingung mau ngapain. Jajan tak mungkin, uang tak mencukupi kalau jajan terus. Mau berkumpul dengan teman yang lain, sudah banyak yang pulang. Masih kelas satu juga, belum banyak kenalan. Maka pada akhirnya, kuputuskan untuk masuk ke mushola sekolah yang nggak terlalu besar, kalau nggak boleh dibilang terlalu kecil. Rupanya di dalam mushola ada perkumpulan, yang beberapa minggu kemudian baru kuketahui kalau namanya liqo’ atau mentoring.

Awalnya masih bingung, nggak ada teman yang kukenal, kemudian ada seorang lagi yang paling tua, bukan seumuran anak SMA. Mereka ngapain, tau-tau sudah bahas siapa yang jadi bendahara. Ah, entahlah, aku sudah lupa apa yang dibicarakan waktu itu. Pokoknya, setelah hari itu, seminggu kemudian, kami berkumpul lagi.

Kami berkumpul dan ngobrol-ngobrol setelah pulang sekolah, sampai acara kajian mingguan selepas sholat Jumat dimulai. Biasanya, bukan biasanya, tapi selalu, sambil menunggu semua berkumpul, kita ngobrol-ngobrol tentang apa saja. Nah, ketika dirasa sudah cukup banyak yang datang, nggak sampai sepuluh orang sih, baru acara dibuka. Kemudian tilawah, terkadang dilanjut ada sedikit kultum—hihihi, bukan kultum ya, soalnya nggak pake dalil naqli—dari kita, yang masih sekolah. Baru setelah itu, materi inti dari sang mentor, yang merupakan mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Jogjakarta, dulu juga merupakan siswa di SMA-ku. Ntah lulus tahun berapa, lupa. Ah, betapa aku merindukan sosoknya, sosok yang mengantarkanku, dan teman-teman sekelompok, untuk mengenal diinul Islam secara lebih mendalam. Sejak lulus lebih dari empat tahun yang lalu, aku sudah tak berhubungan dengan beliau lagi. Bukan sosoknya saja yang kurindu, teman-temannya juga. Meskipun terkadang bertemu dan saling mengirim sms atau sekedar ngobrol di dunia maya, tapi rasanya berbeda dengan waktu itu, ketika kami berkumpul di suatu tempat untuk sama-sama belajar. Setelah materi inti, ada sesi tanya jawab. Biasanya sih jarang ada pertanyaan. Terakhir, adalah curhat. Ada kabar baik atau kabar yang kurang baik apa selama seminggu. Boleh, mau ngomong apa saja.

Mentoring SMA berlanjut sampai kelas tiga, menjelang ujian akhir nasional. Tak terasa, sudah hampir tiga tahun, aku mengenal mereka semua. Teman-teman yang sangat baik, meskipun hanya segelintir orang. Karena aku tahu, memang jalan kebenaran hanya diikuti oleh sedikit orang. Aku bersyukur dipertemukan dengan orang-orang yang luar biasa. Aku tak akan melupakan kalian.

Memasuki dunia perkuliahan, awalnya aku ragu, apakah kuliah di Jakarta ada mentoring juga? Ketika daftar ulang, aku menemukan ada semacam Rohis kalau di SMA. Waktu itu aku belum tahu namanya apakah tetap Rohis atau nggak. Namun, itu belum bisa menyimpulkan apakah ada kegiatan liqo?

Baru setelah diadakan Ospek, kalau di kampusku namanya Dinamika (Studi Perdana Memasuki Kampus), ada mas mentor yang mendampingi kelompok, sepertinya beliau alim, pikirku, mengumpulkan kami, sekelompok yang muslim. Pertemuan pertama, di masjid kampus, yang datang hampir semuanya, Cuma satu dua yang belum bisa ikut. Namun, lama kelamaan, karena proses seleksi alam, tinggal enam tujuh orang yangmasih bertahan. Padahal awalnya sekitar 15 orang. Nah, benarkan, kalau jalan kebenaran itu hanya ditempuh oleh segelintir orang?

Mentoring di kampus nggak jauh berbeda dengan di SMA. Hanya suasananya yang berbeda. Waktunya juga lebih malam karena lebih sebagian besar jauh dari orang tua, jadi harus ngekost. Materinya lebih bervariasi dan lebih berat. Ditambah lagi, ada kelompok-kelompok lain yang juga mentoring. Jadi nggak sepi-sepi amat seperti waktu SMA yang Cuma satu kelompok. Pun sang mentor, masih mahasiswa juga, namun tingkatnya sudah di atas para mentee (sebutan untuk yang dimentori). Misalnya, mentee-nya tingkat satu, maka untuk mentornya minimal harus tingkat dua. Menteenya tingkat dua, maka mentornya minimal harus tingkat tiga. Kalau mentee-nya tingkat tiga, maka mentornya harus bukan dari D3 reguler, bisa D3 khusus atau D4, yang notabene sudah lebih tua.  Ntah kalau mentee-nya sudah D4 tingkat akhir, siapa mentornya. Mungkin sudah ustadz.

Selama tiga tahun kuliah, dan tiga tahun mentoring di bangku kuliah, sudah beberapa kali berganti mentor. Satu mentor saat awal-awal perkuliahan, satu lagi mentor selama tingkat satu, satu mentor yang mendampingi pas tingkat dua dan satu lagi yang mengisi mengisi mentoring tingkat tiga. Kenapa? Karena mentornya sudah lulus. 

Seperti sudah kukatakan sebelumnya, karena proses seleksi alam, tinggallah aku sendiri yang masih bertahan sampai akhir menjelang lulus. Bukan jadi privat lho, tapi digabung dengan kelompok lain yang nasibnya sama. Ya, bukan masalah sih, bisa nambah teman. Permasalahan mengumpulkan personil yang susah, kalau di dunia perkuliahan. Jarang bertemu, meski sekampus. Kalaupun di-sms, nggak akan menjamin dia bakal datang karena kita tak tahun apa yang sebenarnya dikerjakan. Berbeda dengan di SMA yang setiap hari bertemu, jadi gampang mengajak.

Sekarang, memasuki dunia kerja, suasana itu tak kujumpai. Kami, yang dulunya sering mentoring bersama, telah terpisah satu sama lain. Masing-masing dari kami harus bertemu dengan lebih sedikit orang dengan karakter yang berbeda, umur yang berbeda dan pendidikan yang berbeda. Hanya sedikit, sangat sedikit malah,  yang dulunya pernah mentoring. Tapi karena alasan klasik tadi, mereka berhenti. Tak ada teman yang sejalan. Ya, jalan satu-satunya adalah mencari “suapan” ilmu dari tempat lain.

Masih mending, di kantorku ada kajian selepas ashar di hari Kamis. Namun, kurasa itu masih jauh dari cukup. Waktunya sangat sebentar. Juga, kurang ngena, menurutku. Jauh berbeda dengan mentoring.

Ya Rabb, betapa aku merindukan masa-masa itu. Berkumpul di rumah-Mu, membaca fimman-Mu, mempelajari ajaran Rasul-Mu, mempraktikkan perintah-Mu dan menjauhi larangan-Mu serta menyeru kebenaran-Mu.

Ya Rabb, betapa aku sangat merindu suasana itu, di mana kita saling mengingatkan akan kebaikan satu sama lain.

Ya Rabb, pertemukan aku dengan orang-orang yang sedang merasakan hal yang sama denganku sehingga kami bisa memulainya kembali. 

No comments:

Post a Comment