Kangen. Itulah perasaan yang ku alami sekarang. Kangen
seseorang? Bukan seseorang, tapi beberapa orang. Bukan hanya beberapa orang,
tapi juga suasananya. Bukan hanya suasananya, tapi tempatnya. Bukan hanya
tempatnya, tapi juga kegiatannya.
Mentoring. Ah, itu dia yang kukangeni. Sebuah kegiatan yang
kuikuti sejak kelas satu SMA. Sebuah perkumpulan yang tak pernah terbayangkan
sebelumnya. Sebuah hal baik yang tak ada seorang pun yang mengajakku untuk
bergabung. Kalau bukan karena unsur ketidaksengajaan mungkin sekarang aku tak
merindukannya.
Awalnya, waktu itu, hari Jumat, lupa tanggal berapa, yang
jelas sudah pulang sekolah. Setelah Jumatan, ada acara kajian tiap pekan di
hari Jumat. Belum pernah sekali pun aku ikut, entah sudah minggu keberapa
kegiatan itu dilaksanakan. Pada waktu itu, karena penasaran, bolehlah sesekali
ikut.
Sembari menunggu
waktu Sholat Jumat, bingung mau ngapain. Jajan tak mungkin, uang tak mencukupi
kalau jajan terus. Mau berkumpul dengan teman yang lain, sudah banyak yang
pulang. Masih kelas satu juga, belum banyak kenalan. Maka pada akhirnya,
kuputuskan untuk masuk ke mushola sekolah yang nggak terlalu besar, kalau nggak
boleh dibilang terlalu kecil. Rupanya di dalam mushola ada perkumpulan, yang
beberapa minggu kemudian baru kuketahui kalau namanya liqo’ atau mentoring.
Awalnya masih bingung, nggak ada teman yang kukenal,
kemudian ada seorang lagi yang paling tua, bukan seumuran anak SMA. Mereka
ngapain, tau-tau sudah bahas siapa yang jadi bendahara. Ah, entahlah, aku sudah
lupa apa yang dibicarakan waktu itu. Pokoknya, setelah hari itu, seminggu
kemudian, kami berkumpul lagi.
Kami berkumpul dan ngobrol-ngobrol setelah pulang sekolah,
sampai acara kajian mingguan selepas sholat Jumat dimulai. Biasanya, bukan
biasanya, tapi selalu, sambil menunggu semua berkumpul, kita ngobrol-ngobrol
tentang apa saja. Nah, ketika dirasa sudah cukup banyak yang datang, nggak
sampai sepuluh orang sih, baru acara dibuka. Kemudian tilawah, terkadang
dilanjut ada sedikit kultum—hihihi, bukan kultum ya, soalnya nggak pake dalil
naqli—dari kita, yang masih sekolah. Baru setelah itu, materi inti dari sang
mentor, yang merupakan mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Jogjakarta,
dulu juga merupakan siswa di SMA-ku. Ntah lulus tahun berapa, lupa. Ah, betapa
aku merindukan sosoknya, sosok yang mengantarkanku, dan teman-teman sekelompok,
untuk mengenal diinul Islam secara lebih mendalam. Sejak lulus lebih dari empat
tahun yang lalu, aku sudah tak berhubungan dengan beliau lagi. Bukan sosoknya
saja yang kurindu, teman-temannya juga. Meskipun terkadang bertemu dan saling
mengirim sms atau sekedar ngobrol di dunia maya, tapi rasanya berbeda dengan
waktu itu, ketika kami berkumpul di suatu tempat untuk sama-sama belajar.
Setelah materi inti, ada sesi tanya jawab. Biasanya sih jarang ada pertanyaan.
Terakhir, adalah curhat. Ada kabar baik atau kabar yang kurang baik apa selama
seminggu. Boleh, mau ngomong apa saja.
Mentoring SMA berlanjut sampai kelas tiga, menjelang ujian
akhir nasional. Tak terasa, sudah hampir tiga tahun, aku mengenal mereka semua.
Teman-teman yang sangat baik, meskipun hanya segelintir orang. Karena aku tahu,
memang jalan kebenaran hanya diikuti oleh sedikit orang. Aku bersyukur
dipertemukan dengan orang-orang yang luar biasa. Aku tak akan melupakan kalian.
Memasuki dunia perkuliahan, awalnya aku ragu, apakah kuliah
di Jakarta ada mentoring juga? Ketika daftar ulang, aku menemukan ada semacam
Rohis kalau di SMA. Waktu itu aku belum tahu namanya apakah tetap Rohis atau
nggak. Namun, itu belum bisa menyimpulkan apakah ada kegiatan liqo?
Baru setelah diadakan Ospek, kalau di kampusku namanya
Dinamika (Studi Perdana Memasuki Kampus), ada mas mentor yang mendampingi
kelompok, sepertinya beliau alim, pikirku, mengumpulkan kami, sekelompok yang
muslim. Pertemuan pertama, di masjid kampus, yang datang hampir semuanya, Cuma
satu dua yang belum bisa ikut. Namun, lama kelamaan, karena proses seleksi
alam, tinggal enam tujuh orang yangmasih bertahan. Padahal awalnya sekitar 15
orang. Nah, benarkan, kalau jalan kebenaran itu hanya ditempuh oleh segelintir
orang?
Mentoring di kampus nggak jauh berbeda dengan di SMA. Hanya
suasananya yang berbeda. Waktunya juga lebih malam karena lebih sebagian besar
jauh dari orang tua, jadi harus ngekost. Materinya lebih bervariasi dan lebih
berat. Ditambah lagi, ada kelompok-kelompok lain yang juga mentoring. Jadi
nggak sepi-sepi amat seperti waktu SMA yang Cuma satu kelompok. Pun sang
mentor, masih mahasiswa juga, namun tingkatnya sudah di atas para mentee
(sebutan untuk yang dimentori). Misalnya, mentee-nya tingkat satu, maka untuk
mentornya minimal harus tingkat dua. Menteenya tingkat dua, maka mentornya
minimal harus tingkat tiga. Kalau mentee-nya tingkat tiga, maka mentornya harus
bukan dari D3 reguler, bisa D3 khusus atau D4, yang notabene sudah lebih
tua. Ntah kalau mentee-nya sudah D4
tingkat akhir, siapa mentornya. Mungkin sudah ustadz.
Selama tiga tahun kuliah, dan tiga tahun mentoring di bangku
kuliah, sudah beberapa kali berganti mentor. Satu mentor saat awal-awal perkuliahan,
satu lagi mentor selama tingkat satu, satu mentor yang mendampingi pas tingkat
dua dan satu lagi yang mengisi mengisi mentoring tingkat tiga. Kenapa? Karena
mentornya sudah lulus.
Seperti sudah kukatakan sebelumnya, karena proses seleksi
alam, tinggallah aku sendiri yang masih bertahan sampai akhir menjelang lulus.
Bukan jadi privat lho, tapi digabung dengan kelompok lain yang nasibnya sama.
Ya, bukan masalah sih, bisa nambah teman. Permasalahan mengumpulkan personil
yang susah, kalau di dunia perkuliahan. Jarang bertemu, meski sekampus.
Kalaupun di-sms, nggak akan menjamin dia bakal datang karena kita tak tahun apa
yang sebenarnya dikerjakan. Berbeda dengan di SMA yang setiap hari bertemu,
jadi gampang mengajak.
Sekarang, memasuki dunia kerja, suasana itu tak kujumpai.
Kami, yang dulunya sering mentoring bersama, telah terpisah satu sama lain.
Masing-masing dari kami harus bertemu dengan lebih sedikit orang dengan
karakter yang berbeda, umur yang berbeda dan pendidikan yang berbeda. Hanya
sedikit, sangat sedikit malah, yang
dulunya pernah mentoring. Tapi karena alasan klasik tadi, mereka berhenti. Tak
ada teman yang sejalan. Ya, jalan satu-satunya adalah mencari “suapan” ilmu
dari tempat lain.
Masih mending, di kantorku ada kajian selepas ashar di hari
Kamis. Namun, kurasa itu masih jauh dari cukup. Waktunya sangat sebentar. Juga,
kurang ngena, menurutku. Jauh berbeda dengan mentoring.
Ya Rabb, betapa aku merindukan masa-masa itu. Berkumpul di
rumah-Mu, membaca fimman-Mu, mempelajari ajaran Rasul-Mu, mempraktikkan
perintah-Mu dan menjauhi larangan-Mu serta menyeru kebenaran-Mu.
Ya Rabb, betapa aku sangat merindu suasana itu, di mana kita
saling mengingatkan akan kebaikan satu sama lain.
Ya Rabb, pertemukan aku dengan orang-orang yang sedang merasakan
hal yang sama denganku sehingga kami bisa memulainya kembali.
No comments:
Post a Comment