Monday, February 3, 2014

Mancing Mania



Hari ini, Sabtu, ada rencana main, mengingat akhir minggu ini adalah longweekend, Jumat Sabtu Minggu. Rencana awal mau pergi ke suatu tempat bersama temen karena cuaca cerah—jarang-jarang banget cerah, yang ada mendung seharian—tapi berhubung temen gue yang pengen gue ajak sedang sakit—awalnya sih gue kira dia sibuk, tapi malemnya dia kirmi sms dan memberitahu kalau dia sakit—ya mau gimana lagi, harus di-cancel untuk kesekian kali. Ntah kapan rencana itu akan terlaksana.

Oke, kalau begitu, mending cari alternatif planning yang lain aja. Sebenarnya, masih ada rencana B sih, kalau rencana A gagal. Tapi, ya, kalau toh terwujud, Cuma sebentar doang, masak main Cuma sebentar? Rencana B sih hanya mau ‘ngemie ayam’ bareng dua tiga orang temen lagi.. Setelah itu nggak tau mau ngapain.

Pagi, sekitar jam 08.30, ada temen yang kirim sms, menanyakan gue libur apa nggak. Ah, ya jelas aja, secara hari Sabtu. Langsung aja gue jawab “iya”. Gue udah berpikir pasti nih orang mau ngajak main. Sekalian aja ngumpul, nambah seorang lagi. Gue ajak dia ‘ngemie’. Mau sih, tapi gue disuruh nraktir. Hadheuh, males banget kalau itu. Mana sedang tanggal tua, pake banget lagi! Belum lagi dia ngajak karaokean. Bisa-bisa gue miskin mendadak nih! Aiiishhh!!!

Baiklah, gue “iya-in” permintaannya. Sesekali-lah gue nraktir dia, sering-seringnya dia yang nraktir gue. Hehehe... Ntah bakal terlaksana atau nggak nantinya.

Awalnya sih jam 11, gue dan temen-temen mau makan bareng. Hihihi... Makan bareng, bahasanya ki lhoo. Jangan dilihat dari makanannya dong, tapi dari harganya, eh salah, dari rasanya—rasa kebersamaannya. Itu lebih tepatnya. Jarang-jarang bisa ngumpul selepas SMA. Kesibukan yang mengikat satu sama lain, membuat waktu berkumpul menjadi sangat mahal harganya. Hmmm, sepertinya kalau jam 11 nggak bakal bisa deh. Ada seorang temen gue yang berangkat dari Jogja, bukan berangkat sih, tapi dia mau pulang ke Magelang, tapi posisinya sedang di Jogja. Dan, sebelum pulang, dia harus menemani temennya ke Malioboro. Dia nggak yakin bisa nyampe ‘di tempat makan’ jam 11 thet. Okelah, mungkin jam ngumpulnya diundur saja menjadi jam setengah satu. Pas jam makan siang.

Jam 12.30 lebih 20 menit, hahaha... gue capcus dari rumah. Ini gue yang bikin jadwal jam 12.30 malah telat. Maapin gue, temans. Ini semua gara-gara teman gue yang dari Jogja, masak jam 12 baru berangkat dari Jombor? Lha sampe TKP pasti jam 1 lebih.

Dan pada akhirnya gue yang terakhir datang ke TKP. Bukan gue aja dhenk, tapi sama seorang temen gue. Hahaha... Maapin gue lagi ya? Eh, pada awalnya gue sudah sampe TKP. Tapi karena yang lain belum pada dateng, makanya gue memutuskan untuk menjemput temen gue yang dari Jogja di terminal. Tapi yang mau dijemput malah sudah sampe TKP. Terus gue memutuskan untuk ke rumah temen gue yang jaraknya paling dekat dengan TKP. Sesampainya di sana, eh, dianya sudah berangkat. Adhuh! Apes. Mana panas banget lagi.

Semua sudah ngumpul. Mari pesen makanan. Namanya juga warung Mie ayam dan Bakso, pastinya ya Cuma ada dua menu itu, eh tambah satu lagi, mie ayam bakso. My fav food. Eits, tunggu dulu, tapi ada seorang temen yang udah makan. Woh, pelanggaran itu! Tidak bisa dimaafkan! Yang makan duluan harus yang bayarin semuanya.

Lama tak bersua membuat kami bernostalgila bersama. Mulai dari ngomongin kuliah, kerja, sampai ehm, pernikahan. Tidak lupa, pasti ngomongin guru-guru dan teman yang lain. Ah, itu sudah menjadi menu wajib di setiap pembicaraan dengan kawan lama. Semoga orang yang dibicarakan nggak panas kupingnya. Apalagi sampe gerak-gerak sendiri. Jangan sampai!

Ada kejadian lucu dan memalukan yang menimpa gue. Ah, kenapa gue yang kena ketidakberuntungan di hari ini sih? Apa salah gue? Banyak yang pasti. Jadi gini, setelah semua selesai makan, kami masih ngobrol-ngobrol. Gue, yang pada dasarnya suka iseng, mau ngambil foto mangkok yang hanya tinggal kuah dan remah-remah, rencananya mau gue kirim ke temen gue yang lain. Belum juga gue dapat view yang pas, gue terjengkang. Kenapa oh kenapa? Ternyata, kursi plastik yang gue dudukin rusak. Kakinya sudah patah. Pantes dari awal, gue ngerasa kursinya ‘bergoyang-goyang’. Dan puncaknya, ketika gue memundurkan kursi, kaki kursinya nggak kuat menahan berat tubuh gue lagi—padahal badan gue aja kecil, gimana kalau yang gedhe? Pasti langsung terjengkang begitu diduduki pertama kali. Sontak, temen-temen gue ngakak di atas penderitaan gue. Tak ketinggalan, gue juga ikutan ngakak. Untung di TKP nggak banyak orang. Hanya ada beberapa anak SMA dan segelintir orang bapak-bapak tua dan ibu-ibu setengah baya. Dan gokilnya lagi, gue malah nggak langsung bangun. Menikmati sejenak keadaan gue yang seperti hampir terkapar di lantai. Masih dalam suasana ketawa-ketawa, gue mau bangun tapi gagal lagi. Ntah apa yang terjadi dengan diri gue saat itu. Tobat tobat! Sampai akhirnya gue dibantu oleh seorang temen. Ah, pulang aja. Nggak usah lama-lama di sana. Bikin gue tambah embarrased aja.

Oke, lanjut ke acara berikutnya yang masih sama absurd dengan kejadian gue terjatuh tadi. Mau karaokean, yang bisa Cuma dua orang. Nggak seru. Mau makan duren, belum musimnya, masih jarang yang jual. Ada sih yang murah, tapi tempatnya jauh. Yang doyan juga Cuma 3 dari 5 orang. Mau main ke SMA dulu, ketemu guru-guru yang gue yakin sebagian besar nggak ada yang kenal lagi sama kita-kita. Ya sudah, pilihan terakhir, ke rumah temen gue yang jaraknya paling dekat dengan tempat makan tadi. Ngobrol-ngobrol bisa jadi pilihan.

Sesampai di rumahnya, kami belum tau mau ngapain. Beli duren menjadi usul gue. Tapi ya itu tadi, tempatnya yang jauh kalau mau harga yang murah. Ganti yang lain. Mancing, usul tuan rumah. Hmmm, boleh juga. Sudah berapa tahun ya, gue nggak mancing? Lama banget.

Segera ke tempat pemancingan yang merupakan kolam kecil, di sekelilingnya ditanami tanaman padi. Tapi tak apa. Jangan dilihat dari ukuran kolam dan jumlah ikannya. Tapi, keseruan yang akan didapat nantinya. Pancing sudah ada dua, ember besar sudah disiapkan, tinggal umpan. Oh, ternyata masih ada sedikit cacing yang tersedia. Oke, lanjut memancing.

Gue, sepertinya Cuma mau ambil foto-foto keseruan temen-temen. Nggak mau pegang pancing. Maunya makan doang. Hehehe... Geli gue kalau megang cacing, bukan takut lho ya, apalagi yang masih “kruget-kruget” gitu. Ihh, waw. Tapi temen gue yang cewek berani banget memutilasi cacing. Membayangkan aja gue ogah, apalagi melakukan.

Berhubung Cuma ada dua pancing, sedang kami berempat. Jadilah yang berdua hanya menjadi penonton, gue sesekali mengambil pose para pemancing.  Dari dua orang tersebut, satu orang sedang “lucky-lucky”nya hari ini. Baru beberapa detik memasukkan umpannya ke dalam air, sudah ada ikan yang didapat. Entah mantra apa yang dibacanya, sehingga dia mendapat banyak ikan. Sedangkan seorang lagi, sudah lama memancing tapi tak ada ikan yang mau ‘nyangkut’ di kailnya, kecuali hanya ikan kecil yang besarnya tak lebih dari dua jari tangan. Ya, mau tak mau harus dilepas lagi dong. Biar gedhe dulu. Dan dagingnya banyak.

Lama lama, gue kepengen juga mancing. Niat awalnya sih bukan mau dapet ikannya, tapi Cuma pengen dipotret. Hehehe...Gue pinjem pancing yang dibawa temen gue, yang dari awal belum dapet ikan yang gedhe, sapa tau kalau gue yang mancing, ikan-ikan pada ketipu. Nggak ada umpanyya. Sama aja bohong. Orang ada umoannya aja susah, apalagi nggak ada. Mustahil mau dapat ikannya. Dan berhubung dari awal gue berniat nggak mau nyentuh yang namanya cacing—geli—makanya gue nyuruh temen buat masangin umpan di kail pancing yang gue bawa.

Hmmm... Emang sepertinya keberuntungan sedang nggak mau menyapa gue. Setelah beberapa menit memancing, tak ada seekor ikan pun yang mau nyangkut di kail. Kata temeng gue, harus diludahin biar ikannya mau. Aneh. Ntar ikannya malah mati semua kalau gue ludahin.

Yes, strike! Dapet! Namun, setelah gue angkat, oh Rabb, ternyata ikannya kecil. Sontak lah, semua pada ketawa. Cuma sebesar dua jari tangan. Oke, gue nggak boleh nyerah. Gue lempar kailnya ke kolam. Berharap mendapat ikan yang lebih besar. Bismillah.

Dan, lagi-lagi, hanya ikan-ikan kecil yang tertipu dan memekan umpan gue. Dengan berat hati, gue lepas kembali tuh ikan. Umpan di kail gue ilang. Aih, masak gue harus ‘menganiaya’ cacing? Ngga tega. Maafkan gue, cing. Gue terpaksa membunuh lu yang nggak berdosa sebagai umpan. Dengan berat hati dan menghilangkan rasa geli-geli, gue akhirnya ‘berani’ memotong-motong tubuh cacing—meskipun menggunakan pisau—dengan susah payah. Karena susah, makanya gue tarik sekuat tenaga agar tubuh cacing terpotong sempurna. Hiii, ternyata nggak mati. Barulah ketika potongan cacing dipasang di kail, mampuslah dia.

Semoga kali ini dapat yang gedhe. Masak dari tadi Cuma dapet yang kecil, mentang-mentang badan gue juga kecil. No. Setelah penantian panjang dan melelahkan, sampai harus berganti pancing dengan temen gue yang dari awal memancing selalu dapat yang agak gedhe, akhirnya, akirnya gue mendapat yang gedhe. Alhamdulillaah. Tidak sia-sia gue melawan rasa geli, memegang-megang cacing, memutilasi dan membunuhnya dengan sadis.

Mendapatkan ikan yang agak besar, membuat gue makin semangat memancing. Mungkin, keberuntungan gue Cuma sekali aja. Terbukti, gue belom mendapatkan yang gedhe lagi. Cuma anak-anak ikan. Ya kalau ikan teri sih emang kecil-kecil. Lha ini ikan mujahir dan nila. Kalau kecil ya nggak mungkin dimasak. Hmmm, sepertinya gue nggak boleh ngeluh, mengingat tujuan awal gue memancing kan bukan mau mendapatkan ikan, melainkan mau narsis. Hahaha....

Strike. Gue dapet lagi. Lumayan gedhe. Saking senangnya, sambil ketawa-ketawa, temen gue yang mendapat bagian melepas ikan dari kailnya malah membiarkan ikan teresbut loncat dan alhasil si ikan yang gue dapat masuk ke ‘kalen’—semacam sungai tapi kecil banget, kaya selokan tapi airnya jernih—yang berada di samping kolam. Langsung gue masuk ke ‘kalen’ tersebut untuk mecari-cari si ikan gue. Mana nih? Bukannya ngomelin temen gue, justru gue malah mencari sambil ketawa-tawa. Nggak keliatan ikannya ngumpet di mana. Si ikan pun berhasil melarikan diri. Eits, tapi tunggu dulu. Ada yang ngeliat si ikan. Langsung temen gue mangambil jaring—yang awalnya dipersiapkan untuk membantu menangkap ikan lele kalau ada yang berhasil memancingnya—dan menyusuri ‘kalen’ sekitar tujuh meteran. Sementara itu, gue malanjutkan memancing. Berharap dapet pengganti yang lebih besar.

Gimana kabar temen gue yang mencari-cari ikan yang gue dapet tadi? Apakah dia mendapatkan kembali tuh ikan? Gue sibuk memancing. Nggak tau gimana dia berjuang menangkap kembali si ikan. Dan, tiba-tiba, dia bersorak kalau dia mendapatkan ikan itu lagi. Wah, senangnya!

Sudah cukup banyak ikan yang didapat. Meskipun Cuma sebesar telapak tangan, tapi ya kalau dimakan berempat, sudah cukup. Lagian, sudah sore dan hujan juga sudah mulai turun. Mending ikannya keburu dimasak lalu disantap.

Setelah diskusi yang sengit, mau diapakan ikan-ikan itu, mau dibakar atau digoreng, akhirnya diputuskanlah bahwa si ikan-iakn itu digoreng saja, ditambah sambal kecap. Kali lain saja dibakarnya, toh nggak punya arang dan pasti membuuthkan waktu yang lama.

Makan lagi. Makan lagi. Jam 13.30 makan mie ayam, jam 16.30 makan nasi dan ikan sambel kecap. Yummy.











































No comments:

Post a Comment