Sebagai salah satu kota yang dikelilingi oleh
beberapa gunung: mulai dari Gunung Merapi dan Merbabu di sebelah utara dan
timur, Sindoro dan Sumbing di bagian barat, Telomoyo dan Andong di sebelah
barat dan utara serta Pegunungan Menoreh yang membentang di sepanjang arah
selatan; Kabupaten Magelang dan Kota Magelang dialiri oleh ratusan sungai baik
sungai besar, seperti Sungai Progo dan Sungai Elo, maupun sungai-sungai kecil
lainnya. Tak heran jika banyak para traveller
dalam ataupun luar negeri yang memanfaatkan waktu liburan di Magelang dengan
cara arung jeram atau rafting.
Ada beberapa paket rafting yang ditawarkan. Masing-masing agen penyedia saling
memberikan paket terhemat dan fasilitas yang berbeda dengan yang lain agar bisa
menggaet pelanggan. Maklum, persaingan sangat ketat. Kalau harga mahal, ya
siap-siap saja banyak yang kabur. Ada paket rafting di Kali Elo; dan Kali Progo
yang terdiri dari Progo Bawah, Tengah dan Atas, yang masing-masing mempunyai
tantangan tersendiri. Namun, semuanya memilili satu kesamaan, jeramnya alami
semua, nggak ada yang buatan, begitulah kata skipper yang pernah membawa saya dan teman-teman rafting di Kali Elo. Untuk Anda yang
belum pernah rafting, ataupun tidak
bisa berenang tapi ingin merasakan sensasi menyusuri sungai, jangan khawatir,
paket rafting di Kali Elo dan Kali
Progo Atas adalah solusinya.
Sebagai orang yang belum pernah menikmati rafting—kalau hanya menyusuri aliran
sungai sih sering—tentunya rasa penasaran itu ada. Melihat lalu lalang mobil
angkot yang membawa kapal di atasnya membuat saya ingin merasakan bagaimana
serunya rafting itu. Menaiki kapal
sambil mendengarkan gemericik air dan suara sayup-sayup pepohonan yang terkena
angin. Mungkin akan seperti berada di negara Venesia. Bedanya, kalau berada di
Venesia pemandangan yang dilihat adalah kota yang tertata rapi, sedangkan di
sini, Anda akan melihat hijaunya pepohonan yang masih asri dan natural.
Rencana rafting
dimulai ketika ada teman yang update
status di salah satu socmed, yang
intinya mengajak berkumpul. Kemudian nyeletuk
satu komen : “rafting”. Nah, beberapa pada setuju termasuk saya. Dan, berhubung
orangnya masih kuran makanya beberapa dari kami mengajak teman yang lain. Entah
sudah berapa yang saya ajak, kebanyakan nggak ikut karena alasan biaya. Saya tak
boleh kalah akal, berbagai rayuan saya keluarkan, tenaga saya kerahkan dan
pulsa saya habiskan. H-3 ternyata masih kurang beberapa orang. Minimal harus
dapat 12 orang. Mbuh piye carane.
Berkali-kali saya sangsi dengan rencana rafting.
Hampir putus asa. Padahal teman saya sudah menawarkan harga satu kapal, yang
awalnya Rp 750.000,00 menjadi Rp 600.000,00.
Petualangan rafting kali pertama saya timing-nya
mungkin kurang pas. Dengan rencana yang dibahas di salah satu socmed dengan waktu yang kurang dari
seminggu, ditambah lagi belum jelasnya personil-personil yang mau ikut dan hari
yang cocok untuk rafting. Sempat terjadi perdebatan kecil untuk menentukan
hari, antara Hari Sabtu atau Minggu. Akhirnya hari Minggu-lah (16 Februari
2014) yang ditetapkan sebagai hari bersejarah bagi saya.
Hari Jumat pagi, qodarulah, turun hujan abu karena meletusnya Gunung Kelud. Sempat
terpikir untuk membatalkan acara rafting
yang dalam menentukan hari dan dua belas personelnya sudah pusing tujuh
keliling, harus rayu sana rayu sini dan sedikit pemaksaan agar mau ikut
(sebenarnya tujuan utama dari pemaksaan tersebut adalah supaya mbayarnya pas cepek karena satu kapal dihitungnya Rp 600.000,00 untuk enam orang
penumpang, jadi kalau dua kapal berarti harus 12 orang). Alhamdulillah, setelah berdiskusi yang lumayan menguras pikiran,
menguras pulsa dan menguras emosi, kebanyakan tetap pada mau ikut. Kapan lagi
mau ngumpul sambil mendayung di atas kapal dan menikmati coklatnya air Kali
Elo? Toh, masih ada hari Sabtu. Siapa tahu Hari Sabtu cuaca lebih bersahabat.
Hari yang ditentukan pun tiba. Pukul 09.00
kurang semua harus siap. Saya yang menjadi salah satu penanggung jawab dalam
acara ini seharusnya datang pukul 08.00. Tetapi, berhubung pada pagi harinya
ada acara mendaki ke Punthuk Setumbu dan baru turun pada pukul 07.00 (semua
gegara salah seorang teman saya—yang dari dulu ingin melihat sunrise siluet Candi Borobudur dari atas
Punthuk Setumbu—yang betah banget memotret padahal sunrise-nya saja nggak kelihatan. Alhasil, saya-lah yang kena
semprot teman-teman yang lain yang sudah sampai lebih dulu di Kampoeng Ulu
Resto. Kampoeng Ulu Resto adalah sebuah tempat beralamat di Pabelan, Mungkid,
Magelang—kalau Anda dari Borobudur dan mau ke Jogja, maka Kampoeng Ulu Resto
berada di sebelah kiri, kira-kira 6 km dari Borobudur—yang merupakan awal mula
sebelum para raftinger diantar ke
sungai yang menjadi tujuan, bisa Kali Elo atau Kali Progo. Di sana juga sering
diadakan acara perkemahan bagi anak-anak sekolah di Kabupaten Magelang.
Setelah proses administrasi selesai, mendekati
pukul 09.00, berduabelas kami diantar naik angkot menuju Jalan Magelang-Jogja
Km 7, atau lebih tepatnya di Dusun Pare, Desa Blondo, Kecamatan Mungkid,
Magelang. Perjalanan dari Kampung Ulu Resto ke lokasi turun rafting membutuhkan waktu sekitar 20
menitan. Di sana kami di-briefing
tentang apa-apa yang berhubungan dengan rafting. Mulai dari pemakaian atribut
dengan lengkap dan benar, cara mendayung sampai pertolongan apabila ada teman
yang nyemplung di air. Tentunya
sebelum naik kapal, foto-foto tidak boleh ketinggalan. Akan tetapi, berdoa
tetap nggak boleh ketinggalan. Kudu dan wajib, mengingat dari berduabelas,
hanya dua orang yang sudah pernah rafting. Nekad adalah kuncinya! Bismillah.
Wah, rasanya dheg-dhegan antara
penasaran, senang nggak percaya dan
takut kalau tenggelam, ya meskipun
sudah memakai pelampung, rasa khawatir pasti ada. Untungnya dari kami sendiri
sudah ada dua kapal. Kalau cuma sekapal, nggak
bisa membayangkan bagaimana “krik-krik”nya sepanjang perjalanan yang akan
dilalui.
Yuhuu. Kapal berangkat. Seru, padahal belum apa-apa. Membayangkan bagaimana
kalau tetiba ada buaya lapar kemudian merobek-robek kapal yang kami tumpangi.
Kapalnya hancur dan dan kami terpisah satu sama lain, saling berteriak meminta
tolong padahal masing-masing akan menghadapi si raja sungai. Belum-belum
pikiran mengerikan sudah terlintas di kepala. *sebuah paragraf yang tak
penting*
Berduabelas, delapan cewek dan empat cowok
berarti pas nanti sekapal ada dua cowok dan empat cowok. Saya baru
menyadari—setelah kapal berangkat—bahwa pembagian kelompok kapal adalah SALAH
BESAR. Kapal pertama yang berwarna abu-abu terdiri dari saya sendiri, Ahmad
Ulin Niam, Nurul Fatimah, Eka Safriliani, Yuyun Naifular dan Linda Tunggal
Saputri. Sedangkan kapal kedua yang berwarna kuning-merah-hitam—seperti bendera
Jerman—terdiri dari Didik Kurniawan, Ahmad Andrias Ardiyanta, Siti Mahmudah,
Widya Puspita Destyara, Naely Rachmawati dan Rina Arifatul Khoridah. Semuanya
adalah teman SMA saya, kecuali Ulin dan Ardiyanta yang merupakan teman sekantor
magang. Kenapa saya sebut salah
besar? Karena penumpang kapal pertama semuanya termasuk ke dalam kategori orang
yang nggak bisa diam. Belum lagi ditambah si mas-mas pemandu—yang berinisial
Rofiq—yang juga banyak ngomong, serta
dengan candaannya yang menurut saya sangat jayus sekali. Baru memasuki jeram
pertama yang masih agak tenang saja sudah heboh. Berbeda dengan kapal kedua yang kalem-kalem,
meskipun sebenarnya ada juga yang nggak,
tapi karena yang lain pendiam, ya
jadinya nggak ada suara. Sungkan kali
ya, mau berkoar-koar? Si pemandunya
juga pendiam. Paket lengkap-lah,
kapal kedua nggak seheboh kapal pertama.
Sepanjang perjalanan rafting, banyak cerita dan ilmu yang dibagikan oleh sang pemandu.
Tak lupa, kami berenam dikasih tahu nama-nama jeram yang terdapat di Kali Elo,
ada Jeram Setia, Jeram Sesek, Jeram Keriting, Jeram Ciluk Baa, Jeram Kedung
Celeng dan masih banyak nama yang lain. Setiap melewati jeram, berenam kami
kegirangan sekaligus was-was kalau tetiba kapalnya menabrak batu besar dan
terbalik. Kami berteriak mengejek kapal kedua yang nggak kedengeran suaranya. Apa saking
takutnya sehingga untuk berteriak pun tak mampu? Ntahlah.
Ah, iya, satu hal yang sangat
saya benci dari rafting kemarin.
Karena yang cowok duduk di depan dan kapal kedua berangkat duluan sehingga
posisinya berada di depan kapal pertama, dengan seenak udelnya, skipper kapal pertama menyiramkan air ke
tubuh saya. Belum lagi, teman yang lain juga ikut-ikutan mengarahkan tembakan
airnya ke badan saya. Belum-belum sudah basah kuyup. Nggak seru, masak basahnya bukan karena terjatuh ke air? Saya mencoba
membalas, tapi tetap saja kalah karena posisi kapal saya di belakang
sehingga untuk mengangkat air dengan dayung akan lebih terasa berat. Kalau toh bisa juga nggak mungkin sebanyak jika dilakukan dari depan. Terima kasih
untuk basah yang kalian berikan sebelum waktunya. Pokoknya harus dibalas. Skipper kapal kedua yang berinisial
Supri, (maaf kalau salah), Anda sudah saya kedinginan terlebih dahulu!
Kedua kapal saling
salip penyalip, meskipun kapal yang saya tumpangi lebih sering di belakang.
Sengaja kali ya, si skipper kapal pertama, membiarkan saya
di-guyangi oleh penumpang kapal kedua
dengan membiarkan kapal pertama jarang di depan. Dendam kesumat. Lha apa salah saya?
Berkali-kali
berenam kali pindah posisi. Yang awalnya duduk di depan harus merasakan duduk
di tengah dan belakang. Demikian yang lain. Saya perhatikan, kapal kedua nggak
banyak mengubah posisi duduk. Yang depan tetap cowok terus.
Ada satu kejadian
yang menurut saya, itu sangat memalukan. Aneh juga. Kalau rafting kan berarti harus pegang dayung ya? Lha anak yang bernama Didik malah nggak pegang dayung. Lalu apa? Megang
nasi bungkus! Yang lain sibuk mendayung, eh
dia malah enak-enak makan? Dasar orang aneh. Belum lagi memakai kacamata renang
dan masker. Saya curiga, jangan-jangan besok kalau rafting lagi, dia membawa kasur dan bantal guling. Bisa jadi. Saya
jadi malu mengajak rafting teman
seperti dia. *tongue*
Belasan jeram telah
dilalui. Banyak pemandangan sudah dinikmati. Mulai dari orang-orang yang sedang
mancing—pasti marah kalau kami lewat di dekatnya, ada biawak juga, pohon kelapa
gundul—nggak ada daunnya, sampai pemandangan yang bukan termasuk fasilitas
rafting—itu kata skipper-nya—yaitu,
ibu-ibu, eh mbah-mbah, yang sedang mencuci sambil kembenan. Belum lagi, kata mas pemandu, ada kamar mandi yang nggak
berpintu. Satu buat cowok, satu buat cewek. Pas jam siang-siang, mendekati
waktu Zhuhur, yang mandi adalah bapak-bapak dan ibu-ibu yang mau sholat. Kalau
sore hari, jadwalnya para anak SMA yang membersihkan diri. Gila, sampai hapal dheh!
Memasuki perairan
yang agak tenang dan cukup lebar, berenam kami disuruh berdiri di pinggir kapal
sambil berpegangan satu sama lain. Agak susah juga. Harus dari satu per satu
berdirinya. Setelah semua berdiri, si pemandu memutar kapalnya sehingga
keseimbangan kami terganggu. Bagi yang nggak
bisa menjaga, ya siap-siap jatuh,
bisa jatuh sendiri atau malah semuanya. Harusnya kalau berdiri begitu ada kapal
yang menabrak dari arah hilir. Namun karena hanya ada dua kapal, diputar-putar
juga sudah cukup menggoyahkan keseimbangan.
Setengah
perjalanan, kami beristirahat. Wah,
baru sebentar sudah istirahat. Padahal sebenarnya sudah sejam kami naik kapal.
Namun karena saking serunya, jadi nggak ingat waktu. Di rest area, kami disediakan beberapa
macam snack dan air kelapa muda (degan). Ah, bukan degan, kebanyakan terlalu muda jadi belum ada kelapanya, atau
istilah jawanya disebut “cengkir”. Kalau nggak terlalu muda, ya ketuaan. Kalau
di Jawa disebut “kambil enom” (kelapa muda). Dalam istilah jawa sendiri,
tingkatan buah kelapa adalah : bluluk
(yang belum terbagi atas kulit, batok kelapa dan buahnya, masih kecil), cengkir (sudah ada batoh kelapa, namun
belum ada buahnya), degan (buahnya
empuk yang biasanya dibuat es klamud), kambil
enom (buahnya lebih keras daripada degan,
biasanya digunakan untuk bumbu urap) dan kelapa
tua. Nah, yang disediakan di rest
area itu bukan degan. Kalau nggak cengkir ya kambil enom. Agak
sedikit kecewa sih.
Setelah minum dan
makan snack, berduabelas kami
main-main di air. Ada yang kencing juga. Ah, pada mencari kesempatan itu, mentang-mentang
sudah gedhe dan lama nggak ngompol di celana, berendam di
sungai sambil membuang hajat menimbulkan kenikmatan terbesar dan terindah. Nggak ada yang tahu, kecuali dirinya dan
Tuhan.
Tak lupa,
mengabadikan kekonyolan setiap insan yang malunya sudah berkurang, menjadi
keharusan yang nggak boleh terlewatkan. Ya berfoto. Padahal tiap hari sudah
berfoto. Tapi entah kenapa berfoto
itu—walaupun dengan baju dan tempat yang sama—menciptakan sensasi yang berbeda.
Setiap gerak-gerik perlu untuk diabadikan.
Istirahat usai, lanjutkan
perjalanan. Masih dengan penumpang yang sama. Padahal saya pengen bertukar kapal. Merasa tidak nyaman dengan si pemandu yang
selalu menyudutkan saya. Diam salah, ngomong
apalagi. Ah, sudahlah. Nanti kalau si
pemandu becanda, tak respon dengan
jawaban “krik-krik-krik” saja-lah.
Perjalanan selepas
istirahat, kapal kedua baru terdengar suara jeritannya. Oh, sekarang baru tahu
kalau yang menjadi masalah tidak keluar suara adalah rasa lapar. Hmmm. Berbeda
dengan kami yang “mencoba” untuk lebih kalem, nggak teriak-teriak. Tapi karena memang dasarnya susah diam, ya tetap saja mulut nggak bisa diajak mingkem. Justru malah semakin keras. Ahhh...
Pelan-pelan, kami
menyusuri Kali Elo, atau yang sering disebut Kali Mangu. Melihat rerimbunan
pohon yang nggak hijau karena terkena abu vulkanik Gunung Kelud. Berkali-kali
kami harus menutup mata dan hidung ketika angin berhembus cukup kencang
sehingga abu beterbangan.
Rafting nggak akan seru kalau
hanya duduk-duduk dan mendayung di atas kapal. Flip. Kapal terbalik. Itu serunya. Di tempat yang agak teduh, kami
semua disuruh duduk di bagian kanan sambil terus mendayung. Semakin cepat
mendayung, kapal semakin miring. Lama-kelamaan kapal terbalik. Ini yang
ditunggu. Tapi tunggu dulu. Apa-apaan ini? Masak terbalik di sungai yang
dangkal? Kaki saya menyentuk bebatuan di bawah sungai. Bahkan ada teman yang
kakinya lecet gegara menghantam batu. Pemandunya gimana sih? Masak dibilanag kalau kemarin dalam? Mana mungkin.
Minta di-kelekke tuh orang! Kami
kecewa. Titik.
Baiklah, lupakan
sejenak masalah itu. Sejenak karena nantinya bakal terus dibahas. Lanjutkan
perjalanan. Saya menunggu Green Canyon-nya
Kali Elo. Seperti apa ya? Penasaran.
Apakah menakjubkan? Oke, kami sampai.
Pemandangannya lumayan sih, bikin
mata seger. Mau berenang-renang dulu.
Ah, sayangnya nggak dipotret. Tapi mana mungkin, orang tempatnya nggak memungkinkan untuk dijangkau oleh
sang fotografer? Renang—bukan renang sih, tapi terbawa arus—selama beberapa
menit. Si pemandu mengingatkan agar semua merapat ke kiri karena di bagian
kanan banyak bebatuan. Sekalian naik ke kapal. Yaaa, padahal masih pengen
berendam.
Mendekati kapal,
sebenarnya saya tinggal naik, tapi karena masih pengen di air, makanya masih lanjut. Tau-tau sudah menjauhi kapal. Si pemandu teriak-teriak supaya saya
mendekat. Lha yo angel to, Mas.
Melawan arus. Saya minta tolong ke teman saya, eh dia malah ikut terbawa arus.
Belum lagi, satu teman lagi malah ikut-ikutan. Alhasil kami bertiga berpegangan
pada carang (bambu kecil) yang
menjulur ke permukaan air. Apa jadinya kalau bambunya patah dan bertiga kami
harus hanyut. Bukannya takut, malah kegirangan. Sudah gitu, penumpang kapal
kedua menyalip kami dan mengguyurkan air ke wajah kami. Kurang ajar!
Akhirnya naik kapal
juga. Kedinginan. Perjalanan masih harus berlanjut entah sampai kapan. Panas
semakin menyengat. Kulit serasa terbakar. Belum ada tanda-tanda kehidupan di
depan sana. Beberapa jeram sudah bisa dilalui tanpa perlu berteriak-teriak
seperti waktu pertama tadi. Si pemandu semakin nggak jelas saja bercandanya.
Saya sudah nggak peduli dengan apa yang diucapkannya, kecuali instruksi tentang
pe-rafting-an. Terlanjur mutung.
Satu hal lagi yang
mengasyikkan saat rafting. Spinning.
Kapalnya berputar-putar melewati Jeram Keriting, paling panjang di antara yang
lain. Penumpang sebelah kanan mendayung ke depan, sedangkan yang sebelah kiri
mendayung ke belakang. Berputar beberapa kali. Ada rasa khawatir kalau
terpental dan menghantam batu. Kalau yang ini memang harus teriak. Nggak seru kalau diam.
Di akhir-akhir
perjalanan rafting, si pemandu
memberikan tips bagaimana mendayung yang benar, bagaimana mendayung agar tangan
tidak sakit dan kuat mendayung bahkan sampai empat kali rute rafting. Semua memperhatikan. Ternyata
susah juga memprakrikkannya.
Ketika hampir
sampai finish, nggak perlu didayung. Biar lebih lama di kapal. Kemudian baru saya
tahu bahwa petualangan kali ini akan segera berakhir dalam beberapa menit. Ah, rasanya pengen mendayung melawan
arus dan kembali ke tempat kami turun tadi. Tapi tidak mungkin. Kapan bisa rafting lagi? Ke Kali Progo?
Tak terasa,
perjalanan sepanjang 12,5 km melewati Kali Elo sudah berakhir. Waktu sudah
menunjukkan pukul 12 lewat. Lama juga ternyata. Untuk finish-nya berada di Desa Srowol, Mendut, dekat Candi Mendut. Kembali
ke Kampoeng Ulu Resto dengan menaiki angkot yang sejenis tapi tak sama.
Sesampainya di
Kampoeng Ulu Resto, kami diberi hadiah yang berupa plastik kresek. Ah, kirain
apa. Tapi lumayan, bisa buat bungkus pakaian yang basah. Lha, tujuannya apa lagi kalau bukan untuk itu?
Membersihkan diri.
Katanya ada 60 kamar mandi. Tapi nggak
sempet tak itung. Kurang kerjaan
saja. Sholat Zhuhur. Kemudian makan siang. Makan siang sudah termasuk ke dalam
paket rafting. Tenang saja.
Sebenarnya, sehabis
makan siang, kami masih mau melanjutkan foto-foto di Kampoeng Ulu Resto. Tapi,
melihat keadaan yang masih dipenuhi dengan abu, niat tersebut kami urungkan.
Daripada kelilipan, mending nggak usah.
Kali lain, semoga diberi kesempatan untuk bisa kembali ke sana.
Nggak ada yang menarik untuk
diceritakan lagi. Mending diakhiri
saja cerita petualangan rafting kali
ini. See ya on Next Rafting Trip!
*24 Februari 2014,
23.40, Salatiga*