Friday, June 6, 2014

My Traveling Stories in Celebes : Pesona Rammang-Rammang (Part One)



The 3rd day or the last holiday of this long weekend was SUNday. Hari di mana gue ingin rehat dan hibernasi panjang di sebuah hotel berbintang di pinggir pantai. Ya, sebenarnya gue sudah cukup lelah dengan penantian dan penderitaan, eh salah, capai karena dua hari berjalan-jalan—dalam artian sebenarnya, jalan kaki. Namun, atas dasar keinginan salah seorang teman gue yang ngotot banget ingin pergi ke sebuah tempat yang berada di perbatasan Kabupaten Maros dan Pangkajene Kepulauan, gue hapus semua keinginan untuk beristirahat. Ada beberapa pertimbangan menyetujui rencananya. Pertama, yang paling utama, gue merasa kasihan saja, ya dia sudah jauh-jauh datang dari Sulawesi Barat, sendirian, kalau nggak ditemani, gue merasa nggak enak. Kedua, gue berkeinginan untuk menjelajah tanah rantau yang belum ada dua minggu gue kunjungi. Ketiga, mendengar kata “karst” yang akan menjadi tujuan perjalanan kami menjadikan ada sedikit rasa penasaran menghampiri kepala gue. Belum pernah gue mendengarnya, apalagi melihatnya secara langsung sebelumnya. Oleh karena itu, gue menyetujuinya.
*ah, sepertinya sangat susah menulis dengan kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar*
Hari Sabtu, setelah balik dari Pulau Samalona—sampai di Sungguminasa pas waktu maghrib—gue membersihkan diri kemudian  pergi keluar untuk membeli makan malam. Capeknyaaa…
Kembali ke rencana pergi ke Maros.
Nah, berhubung belum mengetahui medan yang akan dilalui nantinya, gue memutuskan untuk berangkat pukul 05.30 WITA, ntah sudah ada pete-pete atau belum. Daripada sampai di tempat tujuan terlalu siang dan waktu kembalinya juga terlalu malam, lebih baik berangkat pagi-pagi saja. Namun, karena malamnya gue tidur terlalu larut dan kaki masih pegel-pegel, jadilah gue bangun pukul 05.50. langsung buru-buru sholat Shubuh, mandi, kemudian siap-siap. Stand by di pasar sentral Sungguminasa pukul 06.30 thet. Naik pete-pete warna merah seperti dua hari sebelumnya sampai ujung Jalan Jenderal Sudirman, Makassar, kemudian dilanjutkan dengan menaiki pete-pete warna biru sampai Terminal Daya yang berada di Jalan Perintis Kemerdekaan. Sampai di sana sudah pukul 07.30.
Gue menunggu dua orang teman lagi—Ardi dan Thoni—di minimarket sambil makan Sar*rot*. Tadi sebelum berangkat belum sempet sarapan. Eh, untungnya dibelikan nasi kuning bungkus. Hehehe… Si Thony sudah makan duluan, sementara gue masih belum merasa lapar. Setelah selesai mengisi perut, bertiga kami—ah, sepertinya akan lebih seru jika berbanyak orang seperti Hari Sabtu kemarin, namun karena empat orang sudah ‘melambaikan tangan ke kamera’ alias sudah nggak ada tenaga—menumpang, tapi membayar, pete-pete jurusan Makassar-Pangkep yang berwarna biru muda. Gue terkejut, tenyata di dalam pete-pete ada layar LCD, yah, lumayan ada hiburan meskipun cuma lagu-lagu dangdut yang diputar oleh Pak Sopir.
Perjalanan yang kami butuhkan cukup lama, sekitar satu jaman. Dengan ongkos Rp 10.000,00, kami turun di pertigaan dekat Pabrik Semen Bosowa, Maros.sebelumnya, gue sudah gugling-gugling nyari rute menuju ke Rammang-rammang. Berdasarkan info yang gue dapat, diketahui bahwa untuk  bisa sampai ke tempat yang terkenal dengan Gugusan Pegunungan Kapur, salah satu jalannya adalah melewati pabrik semen, kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki atau ngojek. Jaraknya sekitar 500 meteran. Nggak terlalu jauh sih memang, sehingga kami memutuskan untuk berjalan kaki saja. Lumayan, daripada uangnya buat ngojek, mending buat jajan.

Jam masih menunjukkan pukul 09.00 WITA, namun sinar mentari sudah cukup menyengat, ditambah lagi dengan jalan kaki. Keringat sebesar biji duren sudah mulai berjatuhan membasahi dahi dan bagian tubuh lainnya. Jalan yang kami lalui terbuat dari beton, sesekali ada truk besar yang hilir mudik membuat asap dan debu berterbangan mengenai muka gue. Dan setelah berjalan, kira-kira sepuluh menitan, kami melihat tugu dengan tulisan “Desa Salenrang” di sebalah kiri jalan. Gue nggak tahu kalau itu adalah nama desa yang kami tuju. Ya, gue tahunya cuma Rammang-rammang aja.

Memasuki jalan yang termasuk ke dalam Desa Salenrang, kemudian nggak sampai sepuluh menit, gue melihat di sebelah kanan, ada Gugusan Pegunungan Kapur (Karst) yang berderet seperti tak berujung, saking panjangnya. Sebelumnya, gue nggak terlalu high expectation ya, mengingat sudah dua kali, harapan gue ternyata masih lebih tinggi daripada kenyataan. Namun kali ini, gue yang salah. Pemandangan di depan mata gue sangat sangat jauh lebih indah daripada yang gue bayangkan. Jarak gue dengan karst-nya padahal masih jauh, tapi pesonanya sungguh menawan. Ingin rasanya gue berlari menyusuri persawahan dan kemudian menjelajahi setiap jengkal gugusan kapur tersebut. Sabar sabar…

Atas usul Ardi, kami berjalan mendekati bebatuan purba yang berada di tengah persawahan yang baru dipanen. Asyik juga. Gue inget-inget, sudah berapa tahun gue nggak pergi ke sawah milik babe gue? Lama banget yang pasti. Agak becek jalannya, apalagi ada bagian yang barusan dilewati sekumpulan bebek, wah, harus melompat kalau nggak mau kotor. Ya, meskipun pada akhirnya sandal tetap tebal terkena tanah yang basah. Tanpa kami duga, ada dua anak kecil, masih usia TK, mengikuti kami. Awalnya, gue kira mereka cuma mau main-main di sawah kaya waktu kecil gue dulu. Namun, sepertinya mereka menguntit kami bertiga. Kami belok ke bagian sini, mereka ngikut. Kami berjalan lagi, mereka juga ikutan. Ya sudah, kami ajak bermain dan berfoto-foto sekalian saja.
Sesampainya di kawasan yang—sungguh nggak gue sangka sebelumnya—terdapat batu-batu dengan ukuran dan bentuk yang beragam, ada yang kecil da nada yang besar banget, dengan ‘pahatan’ yang sangat mendetail, dan yang membuat gue nggak habis pikir, letaknya itu lhoo, meskipun seperti tercecer, tapi itulah yang membuat tempat ini sangat indah untuk dikunjungi. Masya Allah, ciptaan-Mu sungguh menawan. Nggak menyesal gue sampai di sini.

Gue nggak tahu lagi mau nulis apa, speechless kalau mengingat keindahan panorama alam yang ada di Indonesia bagian timur tersebut.

Oke, Berikut adalah sebagian foto yang berhasil kami abadikan. Cekibrot..



Terlihat beda memang, antara yang beberapa gambar di bagian atas dengan yang di bagian bawah. Hal itu dikarenakan penggunaan kamera yang berbeda. Yang pertama menggunakan kamera DSLR dan yang kedua menggunakan pocket camera.

Bersambung

No comments:

Post a Comment