The 3rd day or the last holiday of this long weekend was SUNday. Hari di mana gue ingin rehat dan hibernasi panjang di sebuah hotel berbintang di pinggir pantai. Ya, sebenarnya gue sudah cukup lelah dengan penantian dan penderitaan, eh salah, capai karena dua hari berjalan-jalan—dalam artian sebenarnya, jalan kaki. Namun, atas dasar keinginan salah seorang teman gue yang ngotot banget ingin pergi ke sebuah tempat yang berada di perbatasan Kabupaten Maros dan Pangkajene Kepulauan, gue hapus semua keinginan untuk beristirahat. Ada beberapa pertimbangan menyetujui rencananya. Pertama, yang paling utama, gue merasa kasihan saja, ya dia sudah jauh-jauh datang dari Sulawesi Barat, sendirian, kalau nggak ditemani, gue merasa nggak enak. Kedua, gue berkeinginan untuk menjelajah tanah rantau yang belum ada dua minggu gue kunjungi. Ketiga, mendengar kata “karst” yang akan menjadi tujuan perjalanan kami menjadikan ada sedikit rasa penasaran menghampiri kepala gue. Belum pernah gue mendengarnya, apalagi melihatnya secara langsung sebelumnya. Oleh karena itu, gue menyetujuinya.
*ah,
sepertinya sangat susah menulis dengan kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan
benar*
Hari Sabtu,
setelah balik dari Pulau Samalona—sampai di Sungguminasa pas waktu maghrib—gue
membersihkan diri kemudian pergi keluar
untuk membeli makan malam. Capeknyaaa…
Kembali ke
rencana pergi ke Maros.
Nah,
berhubung belum mengetahui medan yang akan dilalui nantinya, gue memutuskan
untuk berangkat pukul 05.30 WITA, ntah sudah ada pete-pete atau belum. Daripada
sampai di tempat tujuan terlalu siang dan waktu kembalinya juga terlalu malam,
lebih baik berangkat pagi-pagi saja. Namun, karena malamnya gue tidur terlalu
larut dan kaki masih pegel-pegel, jadilah gue bangun pukul 05.50. langsung
buru-buru sholat Shubuh, mandi, kemudian siap-siap. Stand by di pasar sentral
Sungguminasa pukul 06.30 thet. Naik pete-pete warna merah seperti dua hari
sebelumnya sampai ujung Jalan Jenderal Sudirman, Makassar, kemudian dilanjutkan
dengan menaiki pete-pete warna biru sampai Terminal Daya yang berada di Jalan
Perintis Kemerdekaan. Sampai di sana sudah pukul 07.30.
Gue menunggu
dua orang teman lagi—Ardi dan Thoni—di minimarket sambil makan Sar*rot*. Tadi
sebelum berangkat belum sempet sarapan. Eh, untungnya dibelikan nasi kuning
bungkus. Hehehe… Si Thony sudah makan duluan, sementara gue masih belum merasa
lapar. Setelah selesai mengisi perut, bertiga kami—ah, sepertinya akan lebih
seru jika berbanyak orang seperti Hari Sabtu kemarin, namun karena empat orang
sudah ‘melambaikan tangan ke kamera’ alias sudah nggak ada tenaga—menumpang,
tapi membayar, pete-pete jurusan Makassar-Pangkep yang berwarna biru muda. Gue
terkejut, tenyata di dalam pete-pete ada layar LCD, yah, lumayan ada hiburan
meskipun cuma lagu-lagu dangdut yang diputar oleh Pak Sopir.
Perjalanan
yang kami butuhkan cukup lama, sekitar satu jaman. Dengan ongkos Rp 10.000,00,
kami turun di pertigaan dekat Pabrik Semen Bosowa, Maros.sebelumnya, gue sudah
gugling-gugling nyari rute menuju ke Rammang-rammang. Berdasarkan info yang gue
dapat, diketahui bahwa untuk bisa sampai
ke tempat yang terkenal dengan Gugusan Pegunungan Kapur, salah satu jalannya
adalah melewati pabrik semen, kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki atau
ngojek. Jaraknya sekitar 500 meteran. Nggak terlalu jauh sih memang, sehingga
kami memutuskan untuk berjalan kaki saja. Lumayan, daripada uangnya buat
ngojek, mending buat jajan.
Jam masih
menunjukkan pukul 09.00 WITA, namun sinar mentari sudah cukup menyengat,
ditambah lagi dengan jalan kaki. Keringat sebesar biji duren sudah mulai
berjatuhan membasahi dahi dan bagian tubuh lainnya. Jalan yang kami lalui
terbuat dari beton, sesekali ada truk besar yang hilir mudik membuat asap dan
debu berterbangan mengenai muka gue. Dan setelah berjalan, kira-kira sepuluh
menitan, kami melihat tugu dengan tulisan “Desa Salenrang” di sebalah kiri
jalan. Gue nggak tahu kalau itu adalah nama desa yang kami tuju. Ya, gue
tahunya cuma Rammang-rammang aja.
Memasuki
jalan yang termasuk ke dalam Desa Salenrang, kemudian nggak sampai sepuluh
menit, gue melihat di sebelah kanan, ada Gugusan Pegunungan Kapur (Karst) yang
berderet seperti tak berujung, saking panjangnya. Sebelumnya, gue nggak terlalu
high expectation ya, mengingat sudah dua kali, harapan gue ternyata masih lebih
tinggi daripada kenyataan. Namun kali ini, gue yang salah. Pemandangan di depan
mata gue sangat sangat jauh lebih indah daripada yang gue bayangkan. Jarak gue
dengan karst-nya padahal masih jauh, tapi pesonanya sungguh menawan. Ingin
rasanya gue berlari menyusuri persawahan dan kemudian menjelajahi setiap
jengkal gugusan kapur tersebut. Sabar sabar…
Atas usul
Ardi, kami berjalan mendekati bebatuan purba yang berada di tengah persawahan
yang baru dipanen. Asyik juga. Gue inget-inget, sudah berapa tahun gue nggak
pergi ke sawah milik babe gue? Lama banget yang pasti. Agak becek jalannya,
apalagi ada bagian yang barusan dilewati sekumpulan bebek, wah, harus melompat
kalau nggak mau kotor. Ya, meskipun pada akhirnya sandal tetap tebal terkena
tanah yang basah. Tanpa kami duga, ada dua anak kecil, masih usia TK, mengikuti
kami. Awalnya, gue kira mereka cuma mau main-main di sawah kaya waktu kecil gue
dulu. Namun, sepertinya mereka menguntit kami bertiga. Kami belok ke bagian
sini, mereka ngikut. Kami berjalan lagi, mereka juga ikutan. Ya sudah, kami
ajak bermain dan berfoto-foto sekalian saja.
Sesampainya
di kawasan yang—sungguh nggak gue sangka sebelumnya—terdapat batu-batu dengan
ukuran dan bentuk yang beragam, ada yang kecil da nada yang besar banget,
dengan ‘pahatan’ yang sangat mendetail, dan yang membuat gue nggak habis pikir,
letaknya itu lhoo, meskipun seperti tercecer, tapi itulah yang membuat tempat
ini sangat indah untuk dikunjungi. Masya Allah, ciptaan-Mu sungguh menawan.
Nggak menyesal gue sampai di sini.
Gue nggak tahu lagi mau nulis apa, speechless kalau mengingat
keindahan panorama alam yang ada di Indonesia bagian timur tersebut.Oke, Berikut adalah sebagian foto yang berhasil kami abadikan. Cekibrot..
Terlihat beda memang, antara yang beberapa gambar di bagian atas dengan yang di bagian bawah. Hal itu dikarenakan penggunaan kamera yang berbeda. Yang pertama menggunakan kamera DSLR dan yang kedua menggunakan pocket camera.
Bersambung
No comments:
Post a Comment