Adalah Goa Telapak Tangan yang akan kami kunjungi. Melewati
‘galengan’ di antara petak-petak sawah yang sepertinya baru dipanen. Terlihat
dari beberapa warga yang sedang menggiling padi. Sumpah, gue nggak berhenti
takjub menikmati hamparan tanah hijau nan menyegarkan, ditambah lagi dengan
gugusan karst yang mengelilingi Kampung Berua.
Karena belum ada yang pernah mengunjungi tempat yang—menurut Dg
Beta—masuk ke dalam wilayah Kabupaten Pangkep, apalagi Goa Telapak Tangan, salah
seorang dari 4 teman perjalanan kami bertiga, bertanya ke ibu-ibu yang sedang ‘bergumul’
dengan padi-padinya di manakah letak goa yang kami cari. Rupanya sudah di depan
sana. Nggak jauh. Okelah, segera meluncur.
Begitu mendekati salah satu gugusan karst yang di sana terdapat
goa, suasana semakin horror. Suara ‘gareng’ yang hanya gue dengar di kampung Borobudur
tetiba terdengar di sini. Hawanya semakin dingin saja. Seperti mau memasuki
tempat angker. Untungnya kami bertujuh.
Sesampainya di batas nggak ada jalan lagi, gue agak heran. Lho,
mana goanya? Gue selalu berpikiran bahwa yang namanya goa itu pasti ada lobang
yang bisa dimasuki. Tapi, Goa Telapak Tangan berbeda. Di sana nggak ada lubang.
Yang ada hanya dinding alami yang terbentuk dari kapur dan berumur jutaan
tahun. Menurut informasi, ‘telapak tangan’ yang terdapat di goa tersebut
berwarna merah. Kami berlomba-lomba mencari telapak tangan yang jumlahnya ada
tiga, katanya sih. Dan gue masih saja penasaran mencari kalau-kalau ada lubang
yang bisa dijelajahi. Nihil.
Ada sekitar seperempat jam kami mencari, sekalian foto-foto.
Hampir putus asa kami mencarinya ketika tetiba ada yang menemukan salah satu.
Whooo, gue kira besar. Secara tangan manusia purba. Kok sama ukurannya dengan
tangan gue? Atau mungkin itu telapak tangan balita manusia purba? Entahlah.
Dan, ketiganya berhasil kami temukan semuanya.
Ketika kami hendak kembali ke kediaman Dg Beta, ada sekelompok
wisatawan bercaping yang datang. Mereka sepertinya juga mencari lubang. Atau
langsung mencari ‘telapak tangan yang hilang’? Ndak ku tahu ji..
Setelah berpamitan dengan Dg Beta dan istrinya, kami memutuskan
kembali ke tempat di mana kami turun tadi. Baru pukul 2, padahal kami meminta
dijemput pukul 03.00 WITA. Ya sudah, semakin cepat semakin baik.
Check these photos, guys...
Langit berwarna biru cerah, awan seakan nggak berani sedikit untuk
menampakkan diri di atas sana, menjadikan siang itu terasa panas menyengat.
Ingin rasanya menjeburkan diri ke sungai atau masuk ke dalam kulkas atau
setidaknya minum es. Pasti seger.
Tujuan kami pergi ke Maros tentu bukan hanya melihat bebatuan di
tengah sawah, masih ada beberapa tempat lagi. Panas matahari tidak menyurutkan
langkah kaki kami untuk mengunjungi tempat-tempat yang lebih eksotis di pelosok
nusantara. Salah satunya adalah Dusun Berua.
Berjalan menyusuri jalan beton sampai di dekat jembatan di mana di
sanalah satu-satunya akses menuju Berua. Sebelumnya, kami bertanya kepada
ibu-ibu di manakah letak Dusun Berua. Beliau kelihatan bingung lantas hanya
menjawab ngasal bahwa dusun yang kami maksud berada masih lurus di depan (kami
bertanya beberapa meter setelah Tugu Desa Salenrang, sebelum kami bermain-main
di bebatuan Rammang-rammang). Kemudian, sewaktu ‘blusukan’ di bebatuan, kami
sempat bertanya kepada bapak-bapak yang kebetulan kami temui. Rupanya, untuk
bisa sampai ke Berua, kami seharusnya berjalan lurus, tidak memasuki pertigaan
yang ada tugu ”selamat datang di Desa Salenrang”, sampai di dekat jembatan.
Kampung Berua berada di tengah-tengah karst, dan untuk mencapai
tempat tersebut, kami harus menyewa perahu kecil menyusuri Sungai Pute. Lebar
perahu tersebut tidak lebih dari semeter, sedangkan panjangnya bermacam-macam.
Ada perahu yang bisa mengangkut 8 orang. Pokoknya sangat mengasyikkan. Satu hal
yang harus diperhatikan ketika menaiki perahu tersebut, jangan banyak bergerak atau
perahuakan terbalik. Gue udah nyoba, dan hasilnya, perahu goyang. Jadinya gue
diteriakin dheh. Hahaha… Perahu di sana sudah menggunakan mesin penggerak,
nggak didayung lagi. Cuma, gue pernah baca kalau di daerah sana masih ada yang
harus didayung, mungkin itu bukan untuk wisatawan.
Nama tempatnya “Dermaga Rammang-Rammang”. Hmmm,sepertinya nggak
begitu asing karena gue pernah melihatnya di “Profile Picture” salah satu
socmed milik saudara gue. Pemandangannya keren, guys. Warna-warna hijau
pepohonan ditambah dengan jernihnya air (jernih di sini bukan berarti seperti
warna air mineral, agak berwana hijau tapi nggak keruh, ya seperti warna air di
danau atau rawa). Selain itu, banyak batuan yang seperti dibiarkan tergeletak
begitu saja di sepanjang aliran sungai. Bebatuan tersebut tentu berbeda dengan
bebatuan yang ada di sungai-sungai lainnya. Di samping kanan kiri sungai,
tanaman-tanaman hijau—yang nggak gue ngerti apa namanya—seakan tidak ada
habisnya. Di belakang tanaman-tanaman tersebut, berdiri kokoh, gugusan karst
yang tinggi menjulang. Sumpah, keren banget. Gue seakan berada di negeri
dongeng. Nggak nyangka gue bisa berada di tempat sekeren ini.
Oke, saatnya menaiki perahu. Eh, tunggu dulu. Harganya berapa,
cuy? Langsung main naik aja. Bertiga kami
turun ke dermaga. Di bawah sudah ada beberapa perahu yang stand by. Ada
juga bapak-bapak yang sedang asyik duduk di atas perahunya. Langsung aja kami
samperin bapak itu, menanyakan berapa harga ‘pelayaran’ menuju Dusun Berua.
Permintaan bapaknya sih 200ribu. Terjadilah tawar menawar, dan didapatlah harga
pas 150ribu karena kami bertiga, biar pas gocap-gocap. Mahal? Jangan langsung
menyimpulkan seperti itu. Dengan medan yang berliku sampai seakan perahu mau
terbalik—kalau naik mobil, ya nggak beda jauh sama nge-drift lah—dan
pemandangan alam yang nggak akan bisa lo biarkan melintas begitu saja, pasti
harga itu nggak sebanding. Yuhuuu,,, naik perahu. Gue mau di depan ah!
Lagi-lagi gue speechless karena nggak bisa mengungkapkan keindahan
pemandangan di hadapan gue dengan kata-kata. Cuma ketawa-tawa dan masih ada
rasa unbelieve dengan apa yang gue lihat. Sesekali gue membasuh kaki dan sandal
dengan air sungai yang terbebas dari sampah apapun. Bermain air nenjadi
kegiatan yang mengasyikkan karena tinggi perahu hanya sekitar 30 centimeter.
Nggak ketinggalan, selfie adalah andalan gue ketika nggak ada orang yang bisa mengabadikan
kelakuan gue yang sedikit konyol dan—ehm—memalukan. Sepanjang perjalanan, hanya
air, tanaman hijau dan deretan karst yang menjadi pemandangan. Tapi itu sangat
keren.
Setelah perjalanan selama 30 menit, sampailah kami di Kampung
Berua. Sebuah kampung yang terisolir, namun ada sinyal HP untuk operator
tertentu. Jangan harap kamu akan menemukan suara kendaraan bermotor di sana,
kecuali mesin penggiling padi dan deru mesin perahu yang sesekali lewat dengan
membawa serta para wisatawan. Begitu turun dari perahu, bapak-bapak pemilik
perahu menawarkan rumahnya yang juga berada di kampong Berua, mungkin kami bisa
mengunjunginya kalau mau minum dan istirahat.
Tak henti-hentinya gue mengagumi kebesaran Ilahi yang telah
menciptakan sebuah tempat yang indah nan damai. Andaikan gue punya rumah di
sana. Sejuk. Semilir angin. Hanya warna
hijau pepohonan dan karst berwarna abu-abu-coklat-hitam yang ada serta warna
biru langit. Beberapa ekor sapi tampak sedang menikmati makan siangnya. Ya,
kami tiba di sana tepat pukul 12 lebih sedikit. Sudah ada beberapa wisatawan
yang sudah sampai. Semuanya sama, hanya tercermin rasa decak kagum yang nggak
ada habisnya. Apakah gue bermimpi? Tidak. Ini nyata. Indonesia! Sulawesi!
Karena cuaca yang sedang panas-panasnya, kami memutuskan untuk
pergi ke area di bawah pohon. Rencananya sih pengen tiduran di balai-balai yang
tersedia di samping pohon besar. Namun, begitu melihat papan tulisan yang
terpampang di salah satu sisinya, langsung kami urungkan niat tersebut. Ya,
tulisannya gini “Balai ini tidak gratis”. Kami nggak mau mengeluarkan
uang lagi hanya untuk duduk-duduk. Mending duduk di rerumputan. Gratis.
Muncullah bapak-bapak—kali ini lain lagi—dari arah yang berlawanan
dengan arah kami datang sebelumnya. Beliau bersama seorang wisatawan. Kemudian,
ketika si wisatawan tersebut pulang, beliau beralih melakukan pembicaraan kami.
Ah, sebenarnya gue nggak ikut pembicaraan itu. Pun demikian dengan Thony. Lah
orang nggak ngerti si bapak ngomong apa. Cuma Ardi yang melayani obrolan si
bapak. Tapi ya sama aja, diahanya
ngangguk-ngangguk nggak ngerti dengan apa yang dibicarakannya. Lucu sekali.
Barulah setelah bapaknya pergi, Ardi misuh-misuh karena dia merasa seperti yang
dikorbankan kaya Hari Sabtu kemarin, waktu mau nyebrang ke Samalona. Nggak mau
disalahkan lagi. Gue sama Thony cuma bisa ngakak. Sabar, broo…
Sepertinya waktu istirahat sudah cukup. Keringat juga sudah nggak
mengalir lagi. Kami memutuskan untuk berkeliling kampung yang hanya didiami
oleh 15 Kepala Keluarga. Bisa dibayangkan betapa “krik-krik”nya suasana di
malam hari yang mungkin tanpa ada listrik. Kalau nggak ada listrik, kenapa
penduduknya ada yang punya HP? Mungkin pake genset. Atau menggunakan tenaga
surya? Nggak mungkin kali. Sayangnya gue nggak sempat bertanya tentang itu.
Alasan utama karena kendala bahasa. Percuma kalau dijelasin panjang lebar tapi
nggak ngerti juga.
Adalah Daeng Beta, orang yang paling dihormati di Kampung
Berua. Ya, katakanlah sebagai Ketua RT, RW, Dusun sekaligus Ketua Suku. Kami,
sebenarnya mau ke sebuah goa yang terdapat di sana. Namun, saat melewati depan
rumah Dg Beta, kami dipanggil. Katanya kalau mau ke goa harus diantar sama
guide. Ah, ntahlah, guide beneran atau gue yang salah denger. Sangsi. Jujur,
kami nggak mau merogoh kantong lebih dalam lagi kalau harus membayar seorang
guide. Lebih baik mencari sendiri goanya. Agak lama kami berdiri mematung,
belum memutuskan. Ya, kami membuang-buang waktu dengan berfoto-foto siapa tahu
Dg Beta dan istrinya menyadari bahwa kami nggak memerlukan seorang guide. Ada
mungkin lima menitan sebelum akhirnya kami menentukan pilihan. Kami memutuskan
untuk ‘bertamu’ ke balla Dg Beta yang merupakan rumah panggung. Tujuan kami simple,
daripada nanti ada apa-apa kalau nekat ke goa cuma bertiga.
Di lantai atas, ternyata sudah ada 4 orang, 2 cowok dan 2 cewek
yang berasal dari sebuah politeknik di Makassar. Rupanya mereka juga baru
pertama kali pergi ke Kampung Berua. Dan, setelah ngobrol dengan Dg Beta dan
istrinya, tepatnya 4 orang yang ngobrol, sedangkan kami hanya memperhatikan apa
yang diomongkan mereka. Nggak tahu mau merespon apa. Mereka ketawa, kami ikutan
ketawa. Bukan karena mudeng dengan apa yang dibicarakan, tapi menertawakan apa
yang mereka tertawakan. Ironis sekali.
Sekitar setengah jam ngobrol, kami bertiga—gue, Ardi sama
Thony—ikut rombongan yang sama sekali nggak kami kenal, meminta izin kepada
sang empu rumah kalau kami hendak pergi ke goa. Dan, ternyata, nggak ada guide
di sana. Yaiyalah. Yang ada, kami disuruh mengisi buku tamu. Maafkan kami yang
sudah su’uzhon, Daeng. Gue lihat daftar nama yang telah mengunjungi tempat itu.
Wuihh, ternyata nggak hanya wisatawan domestik saja yang pernah datang, ada
orang Portugal, Finland, Germany, Italy, dan beberapa Negara lainnya. Keren.
*to be continued...