Wednesday, June 18, 2014

My Traveling Stories In Celebes : Pesona Rammang-Rammang (Part Two)


Karst adalah sebuah bentuk permukaan bumi yang pada umumnya dicirikan dengan adanya depresi tertutup (closed depression), drainase permukaan, dan gua. Daerah ini dibentuk terutama oleh pelarutan batuan, kebanyakan batu gamping. Istilah karst yang dikenal di Indonesia sebenarnya diadopsi dari bahasa Yugoslavia/Slovenia. Istilah aslinya adalah krst/krast' yang merupakan nama suatu kawasan di perbatasan antara Yugoslavia dengan Italia Utara, dekat kota Trieste. Daerah karst terbentuk oleh pelarutan batuan terjadi di litologi lain, terutama batuan karbonat lain misalnya dolomit, dalam evaporit seperti halnya gips dan halite, dalam silika seperti halnya batupasir dan kuarsa, dan di basalt dan granit dimana ada bagian yang kondisinya cenderung terbentuk gua (favourable). Daerah ini disebut karst asli.Daerah karst dapat juga terbentuk oleh proses cuaca, kegiatan hidraulik, pergerakan tektonik, air dari pencairan salju dan pengosongan batu cair (lava). Karena proses dominan dari kasus tersebut adalah bukan pelarutan, kita dapat memilih untuk penyebutan bentuk lahan yang cocok adalah pseudokarst (karst palsu).




 
Pusing dengan penjelasannya? Gue juga. Mangkanya biar nggak pusing, kunjungilah Rammang-rammang. And, FYI, karst yang ada di Maros adalah gugusan karst yang terbesar kedua di dunia setelah karst yang berada di Cina Selatan. Bangga dong gue, sudah mengunjunginya, meskipun hanya menjelajah sedikit bagian. Jelaslah, lha wong luasnya saja mencapai 43.750 hektar. Luas tersebut mencakup 20.000 hektar area pertambangan, dan 23.750 hektar area konservasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TNBB).
Sebelumnya, kawanan karst yang terletak di Maros-Pangkep pernah diusulkan sebagai warisan dunia pada tahun 2000-an sebelum TNBB terbentuk. Menurut situs UNESCO, baru pada 6 Oktober 2009 Maros-Pangkep resmi terdaftar sebagai calon Warisan Dunia kategori Natural..






 
Karst Maros Pangkep bukan sekedar deretan cadas. Berbeda dengan kebanyakan kawasan karst di tempat-tempat lain yang  pada umumnya berbentuk Conicall Hill Karst (berbukit kerucut), karst Maros Pangkep berbentuk menara-menara (tower karst) yang berdiri sendiri maupun berkelompok membentuk gugusan pegunungan batu gamping yang menjulang tinggi. Di antara bukit-bukit tersebut membentang dataran, dengan permukaannya yang rata. Bukit-bukit menara tersebut sejenis dengan yang ada di Cina Selatan dan Vietnam.

Saat ini kawasan ini sedang mengalami tekanan yang cukup berat, karena usaha pertambangan batu gamping untuk semen, marmer dan industri lainnya. Penambangan karst yang dilakukan di Kawasan Karst Maros-Pangkep selain mengancam ketersediaan air tanah di sekitar kawasan karst juga mengancam keunikan geomorfologi serta biodiversity (keanekaragaman hayati).

Aktivitas penambangan kapur dilakukan oleh dua industri semen besar (PT. Semen Tonasa dan PT. Semen Bosowa) dengan luas daerah operasi mencapai 2.354,7 ha. Selain itu, sedikitnya terdapat 24 perusahan penambangan marmer dengan luas areal eksploitasi 15-25 ha setiap perusahaan.

Dari pemerintah sendiri seharusnya ada tindakan tegas sehingga aktivitas penambangan tidak sampai mengorbankan karst dan keunikannya tetap terjaga sampai beribu-ribu tahun, bahkan jutaan tahun yang akan datang.

Kembali ke perjalanan gue bersama yang lain.



 
Kedua anak kecil tadi masih tetap mengikuti kemana kami menyusuri jalanan sempit di antara petak-petak sawah. Sampai-sampai, pun ketika gue pengen menaiki batu yang lumayan tinggi untuk berfoto, mereka mau ikut. Jiaaahhh, susah, dek. Masak gue disuruh nggendong? Noo. Sesekali kami berhenti agak lama di spot-spot tertentu untuk mengambil gambar. Kemudian, setelah melewati tempat yang bagaikan goa—karena disamping kanan kiri dan bagian atas terdapat batu uang menutupinya, kami bagaikan memasuki dunia lain. Semakin memasuki daerah persawahan, pemandangan semakin mempesona. Semakin banyak bebatuan yang tersebar di berbagai sisi persawahan. Bentuknya juga semakin beraneka ragam. Langir biru dan pepohonan berwarna hijau yang dipadukan dengan gelapnya warna batuan, membuat mata ini berbinar-binar. Kembali gue memuji kebesaran Ilahi. 




Di depan sana, ada sebuah bangunan berpapan kayu yang sangat sederhana. Gue kira ada rumah di sana soalnya banyak anak-anak kecil yang bermain di sekitar rumah tersebut. Beberapa malah menghampiri kami, ah sebenarnya mereka menghampiri dua teman lain yang datang bersama kami. Mereka bermain menaiki bebatuan yang tidak terlalu tinggi, sementara gue mengabadikan tingkah konyol mereka. Ternyata, anak-anak kecil itu sedang mengaji di tengah sawah, sedangkan bangunan yang gue lihat adalah TPA-nya. Masya Allah, keren banget, anak-anak kecil rela berjalan melewati sawah sampai kakinya kotor, secara nggak pake sandal, demi menuntut ilmu di tengah sawah dengan pemandangan karst yang sangat indah. Sayup-sayup terdengar suara mereka membaca ayat demi ayat Al Quran.


Di tempat yang agak teduh, kami beristirahat. Gue sama Ardi melahap nasi kuning yang sudah tambah sedikit kuning warnanya. Eh, nggak dhenk. Nikmat sekali. Gue kembali teringat masa kecil dulu, sehabis ‘matun’ di sawah, makan di sawah, piringnya dari daun pisang yang fresh from the tree, cuci tangannya dengan air yang mengalir di pinggiran ‘galengan’ meskipun berbau khas ‘lendut’ dan nggak bersih, beralaskan rumput hijau dan memandangi Pegunungan Menoreh yang membentang di sebelah selatan. 
Ah, masa-masa kecil yang membahagiakan.


Selepas makan, kami melanjutkan perjalanan, berkeliling sebentar ke bagian yang lain, kemudian memutuskan untuk keluar dari gugusan bebatuan nan indah. Kali ini, tidak ditemani oleh kedua anak kecil karena mereka pasti sedang khusyu’ belajar Al Qur’an.

Kembali kami melalui jalur setapak yang di beberapa bagian terlihat becek sehingga harus melompatinya jika nggak mau kotor. Agak susah, dengan menggendong tas yang cukup berat, harus bisa menjaga keseimbangan agar pendaratan bisa sempurna tanpa terjatuh ke sawah. Sekeluarnya dari area persawahan, kami beristirahat sejenak, gue meneguk air mineral yang tinggal sedikit. Bukan capek, tapi panasnya yang menyengat sangat luar biasa. Berharap ada mobil yang mau memberikan tumpangan, setidaknya sampai di pertigaan yang ada tugu “Desa Salenrang”.

Oke, nggak usah terlalu lama berleha-leha, penjelajahan masih harus dilanjutkan. What’s next?

Enjoy these picture, guys...