Saturday, May 31, 2014

My Traveling Stories In Celebes (Pulau Samalona : Part Two)



Nah, setelah sampai di Samalona, mau ngapain? Berenang, snorkeling, berjalan mengelilingi garis-garis terpinggir dari pulau, berjemur,ya, semua pengen dilakukan. Tapi sebentar, jangan terburu-buru. 

Oiya, pas berangkat tadi, ada ibu-ibu beserta kedua anaknya yang masih balita. Gue kira, dia adalah istri dari bapak-bapak yang mengantarkan kami ke Samalona. Ternyata bukan. Mungkin si ibu-ibu tersebut sering nyebrang ke Samalona bebarengan dengan para wisatawan. Terus apa yang dilakukannya di sana? 
Nah, begitu turun dari perahu, kami ditawari ibu-ibu tadi. Bukan ditawari makanan yang jelas. Ah, sepertinya nggak cocok kalau dikatakan sebagai sebuah penawaran, lebih tepatnya sedikit pemaksaan. Dia menawarkan tempat duduk-duduk di mana kami bisa istirahat. Masih terlihat biasa sampai di sini. Namun, yang lebih mencengangkan, tempat duduknya nggak gratis, alias harus bayar. Okelah, harus bayar nggak papa, asal jangan mahal-mahal.
Ibu-ibu tersebut—gini aja deh, sebut aja dia dengan “IIS”, Ibu-Ibu S****—mengajak  kami ke bagian belakang, atau bagian utara pulau. FYI, kami tadi datang dan memasuki pulau dari bagian selatan. Di dalam pulau tersebut, ada beberapa rumah panggung, mungkin itu rumah khusus disewakan kepada wisatawan yang berkunjung. Beberapa jenis pepohonan juga tumbuh di pulau yang luasnya mencapai 2 hektar tersebut, membuat udara di bagian dalam lumayan sejuk meskipun siang hari. Ada lapangan kecil yang dipakai oleh anak-anak kecil bermain bola. Di samping itu, terdapat pula kantin, hmmm, bukan kantin sih ya, soalnya tidak ada tempat untuk menyantap makanan di sekitarnya. Kalau mau makan ya nanti makanannya diantar ke lokasi tempat duduk yang sudah dipesan.
Awalnya, gue mengira kalau yang dimaksud tempat duduk, yang harganya seratus ribu seharian, adalah rumah panggung di mana kami benar-benar bisa tiduran dan beristirahat, seperti yang dikatakan IIS. Lumayan lah kalau memang sesuai dengan pikiran gue. Huh! Untuk yang kesekian kali, gue hanya bisa gigit jari, harapan tidak sesuai dengan kenyataan.
Sesampainya di tempat yang dimaksudkan oleh IIS, gue dan yang lain sama-sama tercengang. Semua berpikir, ‘Mana tempatnya? Masak ya kek gini?’ Bayangkan, yang dimaksud tempat duduk-duduk ya emang tempat buat duduk aja, sempit, nggak layak pakai, terbuat dari kayu dan hanya beratap payung besar berdiameter 1,5 meter,, mungkin usianya sudah lebih tua dari yang menyewakan kali ya? Lebar tempatnya hanya sekitar 1,2 meter dan panjangnya 2 meter. Harganya gocap untuk satu tempat. Bener-bener nggak percaya! Lha kalau bikin sendiri aja nggak sampai habis biaya segitu.
harga tempat duduk di bawah satu payung adalah Rp 100.000,-

Mau nggak mau ya, menerima dengan sangat berat hati, apa yang ditawarkan IIS. Alesannya, kami nggak mau mengecewakan dia, seperti pas sebelum berangkat tadi yang menimbulkan masalah antara kami dengan calo penyebrang. Secara, orang Makassar gitu. Selain itu, nggak ada pilihan lain. Mau berteduh di mana nanti kalau panas, pengen berteduh dan duduk-duduk? Beralaskan pasir putih dan beratapkan langit dengan sinar matahari yang sangat membakar kulit? No way!
Kebetulan, di samping tempat yang kami setujui ada satu yang kosong. Kami menawar, gimana kalau seratus ribu untuk empat tempat. Jelas si IIS ndak mau dong. Oke, jalan tengahnya, kami bisa menggunakan tempat kosong tersebut, namun jika ada orang lain yang berminat, kami harus menyingkir dan berdesak-desakan di dua tempat. Gue sih berharap nggak ada yang berminat.dan benar saja, sampai sore nggak ada satupun pengunjung yang tertarik.
Selain tempat, kami juga ditawari makanan. Uff, agak males ya, pesan makanan di sana. Pasti mahal banget? Orang tempat duduk aja harganya segitu? Dan emang bener, gue sempet nguping pembicaraan orang yang duduk di samping kami, harga kelapa muda aja nyampe Rp 20.000, rokok sebungkus bisa dua kali lipat harga yang tertera di bungkusnya, belum lagi gorengan kecil-kecil yang mencapai Rp 25.000 padahal jumlahnya nggak sampai 20 potong. Kami Cuma pesen pisang dan sukun goreng. Oiya, mengenai pisang goreng, baru kali ini gue makan sambil dicocoli sambel. Aneh. Baru kemarin makan pisang dibakar, digeprek kemudian dikasih kecap, eh, gula merah, sekarang malah ada sambelnya. Manis dicampur pedhes.  Ntahlah, besok akanmenemukan pisang dengan campuran apa lagi. Bisa jadi pisang dicampur bumbu rendang atau dengan kuah cotto. Hahaha…
Waroeng Samalona yang mahal gilaa
Begitu meletakkan tas dan barang-barang lainnya, lima orang, kecuali Yudha dan Jainal, berjalan-jalan menyusuri bibir pantai, menikmati angin yang berhembus menyejukkan, menginjakkan kaki di setiap jengkal pulau, bermain di atas karang sambil mencipratkan air, dan yang nggak boleh ketinggalan, foto-fotoooooo.

Pada awalnya gue masih istiqomah untuk tidak basah-basahan. Bolehlah kalau cuma kakinya aja yang kena air. Lebih baik lepas celana panjang. Biar nggak perlu melipatnya sampai ke lutut. Kami bermain di sebelah barat pulau bagian belakang, lumayan sepi sih. Ombaknya kecil banget, kalau nggak boleh dibilang nggak ada ombak. Setelah beberapa menit sedikikt berbasah-basahan, kami memutuskan untuk menyusuri bagian depan pantai sambil mengamati orang-orang yang sedang asyik bermain. Long weekend sih ya, jadi pengunjungnya lumayan rame.
Perahu-perahu lain berdatangan membawa rombongan penumpang. Bisa dipastikan, mereka baru pertama kali mengunjungi pantai yang berjarak sekitar 3 mil dari Kota Makassar itu. Bawaan mereka banyak banget, seperti mau pindah rumah saja. Berbeda dengan kami yang hanya membawa badan dan tanpa makanan apapun. Sampai dengan sore hari, guecuma makan dua potong gorengan yang mahal banget harganya. Minum? Jangan ditanya. Air laut gue minum saking hausnya, sambil berenang maksudnya.
semangat Paakkk...
Bertiga, Thoni, Dafit dan Eko, menghabiskan waktu dengan mainan air, mulai dari berenang, lomba berlari di air, sampai push up dan sit up di pasir yang pasti akan keseleg ketika kepala terkena air laut. Memang bener-bener konyol dan kurang kerjaan. Ya, gue nggak bisa menahan hasrat untuk tidak bermain di air. Melihat yang lain asyik berbasah-basahan, membuat gue memutuskan untuk ‘nyebur’ sekalian. Jaket, topi, kacamata, celana panjang, sandal dan kamera, gue letakkan di atas kayu di pinggir pantai yang masih bisa terlihat dari tempat gue berada. Seru sih. Pengen nyewa peralatan menyelam, tapi kok mahal. Selain itu, gue juga nggak bisa. Hahaha… 

Siang itu nggak terlalu panas. Matahari tertutup awan. Pas banget. Sampai-sampai nggak terasa kalau kami sudah main selama hampir 2 jam. Sebenarnya gue masih pengen lagi, Cuma karena kulitnya sudah panas, mending kembali ke “tempat duduk-duduk” saja lah. Kasian, Jainal dan Yudha yang hanya duduk-duduk saja sambil menunggu barang bawaan. Ah, nggak juga dheng. Mereka sepertinya juga mager alias males gerak. Buktinya, sampai mau pulang pun, tetep aja cuma tiduran. Mungkin memanfaatkan tempat duduk yang mahal kali ya? Daripada mubadzir…
Dua jam memakai baju dan celana basah, belum mau berbilas dan berganti baju. Toh, lama kelamaan, bajunya kering sendiri. Mending bermalas-malasan dulu. Baru setelah pukul 12.30 WITA, keinginan untuk membersihkan diri muncul, sekalian sholat. Badan juga sudah lengket, nggak enak. Padahal sudah sedari ‘mentas’ dari air nggak enaknya.
Gue kira, di sana ada toilet umum kaya di pantai-pantai gitu. Ternyata tidak. Adanya ya toilet yang nempel dengan rumah-rumah, baik itu rumah panggung atau rumah non panggung. Itu pun rata-rata nggak ada airnya, kotor pula. Bagaimana ini, mau ganti baju, masak ya nggak mandi, atau paling tidak mengguyur badan dengan sedikit air biar agak PeWe. Gue menyesal, coba aja tadi nggak nyebur ke air, pasti nggak perlu pusing-pusing nyari air bersih. Aha, ternyata ada sumur, sumur PHP. Kenapa? Lha orang airnya Cuma sedikit, ada dasarnya, airnya agak asin. Ya iyalah, secara di pulau dan tanah pasir. Baiklah, yang penting bisa buat berbilas. Dan karena nggak menemukan toilet yang berdekatan dengan sumur, eh ada sih, cuma yang satu sedang dipakai, yang satu lagi, sangat jauh dari kesan bersih dan layak pakai. Alhasil, gue, Dafit dan Eko, mengguyur badan di bibir sumur, masih dengan baju yang lengkap pastinya. Hanya bertujuan sedikit membilas badan biar nggak terlalu lengket. Meskipun tetap aja masih nggak enak setelah berganti baju, masih gatel-gatel karena pasir yang tertinggal di badan. Ah, biarin.
Percaya kalau di sana ada makam? Awalnya  gue nggak ngira. Bahkan, ada sebuah bangunan yang gue kira toilet, ternyata makam juga. Nggak mau lah bermalam di pulau ini. Pasti nanti jadi acara “(Masih) Dunia Lain”.

Ba’da sholat Dzuhur, gue kembali merebahkan diri di tempat yang sudah kami sewa. Sampai siang itu pun nggak ada pengunjung yang berminat dengan tempat di sebelah kami. Bagus lah, bisa menempati empat tapi hanya bayardua. Sinar matahari begitu menyilaukan mata walaupun sudah dipayungi, tetep saja. Jadi nggak bisa tidur. Mau jalan-jalan nggak mungkin juga, panas banget, nggak seperti tadi.
Tiduran, duduk, tiduran, duduk. Dua aktivitas itu yang bisa dilakukan di tempat sesempit itu. Sampai sore, sampai waktunya pulang
seperti ikan yang baru dijemur
Dan, sebelum pulang, gue mengamati Kota Daeng dari pulau yang masih termasuk ke dalam Kecamatan Ujung Pandang. Cakep. Berasa di Pulau Batam dan yang gue lihat adalah Singapore. Ngayal banget.
Makassar dari Samalona

Oke, saatnya kembali ke Pulau Celebes. Rencananya sih mau singgah dulu di Pulau Khayangan, namun ada beberapa hal yang menjadikannya gatot. Pertama, sudah terlalu sore. Kedua, ada dua sosok yang bergabung dengan perahu yang kami tumpangi. Ketiga, sudah capek jiwa dan raga. Keempat, ternyata Pulau Khayangan tidak dilewati karena, jika mau berlayar ke Pulau Samalona, dari depan Benteng Fort Rotterdam, ke arah kiri atau kea rah selatan, sedangkan kalau Pulau Khayangan ke arah sebaliknya, meskipun jaraknya nggak sejauh Samalona. Begitulah yang gue cermati di google maps.
Sesampainya di tanah Makassar, kami masih H2C (Harap-Harap Cemas), gimana kalau bertemu dengan ENAL lagi coba? Bisa-bisa dia sudah mencegat kami dengan membawa badik. Mungkin yang paling khawatir adalah Ardi. Hihihi… Untungnya sih, nggak kelihatan batang hidung si ENAL. Syukurlah. Sebenernya gue masih pengen ke Pantai Akkarena (yang bakal gue kunjungi 2 minggu kemudian), salah satu pantai menawan lainnya selain Losari. Pengen lihat sunset. Tapi nggak mungkin, jauh banget jaraknya dari Rotterdam. Lagian, yang lain juga sepertinya nggak mungkin mau juga. Lebih baik pulang ke Gowa dan beristirahat karena Hari Minggu-nya masih ada jalan-jalan khusus di luar Makassar. See you dan Be patient, guys…


Ada biawak



Thursday, May 22, 2014

My Traveling Stories in Celebes (Pulau Samalona : Part One)




Hari Sabtu, berdua, eh sekarang sudah jadi berempat, belum mempunyai rencana mau pergi ke mana. Mau pergi ke Trans Studio Makassar, tapi kok tiketnya mahal gila. Terbersit keinginan untuk pergi ke Malino di mana terdapat beberapa air terjun eksotis yang patut dikunjungi, namun karena letaknya terlalu jauh dan belum tahu apakah ada pete-pete yang langsung bisa membawa kami ke sana atau tidak, lagi-lagi rencana itu harus gue pendam, ntah kapan bisa terwujud. Ah ya, si Ardi ngebet banget pengen pergi ke Maros, lebih tepatnya di Rammang-rammang, di mana di sana ada karst terbesar kedua di dunia. (Oke, untuk yang ini, next story aja, pokoknya wait and be patient). Mending besok aja ke Rammang-rammang.
Nah, masih berhubungan dengan cerita di Benteng Rotterdam  hari sebelumnya. Kemarin, kami ditawari jasa penyebrangan ke beberapa pulau di sebelah barat Kota Makassar. Namun, karena kurangnya personil, gue dan Ardi memutuskan untuk nyebrang next time saja, sekalian mencari massa yang mau ikutan. Nah, sorenya, setelah berdiskusi dengan dua sosok yang lain, siapa lagi kalau bukan Thony dan Dafit, diputuskanlah bahwa esok harinya, kami akan jalan-jalan ke Pulau Samalona, Lae-Lae, dan Khayangan. Sepertinya bakal menjadi petualangan seru. Let’s cekibrot, guys!
Pagi, kami berempat bertemu di Sentral. Gue aja sih yang berangkat dari kabupaten sebelah, yang lain sih dari Makassar. Eh, ternyata nambah dua personil lagi, Eko dan Jainal. Seperti kemarin siang, Jumat, kami berjalan kaki dari MTC - Makassar Trade Center (termasuk wilayah Sentral sih), sampai ke Benteng Fort Rotterdam. Masih jam 7.30 pagi jadi panas terik matahari masih sangat bersahabat.
Sesampainya di depan benteng, kami memutuskan untuk sarapan Yellow Rice bungkus. Wis, teko PeDe wae mangane, ra ono sing kenal. Satu lagi, di sana sudah ada tambahan seorang lagi yang bernama Yudha. Fix, tujuh orang. Nyam nyam nyam.
Usai sarapan, ada seseorang yang ngakunya sih bernama Enal. Dia adalah calo pencari mangsa, para wisatawan, yang datang ke sekitaran Losari, agar mau menyebrang ke pulau. Si Ardi, yang diajak bicara, baru melakukan penawaran sih, belum deal. Nggak tau juga sih gue, berapa biaya sekapal yang ditawarkan oleh Enal. Gue masih menikmati makanan gue yang harganya sangat “wow sekali”. Ya, secara lauknya macem-macem, dan bodohnya gue yang tetap membiarkan penjualnya mengambil segala macam lauk yang tersedia. Jadilah, gue shock sendiri ketika menanyakan harganya berapa.
Dan, semua berjalan tanpa sepengetahuan gue. Ya, gue emang belum mau tahu juga sih, bukan nggak mau tahu lho.
Tetiba, tanpa diduga, mas-mas (MM), yang pada hari sebelumnya menawari kami jasa penyebrangan seharga 200ribu sekapal tapi untuk dua orang untuk dua pulau karena melihat kami yang hanya berdua saja, datang menghampiri kami bertujuh yang masih melakukan penawaran dengan Enal. Si MM mengklaim bahwa gue sama Ardi, kemarin, sudah menyetujui akan menyebrang. Yah, padahal kami sama sekali NGGAK bilang “YAA”. Kami hanya bilang, pokoknya kami masih mencari teman lain yang mau ikutan, dan itu pun belum tahu waktunya kapan. Lagian, waktu itu kami juga mau Sholat Jumat dulu. Nah, mungkin memang dasarnya si MM yang biasa diberi janji palsu, jadi begitu melihat muka kami yang datang kesana lagi, langsung deh dibilang kami sudah “sepakat”. BIG NO…
Lain lagi dengan si Enal. Salah seorang dari kami baru menanyakan harga, catat : MENANYAKAN, belum meng-IYA-kan penawaran. Kami masih mencoba menego harga yang ditawarkan, 400ribu, 7 orang, tiga pulau. Sayangnya, arti “menanyakan harga dan sedikit nego”, diartikan sebagai “persetujuan mau menyebrang”. Jadi, dalam satu waktu, ada dua calo (MM dan Enal) yang sama-sama mengklaim bahwa kami setuju dengan penawaran mereka. Lhah, KAMI SAMA SEKALI BELUM BERKATA “YA, KAMI MAU”!!!  *Nulisnya sambil esmosi tingkat kecamatan*.
Jadilah kami berdiri di pinggir jalan di dekat kapal penyebrangan, sambil dilihat beberapa orang. Sempet terpikir oleh kami, bagaimana kalau dua-duanya saja sekalian, berarti nanti sekapal 3 dan 4 orang, ya meskipun sangat berat dikantong, tapi itu lebih baik daripada kami semua dibadik. Kan nggak lucu kalau sampai ada berita yang nggak-nggak. Mau kabur, jelas nggak mungkin. Ada seorang bapak-bapak yang ikut-ikutan nimbrung, bilang “Heh, jangan kita pergi dari sini!”. Tambah ribet aja. Muka teman-teman sudah pada tegang semua. Gue pengen ngomong, tapi sepertinya percuma. Orang Makassar terkenal dengan Kassar-nya. Lebih baik diam dan menunggu keajaiban datang.
Dari arah yang tidak diduga oleh kami semua, mungkin termasuk MM dan Enal, juga bapak-bapak yang tetiba nimbrung tadi, datanglah superhero, eh bukan, bapak-bapak yang belum sempet gue tahu namanya, langsung mengajak kami bertujuh. Lhoh, ada apa lagi ini? Kami semakin bingung. Ini lagi berselisih dengan dua calo, malah ditambah satu lagi. Di tengah kegalauan, kami ikuti saja bapak-bapak itu menuju dermaga perahu. Oh, rupanya si bapak adalah orang yang mempunyai perahu. Sedangkan MM dan Enal hanya bertugas mencari mangsa yang lewat. Kirain mereka juga punya kapal. Alhamdulillaah, kehadiran bapak itu sangat membantu kami dari jeratan dua orang yang sangat menyebalkan sekali. Akhirnya, nyebrang juga. Cihuuuiiii….
narsis dulu di perahu sebelum berangkat

Bertujuh kami menaiki perahu yang cukup memuat sampai sekitar tiga belas orang. Asyik! Menyebrangi laut Makassar, melihat Pantai Losari dari kejauhan, menikmati bangunan tinggi Kota Makassar yang ternyata sangat menawan, menghirup udara pagi yang segar, bermain air yang seakan terbelah setelah perahu lewat. Tidak gue sangka. Ini yang namanya liburan beneran.
dekat dermaga penyebrangan
Sekitar sepuluh menit berlayar, di samping kanan kami, terlihat dengan jelas Pulau Lae-Lae. Sudah ada beberapa perahu yang berjejer di slaah satu bibir pantainya. Pulau Lae-Lae termasuk pulau yang nggak terlalu kecil. Di sana, sudah ada puluhan rumah yang dibangun di atasnya. Mungkin ada kendaraan bermotor juga. Kalau mobil jelas nggak ada. Ah, tapi karena banyak rumah di sana, kami memutuskan untuk tidak mampir. Pantainya juga nggak terlalu bagus. Lanjut ke Samalona Island aja kalau gitu…
Pulau Lae-Lae
Kota Makasaar semakin jauh di belakang. Gedung-gedungnya semakin kecil. Sementara di depan, hanya air yang terlihat. Beberapa kapal besar melaju, eh, gue kira kapal-kapal itu hanya diam di tengah laut, tapi ternyata nggak. Hehehe… Mungkin karena saking lambatnya kali ya? Atau karena di laut jadi nggak kelihatan berjalan? Ah, persetan dengan itu. Pokoke jogged, eh…
Setelah berlayar selama sekitaran 20 menitan, akhirnya pulau yang kami tuju semakin dekat. Wah, sepertinya keren. Pepohonan hijau menjulang tinggi. Airnya yang jernih, karangnya yang cukup lah kalau dibilang bagus, meskipun belum sampai ke level “wow”. Sudah banyak wisatawan yang berada di sana. Ada yang sudah snorkeling, berenang, main bola, main pasir, atau sekedar menikmati apa yang bisa dinikmati.
Pulau Samalona di depan mata
airnya hijau


sampai juga di pulau

baian depannya

sudah banyak pengunjung rupanya
ada yang berenang-renang



mau snorkeling


batu karang



Menuruni perahu kecil, kemudian menginjakkan kaki di hamparan pasir putih yang sangat menawan dan me-refresh-kan mata serta pikiran, dan tentu saja hati yang galau. Hasyahh!