Wednesday, March 26, 2014

Karena Naik Motor ke Ketep Pass Sudah Terlalu Mainstream



Ketep Pass merupakan salah satu tempat wisata alam yang berada di Desa Ketep, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang. Sebuah tempat di ketinggian 1.200 mdpl, berbatasan dengan Kabupaten Boyolali. Dari sana, kita bisa menikmati pemandangan indah nan menyejukkan mata. Bentangan Gunung Merapi yang berdiri kokoh di sebelah timur, di sampingnya juga tak kalah gagahnya, Gunung Merbabu. Dua gunung yang kelihatan bersebelahan, namun pada kenyataannya terpisah jarak berkilo-kilo meter. Di kejauhan sana, arah barat daya, jika beruntung karena biasanya kabut dan awan akan menutupi, kamu bisa menikmati Gunung Sumbing, yang di belakangnya akan nampak sang tetangganya, Gunung Sindoro, hanya kelihatan sebagian karena tertutup badan Gunung Sumbing. Namun, itulah pesona menariknya. Seperti kelihatan mengintip.

Untuk menuju ke Ketep Pass, bisa dicapai dari berbagai arah. Dari Kopeng, Kabupaten Semarang bisa, dari Tegalrejo, Magelang juga bisa, atau dari Blabak, Magelang juga tak salah. Jaraknya sekitar 17 kilometer dari arah Blabak. Aku belum pernah melewati rute lainnya, jadi belum tahu bagaimana rute dan kondisi jalannya.

Perjalananku ke Ketep Pass kali ini mungkin terdengar “impossible”. Tidak ada persiapan matang, tidak ada teman dan seperti tidak ada kerjaan lain saja—demikian kata seorang teman. Ya, hari Jumat sore,  lebih tepatnya petang, karena weekend belum ada planning mau pergi kemana, ya sudah, pergi ke Ketep mungkin salah satu alternatifnya. Memang sih sudah ada niat mau ke sana beberapa waktu lalu bersama teman-teman, tetapi karena yang lain susah diajak, solo travelling menjadi pilihan terakhir dan pilihan yang pas: pas ngiritnya.

Mana impossible-nya? Wait tooo!!!

Baiklah, tanya dulu sama teman yang rumahnya masih satu kecamatan, Sawangan. Bagaimana kondisi jalan dan kira-kira berapa jam waktu yang dibutuhkan. Katanya sih, jalannya jelek banget, baru seminggu ditambal sudah banyak yang “nglothok-nglothok” atau mengelupas. Hmmm... Setelah kuutarakan niatku untuk ke Ketep sambil “gowes”, ya, gowes, alias naik sepeda—mungkin terdengar gila dan nggak masuk akal—temanku terlihat nggak percaya dengan omongank. Dengan entengnya, dia menjawab, “kalau kamu turun sebelum sampai Ketep, aku siap-siap tepuk jidat dari sekarang”. Sebenarnya aku nggak yakin juga sih, dengan niatku ini. Konyol. Dan, tidak hanya satu yang meragukan kemampuanku. Okelah, semakin membulatkan niatku untuk mematahkan pemikiran mereka tentangku. Akan kubuktikan bahwa aku bisa. Aku Pasti BISA! Bismillaah. Hamasah, Dacko!


Hari Sabtu pagi, bangun dan sholat Shubuh. Melihat langit apakah cerah atau mendung. Yess, bulannya kelihatan. Ceraaahhh. Kemudian “meminjam” sepeda ke tetangga depan. Memang aku nggak modal banget. Setengah enam thet, sepeda sudah dipompa, minum sedikit, makan tahu satu potong, kencing, siapin kamera, HP sudah di-charge, botol air mineral, pakai baju lengan panjang dan celana training biar nggak tambah item, sepatu dan topi sudah melekat di tubuh. Dan, akhirnya berangkat pukul 05.50. Sudah terang. Kebetulan pada minggu sebelumnya sudah pemanasan gowes, jadi nggak ada kekhawatiran kalau akan langsung kecapekan.

Mendaki gunung, lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudra, sendirian berpetualang.

Hamparan sawah yang sudah mulai menguning, rumah-rumah sederhana penduduk dengan penghuni yang sibuk dengan aktivitas pagi mereka, hewan-hewan mulai menampakkan diri setelah semalaman bermalas-malasan di kandangnya, kendaraan mulai memadati jalan yang kulalui, kantor-kantor mulai dibuka, pasar sudah dibanjiri pedagang dan pembeli, anak-anak sekolah pada berangkat ke sekolah masing-masing. Sepanjang perjalanan, itulah pemandangan yang ku nikmati.


 


Rutenya sudah ku tetapkan sebelumnya. Melewati rute terpendek, tidak peduli dengan medan yang naik turun, yang penting cepat sampai.  Rumahku, yang berada di wilayah Kecamaan Borobudur, lebih dari 25 KM kalau dari Ketep, saya baru tahu kalau jaraknya sejauh itu setelah iseng-iseng mencari info di internet.

Selama perjalanan, saya mengamati 3 gunung yang menjadi incaran saya, semoga pada saat mencapai Ketep, ketiga gunung itu tetap terlihat: Sumbing, Merapi dan Merbabu. Secara, hanya 3 gunung itu yang bisa kulihat dari dekat rumahku. Di arah barat, ada Sumbing yang terlihat jelas. Di arah timur, tempat tujuanku, Merapi dan Merbabu juga tak kalah menawannya. 


Dimulai dari Desa Wringin Putih, Borobudur, belok kiri di perempatan Koramil Borobudur (dekat Polsek Borobudur), kemudian belok kanan ke arah Ngroto, Kota Mungkid, nanti tiba di Kawasan Pemerintahan Kabupaten Magelang (Jl. Soekarno-Hatta, Sawitan).  Melewati jalan tembus baru di dekat Polres Kab Magelang menuju ke Desa Rambeanak, Mungkid, jalan lurus terus nanti akan sampai di Jalan Raya Blabak (Jalan Raya Magelang-Jogjakarta). Jalannya—dari Rambeanak sampai dengan Blabak—nggak rata, bukan karena rusak, namun karna kualitas aspalnya yang nggak bagus, jadinya “nggrenjol-nggrenjol”. Di depan Pasar Blabak, ada belokan ke kiri (kalau dari arah Magelang), nah itulah jalan menuju ke Ketep yang saya pilih. Selain yang paling dekat, juga karena hanya jalan itu yang saya tahu. Mau mencari alternatif lain, sepertinya bukan saatnya, mengingat keadaanku yang hanya dengan seonggok sepeda pinjaman. Perjalanan dari rumah sampai dengan Blabak, membutuhkan waktu 45 menit. Awal yang baik.


Perjalanan baru akan dimulai. Jalan menanjak terus. Kondisi aspalnya yang rusak di sana-sini. Kebanyakan sawah dan kebun yang akan menjadi pemandangan. Harus bisa ngirit bekal selama belum menemukan warung yang buka. Itulah yang harus kulalui sampai tujuan.
Pada awalnya, jalan menanjak masih mudah dilewati. Dengan kemiringan jalan yang masih berkisar 5 sampai 20 derajat, memang terbilang mudah. Badan masih sehat dan bugar—belum pegel-pegel. Dan, benar saja apa yang dikatakan temanku, jalannya rusak parah. Banyak aspal di sana sani yang sudah mengelupas, banyak  jalan berlubang. Pokoknya harus pinter-pinter memlilih jalan yang rata. Meskipun jalan yang rata berada di kanan jalan, aku harus punya inisiatif untuk melewatinya. Begitu dari depan kosong, nggak ada kendaraan yang lewat, langsung sikat.  Tak jarang juga aku harus memperlambat laju sepeda karena harus melalui lubang-lubang ketika nggak ada jalan yang rata. Sesekali aku meneguk air yang sudah kupersiapkan, 500 ml, semoga cukup sebagai bekal sampai pulang nanti. Tapi itu tidak mungkin.


Bersepeda ke arah timur, mendekati kaki dua gunung, Merapi dan Merbabu. Sinar mentari pagi mulai menyilaukan mata. Untung saja aku memakai topi, jadi kontak antara mata dengan matahari bisa dikurangi, ya meskipun harus bersepeda sambil menunduk.
Berdusun-dusun telah kulewati, berdesa-desa tlah kulalui, saatnya memasuki Kecamatan Sawangan. Kecamatan yang menjadi tujuan perjalananku pagi ini. Tepatnya di Desa Ketep, desa tertinggi yang berada di Sawangan. Kondisi jalan yang tak lebih baik, membuatku harus terus ekstra berhati-hati agar tak tergelincir jatuh. Memang ada sebagian jalan yang sudah dibeton, tetapi itu tidak banyak berpengaruh karena hanya beberapa puluh meter saja.




Kok nggak sampai-sampai ya?

Mengamati toko-toko di pinggir jalan yang di depannya dipasangi tulisan alamat, membuatku semakin capek saja. Dari Jalan Blabak-Boyolali KM 8 menuju ke KM 9 itu membutuhkan waktu lebih dari seperempat jam. Padahal, kalau jarak antara Blabak dan Ketep adalah 17 KM, berarti perjalananku baru setengahnya. Sudah mulai pegel kakiku.

Sesampainya di Pasar Tlatar, Desa Krogowanan, Sawangan, pukul delapan lebih, aku iseng tanya ke seorang bapak setengah baya yang sedang menjemur pakaian di depan rumahnya. Masih berapa jauh lagi sih, Ketep itu? Kata beliau masih 5 KM. Bingung, mau seneng atau mau gimana. Ternyata hanya tinggal jarak segitu doang, itu senengnya. Aku pasti bisa—kalau jalannya masih seperti sebelumnya. Sudut elevasinya pokoknya harus lebih dari 70 derajat.

Dan, apa yang bisa kita lihat hanya terbatas pada apa yang terlihat oleh mata. Melihat jalan di depan jangkauan mataku, menyiutkan nyaliku. Bukan takut karena ada hantu atau penjahat. Siang-siang gini mah aman. Tapi, jalannya yang menanjak semakin curam. Kemiringan yang sepertinya melebihi 50 derajat. Allahu Akbar. Apakah aku kuat? Ah, apa salahnya mencoba. tanggung, sudah sampai sini tinggak dikit lagi. Mungkin itu tanjakan tercuram yang sepanjang perjalanan. Di depan kan siapa tahu jalannya nggak securam itu. Demikian pikirku, sebagai pecutan semangat dari dalam diri sendiri. Lha, siapa lagi yang mau memberi semangat kecuali aku sendiri?
Naik, genjot, kayuh, semakin berat, semakin ke atas, daaannn, akhirnya aku kalah. Kaki sudah pegel maksimal, perut sudah mulai lapar, dan kondisi jalan yang sadis banget nanjaknya. Mendorong sepeda menjadi pilihan satu-satunya. Ah, semoga di depan sana ada jalan yang sedikit menurun. Semogaaa...


Memang agak turun, eh, datar dhenk. Tapi, setelah itu, tanjakan menunggu untuk segera ditaklukkan. Oke, akan ku coba.
Lagi-lagi, aku tak sanggup melewati jalanan curam berikutnya. Sudah terlalu capek. Istirahat dulu saja. Siapa tahu kakinya sudah nggak begitu pegel sehingga kuat mengayuh tanjakan-tanjakan selanjutnya. Sambil mengamati jalanan yang mulai ramai, truk-truk pengangkut pasir dan barang lainnya, sepeda motor yang silih berganti melewati depanku duduk, mobil-mobil berplat luar daerah melaju ke atas, sepertinya mereka mau ke Ketep juga, ada juga bus pariwisata yang sudah dapat dipastikan akan ke sana juga.

Istirahat sudah cukup. Saatnya melanjutkan perjalanan. Kaki sudah mulai hilang pegelnya. Namun, belum ada 200 meter mengayuh sepeda, kaki pegel lagi. Ah! Mana jalannya menanjak lagi. Terpaksa harus mendorong lagi. Dorong terus. Ini sepertinya lebih curam dari sebelumnya, memasuki Desa Kapuhan. Curam banget, mungkin mencapai 70 derajat kemiringannya. Lha masak iya, aku harus mendorong sepeda sejauh 5 KM kalau mau sampai ke Ketep?

Ada niatan untuk mengakhiri ini semua. Turun dan pulang terus tidur. Namun, itu tak boleh terjadi. Aku harus kuat. Tinggal sebentar lagi. 3 KM bukanlah jarak yang susah untuk ditaklukkan—kalau jalannya turun. Pokoknya, sampai di Ketep jam berapapun, akan tetap ku lalui semua rintangan yang ada, meskipun harus mendorong sepeda terus. Aku harus bisa membuktikan kepada teman-teman yang sudah mengangsikan kemampuanku bahwa aku bisa sampai ke Ketep tanpa harus mengendarai motor, apalagi mobil. Aku bisa mengayuh sepeda sampai ke sana meski dengan susah payah.

Ketika capek sudah melanda dengan maksimal, mau tak mau aku harus terkapar di pinggir jalan. Hanya bisa memandang dengan kelu setiap kendaraan yang “wara-wiri”. Niat semakin kuat untuk segera meluncur ke bawah. Tapi, lagi-lagi, masih ada secuil harapan bahwa aku pasti bisa sampai ke atas. Oke, bangkit dan kayuh sepeda lagi. Tidak boleh berbalik arah sebelum sampai ke tujuan. Itulah tekadku!

Tinggal lama lagi aku akan sampai ke Ketep. Nah, gapura yang ada tulisan “Desa Ketep” sudah terlihat. Yes. Aku semakin semangat mendorong sepeda. Ya, sepanjang 5 KM jarak yang tersisa, aku lebih sering mendorong sepeda daripada mengayuh. Kakiku serasa mau patah. Ingin rasanya berpegangan pada mobil yang lewat agar aku tak merasakan “penderitaan” ini. Tapi malu. Kembali lagi, mengingat siapa yang awalnya mau gowes sampai Ketep? Ya, aku sendiri.


Ada kejadian seru ketika aku melewati SMP N 2 Sawangan di mana para siswanya—entah kenapa pada di luar semua, belum waktunya pulang padahal—sudah menenteng tas di luar kelas—mungkin karena jarang ada yang melewati depan SMP N 2 Sawangan sambil mengayuh sepeda—ketika aku melintas, mereka memandang dengan takjub sambil menyoraki dan memberi semangat. Ya, aku tebar senyum ke mereka dong. Senyum kecut karena harus tetap mengayuh dengan sisa-sisa tenaga. Tetap saja nggak kuat. Mungkin para siswa SMP tadi kecewa. Maafkan aku, Adik-adik., Kakak sudah capek.

Jarak tinggal satu kilometer. Demikian kata ibu-ibu tempat aku membeli air mineral. Apa? Jadi selama lebih dari sejam, baru 4 KM yang kulewati? Kok bisa? Kebanyakan berhenti dan terkapar di pinggir jalan, sih. Hmmm...

Wah, tulisan merah “Ketep Pass” sudah terlihat di pinggir jalan. Tidak percaya kalau aku bisa sampai ke sini. Pengen teriak sekenceng-kencengnya, membuktikan kepada dunia bahwa aku BISA. Mendorong sepeda tak apalah, toh tinggal beberapa langkah lagi aku akan merasakan nikmatnya perjalanan yang telah kulalui selama hampir 4 jam.


Akhirnya, aku bisa merasakan angin kenceng sembari menikmati keindahan dan kegagahan Merapi dan Merbabu. Masya Allah, sungguh indah ciptaan-Mu. Kaki yang tadinya pegel, pegelnya tetep saja masih terasa, meski agak berkurang. Namun, ada satu yang agak disayangkan, Gunung Sumbing yang sedari aku berangkat terlihat jelas, ketika sampai di Ketep Pass, ternyata tertutup kabut dan awan. Sudah terlalu siang mungkin. Ya sudah, kali lain main lagi, tapi nggak mau kalau harus gowes lagi. Kibar bendera putih ke kamera.
Oke, saatnya ber-selfie dulu. Hehehe...













































Setengah jam mengitari area Ketep Pass, suasana juga sudah mulai ramai karena ada rombongan dari sekolah mana, aku nggak tahu, mending pulang saja. Sudah pukul 10.30. Aku nggak mau sampai di rumah sore. Nggak mungkin juga sholat Zhuhur tanpa mandi dulu.
Perjalanan pulang sih enak. Jalannya menurun teruss...... Aaaaaaaaa......... *sambil teriak-teriak*



Alhamdulillaah....

Wisata Sejarah : Candi Lumbung




Candi Lumbung merupakan sebuah candi yang terletak di Dusun Tlatar, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang. Secara arsitektural, candi yang berlatar belakang agama Hindu dan dibangun sekitar abad IX Masehi ini sebenarnya tidak meunujkkan kekhasan.Akan tetapi, jika dilihat dari sumber prasasti, tampak bahwa Candi Lumbung kemungkinan merupakan pendharmaan bagi Bhatara di Salingsingan yang ditunjukkan melalui jenis persembahan, khususnya berupa payung mas yang diberikan oleh Rakai Kayuwangi. Berdasarkan hal tersebut, dapat diasumsikan bahwa Bhatara di Salingsingan adalah tokoh yang penting. Demikian kata yang sempat saya potret dari papan di samping Candi Lumbung.

Candi Lumbung yang lokasi aslinya terletak tepat di atas tebing aliran Sungai Apu terancam longsor karena dampak aliran banjir lahar dingin letusan Gunung Merapi tahun 2010. Sebagai tindak lanjut, Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah melakukan tindakan penyelamatan candi dengan memindahkan bangunan candi secara temporer ke tempat yang lebih aman.

Candi yang letaknya berada di tengah-tengah rumah penduduk tersebut, jaraknya sekitar lima kilometer di bawah Ketep Pass, atau 12 kilometer dari arah Blabak dan 10 kilometer dari arah Muntilan. Kondisi jalan terlihat rusak pasca letusan Merapi, baik dari arah Blabak atau Muntilan. Memang sudah dilakukan penambalan, akan tetapi hanya bertahan sebentar, kemudian rusak lagi.

 Candi Lumbung berukuran sangat kecil bila dibandingkan dengan Candi Borobudur, bahkan dengan Candi Pawon yang berada tak jauh dari Candi Borobudur pun, tetap lebih kecil. Ada semacam pintu di bagian barat, tidak tahu apa yang ada di dalam candi itu. Mungkin ada arcanya, seperti patung Buddha yang ada di dalam stupa Candi Borobudur.

Di samping utara, sawah terbentang luas yang dilatar belakangi Gunung Merbabu. Di bagian baratnya, ada tempat home industry penggergajian kayu milik warga sekitar.

Dari jalan utama Blabak – Boyolali, setelah simpang tiga Tlatar, ada papan penunjuk arah di sebelah kanan—kalau dari arah Blabak. Candi Lumbung terletak sekitar 30 meter dari jalan tersebut. 


Tidak perlu membeli tiket untuk bisa mengamati Candi Lumbung, alias gratis, tidak seperti Candi Borobudur,  Mendut atau Prambanan.